1 Prolog

Yang terdengar hanyalah suara napas yang terengah-engah, ketika Luna berusaha untuk menaiki anak tangga dengan langkah kaki yang terseok. Ia harus memegangi sisi tangga, memastikan tubuhnya tidak terpental jatuh.

"Hhh ... Hh.... Aku harus mencari tempat bersembunyi," ucap Luna yang ketakutan setengah mati.

Gaun tidurnya yang panjang dan berwarna putih sudah tampak lusuh, dengan banyak noda merah yang terlihat jelas. Luka pada pipinya yang mulai meninggalkan memar, masih terasa sakit dan berdenyut.

Beberapa luka lainnya juga terlihat, pada pelipis, lengan, bahkan kaki kanannya yang terkilir parah. Jangankan berlari, Luna harus menyeret paksa kakinya sendiri agar bisa menyelematkan diri.

"Dimana... Dimana aku harus bersembunyi?" Gumamnya sambil memperhatikan keadaan sekelilingnya.

Tatapan Luna mengarah pada pintu kamar yang terbuka, tanpa berpikir panjang ia pun menyeret langkah kakinya menuju pintu kamar yang terbuka.

Luna berhasil masuk, tapi tubuh dan napasnya masih bergetar hebat. Sungguh dia sangat ketakutan saat itu, berpikir jika ini adalah akhir hidupnya yang akan berakhir dengan cara yang tragis.

Bagaimana tidak, dia berpikir seperti itu?

Karena ada seseorang yang mengincar nyawanya. Luna benar-benar tidak menyangka dan dia ketakutan ketika hampir saja sebuah tongkat golf melayang kearah kepalanya sendiri.

"Bagaimana ini?" Baru saja Luna ingin mencari tempat persembunyian, dia sudah mendengar langkah kaki dengan tongkat golf yang diseret sengaja pada anak tangga yang baru saja ia lewati dengan susah payah.

Sosok pria itu tampak menyeringai licik, ia menyeret tongkat golf yang penuh dengan lumuran darah. Bunyi dari deretan tongkat kasti itu, menggaung ke seluruh penjuru ruangan, membuat keadaan semakin mencekam dan menyeramkan.

"Luna... Kenapa kau bersembunyi? Ah... Apa kau takut karena kejadian tadi? Maaf ya... Karena aku sudah merusak sesuatu yang kau senangi," ucapnya yang sudah mencapai puncak anak tangga.

"Aku harap kau memaafkanku, Luna. Jadi... sekarang cepat kau keluar dan temui aku!" perintahnya mengeram kesal.

Kemeja putihnya yang ia kenakan, lebih buruk dari gaun tidur Luna. Darah yang masih berbau menyengat, tidak mengganggunya sama sekali. Seakan-akan dia sangat menikmati, apa yang sudah dilakukan olehnya.

"Hhh...." Pria itu menarik napas dengan dalam sambil ia mendongak dan memejamkan matanya.

"Baiklah, harus aku akui... kalau tadi itu aku salah. Seharusnya aku tidak melakukan itu. Kau pasti terkejut bukan?" ucapnya dengan suara manis yang sengaja dibuat-buat.

"Kau tidak perlu takut, Luna. Aku sudah berjanji akan menjagamu, kau tidak perlu pergi kemanapun, Luna." ucap pria itu dengan suara berat yang terdengar seram.

Sebuah tongkat golf dengan lumuran darah, sengaja ia seret dan berbenturan dengan lantai, menimbulkan suara decit yang memekikkan telinga siapapun bagi yang mendengar.

"Luna? Oh.... Luna... ayolah... dimana kau? Ah... apa kau sedang mengajakku bermain petak umpet? Menarik sekali... Aku pasti bisa menemukanmu, Luna."

Sialnya bagi Luna, pintu kamar itu tidak tertutup rapat. Dengan dirinya yang sedang bersembunyi di balik tembok.

"Bagaimana ini?" batin Luna yang ketakutan.

Sebuah bayangan terpantul pada permukaan lantai, perlahan dia bisa melihat bayangan dari sosok pria yang memegangi tongkal golf.

"Hah?" Luna mendekap mulutnya sendiri. Terlalu takut hingga ia berpikir, jika dengan bernapas bisa membuat pria itu tahu keberadaannya.

Luna menatap pada sekeliling kamar, tersadar dengan sebuah kamar tamu yang jarang ia gunakan. Tatapannya sudah tertuju pada sebuah lemari pakaian berwarna putih.

Sebuah ide agar dirinya bersembunyi di dalam lemari, "Ya... aku harus bersembunyi disana," ucap Luna dengan yakin.

Satu-satunya cara agar Luna bisa tiba lebih cepat pada lemari pakaian tersebut, yaitu dengan berlari secepat mungkin tanpa mengeluarkan suara sama sekali.

Tapi apa dia bisa melakukannya? Apalagi kaki kanan Luna dalam keadaan terluka saat itu.

Tida ada waktu untuk berpikir panjang, dan Luna sudah memutuskan untuk memaksakan dirinya. Berlari secepat mungkin yang bisa dia lakukan, sampai-sampai Luna harus mengigit kuat bibir bawahnya.

Hanya tinggal sedikit lagi saja dan Luna harus terus menahan rasa sakit pada pergelangan kakinya. Dengan cekatan dia sudah membuka pintu lemari, masuk kedalamnya dan mulai bersembunyi.

Lemari itu hampir kosong, hanya ada beberapa kemeja pria yang tergantung. Luna sudah duduk dengan merapatkan dirinya, menekuk kedua kakinya dengan rapat. Napasnya masih tersengal dengan jantungnya yang masih berdetak cepat.

Sisi lemari itu memiliki semacam ventilasi dengan garis yang banyak, Luna bisa mendapatkan sedikit celah agar bisa mengintip, apa yang sedang terjadi di luar sana.

Disaat itu juga, ada sesuatu yang menyentuh pundak kiri Luna. Sontak membuat Luna menoleh ke arah kirinya dengan cepat.

"Aarrgghh!" Luna memekik untuk sedetik. Segera ia mendekap mulutnya, dengan pupil matanya yang membesar dengan perasaan yang amat takut.

Rasanya ingin sekali Luna berteriak dan keluar dari dalam lemari, ketika ada sosok mayat wanita dengan kepalanya mendarat pada pundak Luna.

Disaat bersamaan Luna juga mendengar langkah kaki dan tongkat golf yang terseret di atas permukaan lantai.

"Luna, sayang? Apa kau ada disini?" tanya suara pria yang sudah berada di dalam kamar.

Mata bengis itu memperhatikan keadaan kamar yang begitu minim pencahayaan, ia mengamati dengan seksama sambil melangkah dengan perlahan.

Terjebak!

Satu kata yang tepat menggambarkan keadaan Luna saat ini. Di sisi lain dia sangat takut dengan mayat wanita yang ada disampingnya. Tapi ada sosok monster berbahaya yang harus ia hindari.

"Oh... Tuhan... apa yang harus aku lakukan? Apa aku akan mati sia-sia seperti ini?" batin Luna dengan air mata yang sudah mengalir, berhasil lolos melewati pelupuknya saat itu.

avataravatar