webnovel

Moonlight in Your Arms

Kukira cintanya seluas jagat raya ketika dia mengajakku memetik bintang-bintang untuk kami gantung di langit langit kamar tidur. Kukira dia akan menjadi ayah dari anak anakku, ketika Kenny Williams melamarku. Tetapi langitku runtuh ketika Kenny menikahi perempuan lain, seorang perempuan dari Pulau Bunga. kabar itu datang seperti laut yang mengirim ombak ke pantai dan menghapus janji janji yang ditulisnya di atas pasir. Kenny Williams, tunanganku, tanpa alasan jelas menikah dengan perempuan lain. Aku, Laura Arden, terhina, tersisih dan kehilangan rasa percaya diri, karena Ken memilih muridnya di kampung halaman mereka. Setelah lima tahun hilang kontak, Ken tiba-tiba menghubungiku dan meminta bertemu. "Mari kita petik bintang bintang" Ajaknya. Haruskah kusambut tangannya yang terulur, atau kuberikan punggung yang dingin, supaya dia merasakan sepinya langit tanpa bintang, atau merananya pepohonan yang merindukan angin. Pertemuan kembali itu membuatku berada dalam kegalauan dan kecemasan. Apa sebenarnya maksud Ken sesungguhnya? Apakah semata-mata karena menuruti permintaan ibunya yang berada dalam saat kritis karena sakit keras? Apa yang terjadi dengan pernikahan Ken dan Marina? Tidak mudah bagiku untuk membangun rasa percaya lagi kepada Ken. Meskipun cintaku masih sangat besar kepadanya, namun penghianatan Ken tidak pernah bisa aku maafkan. Apakah aku akan membiarkan bunga-bunga cinta bersemi kembali atau membalas dendam akan pengkhianatan Ken? Baca dan ikuti kelanjutan ceritanya di setiap babnya ya. Author Joe_Maria_Tarjan

Joe_Marie_Tarjan · Urban
Not enough ratings
83 Chs

Benci dan cinta pada satu hati

Bagai terbangun dari mimpi yang panjang, kenangan itu bermunculan, akan hari-hari bahagia bersamanya dan bagaimana kami membangun harapan untuk membentuk keluarga. Kuakui Ken sudah menunggu dengan sabar selama tiga tahun karena aku mengulur-ulur waktu ketika dia melamarku. Aku belum siap memberikan komitmen ketika tahun pertama kami berpacaran.

Ken waktu itu berumur 27 tahun dan aku 23 tahun. Tetapi pada tahun ketiga saat aku sudah siap menikah, tiba-tiba semua rencana kami buyar oleh kehadiran Marina, muridnya. Ken menikahi gadis itu, meremukkan semua harapanku padanya.

"Bu, tadi Ken bilang mamanya sakit, ingin bertemu denganku." Kataku menyampaikan isi percakapan telepon.

"Kalau Kamu pergi apakah yakin bisa mengatasinya?" mata ibu menyelidik.

"Belum kuputuskan. Jika benar mama sakit parah dan ingin bertemu, aku akan merasa bersalah kalau terjadi apa-apa sebelum aku menemuinya." Kataku bimbang.

"Kamu harus kuat bila mau pergi, banyak kemungkinan yang akan kamu hadapi dan bisa saja ada yang sama sekali di luar dugaanmu."

Perkataan ibu membuatku bimbang, apakah aku mampu menjaga hatiku sendiri, sebab selama ini aku diombang-ambingkan oleh rasa cinta, rindu, benci dan marah terhadap Ken. Perpisahan dengannya membuatku menjadi rendah diri dan tidak berani menjalin hubungan lagi. Aku tidak menemukan laki-laki yang pas sebagai penggantinya dan aku juga tidak berniat menggantikan kedudukannya di hatiku.

Kupeluk ibu untuk menenangkan diriku sendiri.

"Jadi baiknya bagaimana? Aku perlu menengok mama atau tidak? Jika mama meninggal sebelum aku datang kira-kira apakah akan menjadi beban pikiranku?"

" Kamu yang tahu jawabannya. Ibu hanya khawatir kamu tidak sanggup menghadapi mereka yang lain."

Ibuku selalu mendorong anak-anaknya bertanggungjawab dan memilih keputusan.

Dia perempuan yang melahirkanku, aku seratus persen mempercayainya, tidak ada guna menyembunyikan perasaanku sebab ibu pasti akan membantuku mengatasi kesulitan ini.

"Aku masih bingung bu, aku ingin menemui mama tapi aku tidak ingin bertemu dengan Ken dan keluarganya." Aku tidak ingin melihat wajah pengkhianat itu. Kurasakan mataku panas.

"Ibu rasa Ken pasti akan memperlakukanmu dengan baik.

Masih ada waktu untuk mempertimbangkan. Berbuat baik tidak akan membuatmu terkalahkan. Jika kamu merasa kuat, jalani saja, kita tidak akan tahu apa yang akan terjadi sampai kamu menghadapinya nanti."

Semua masih dalam bayangan, bagaimana yang akan terjadi hanya bisa kuketahui setelah menjalaninya.

"Sebenarnya aku tidak ingin bertemu Ken," kataku.

Tentu terutama aku tidak ingin melihat Marina dan kebahagiaan mereka. Rasa sedih dan terpinggirkan mulai datang lagi. Ibu menepuk bahuku dan matanya menatap dengan tajam ketika mendengar jawabanku. Ibu mengembuskan nafas.

Aku memandang bayang-bayang tirai yang bergoyang tertiup angin, membentuk gerak bergelombang yang lembut dan perasaanku terayun seperti itu, antara ketakutan menemui Ken sekaligus merindukannya. Selama ini aku memendam rasa sakit, rindu dan benci serta marah kepadanya.

Kata-kata ibu menyiratkan bahwa aku harus membuat keputusan sendiri dan memngetahui risiko yang bakal kutemui.

Tangan ibu mengusap kepalaku dan matanya terlihat berkaca-laca. Kucium pipi ibu dengan pelukan lekat.

Ingatan akan Ken membuatku menitikkan air mata dan wajah Ken yang tertawa, bibirnya yang terkatup rapat, matanya yang bersinar terlihat melekat di mataku. Dia tidak pernah kulupakan dan pada saat aku sendiri, seringkali aku membayangkan sosoknya, bahkan dia masih sering muncul dalam mimpi-mimpiku. Perlu waktu agak lama hingga aku bisa menerima perpisahan kami, yang membuat seluruh hidupku berputar drastis. Barangkali aku adalah pelari marathon yang tertinggal di garis belakang ketika semua pelari lain sudah mencapai garis akhir. Tidak berguna.

Sepanjang hari aku gelisah dan bimbang antara keinginan untuk pergi ke Kota Baru untuk menengok mama, dan keraguanku untuk bertemu dengan Ken karena nyaliku menciut membayangkan pria itu dan wajah istrinya. Bukan rasa takut tetapi aku tidak ingin mendapat beban baru, aku sudah merasa tenang dengan hidupku yang sekarang.

Hampir pukul Sembilan malam Ken menelpon langsung ke ponselku.

"Bisa datang kan?" suaranya menuntut.

Kedengarannya dia sangat yakin aku bisa mengikuti kemauannya. Apakah aku selemah ini di matanya sehingga dia dengan mudah mengabaikanku?

"Menurutmu apakah baik bila aku datang?" aku ingin menilik niatnya.

"Sure."

Nada suaranya begitu tegas dan tiada beban. Apakah dia tidak memikirkan perasaanku dan apakah Ken menganggap aku bisa mengatasi perpisahan itu? Kehilangan harapan dan impian bisa membuat orang menjadi gila, putus asa bahkan mati. Apakah Ken tidak pernah memikirkan bagaimana aku melalui semua itu.

Sampai di sini aku merasa tertantang. Aku harus menjadi kuat untuk menghadapi mereka.

"Baiklah, aku akan pergi untuk mama! " kataku penuh percaya diri.

"Ah Laura, aku sudah mengharapkan jawabanmu seperti ini." Ada keriangan dalam suaranya yang penuh kemenangan.

" Cukup tiga malam saja, hari Minggu aku bisa pergi " kataku dengan suara lebih tegas.

Ken mengatakan dia akan mengirim tiket untuk keberangkatanku.

Aku tidak membantahnya.

Belum ada satu jam setelah percakapan itu, Ken mengirimkan tiket elektronik pada ponselku.

"Kenapa tidak pp?" tulisku menjawabnya.

" Tiket pulang kuberikan saat kamu sudah tiba."

"Ah kamu takut aku batal ya? Aku selalu menepati janjiku, kalau mau tahu."

Dialah yang sudah ingkar janji padaku. Semoga dia paham makna kata-kata sindiranku.

"I know. Terima kasih." Jawabnya getir.

Aku tidak membantahnya lagi, sebab aku juga bisa membeli tiket pulang sendiri.

Lama kulihat pesan tersebut tetapi kami berhenti di situ.

Kenangan terus menggangguku tentang cinta kami yang kandas.

"Tidak ada yang perlu kukhawatirkan ya?" aku mengirim pesan lagi.

Sebuah pertanyaan untuk meredakan rasa cemas jika bertemu lagi dengannya.

Ibu benar, aku harus siap mental.

"Ya, aman, nanti kujemput di bandara."

"Baiklah, sampai nanti. Malam bae."

Malam sudah terasa sunyi dan tidak terdengar aktivitas di rumah. Ibu sepertinya sudah tidur dan aku setengah mengantuk tetapi serasa ada ganjalan yang membuatku susah tertidur.

Mengenang semua ini membuatku sadar untuk berpijak kembali pada masa kini. Semua yang berputar di pikiranku adalah masa lalu yang sudah harus kulupakan. Sekarang aku hanya akan fokus pada kunjungan itu untuk mama yang sakit dan tidak berandai-andai yang lain. Apakah aku akan mampu menjalani pertemuan dengan istri dan keluarga besar Ken hanya akan dapat kuketahui ketika aku menjalaninya.

Untuk saat ini aku hanya akan memikirkan tanggungjawab atas keputusanku untuk pergi ke Kota Baru sekali lagi. Setelah memutuskan seperti ini, rasanya dengan cepat aku tertidur.

He is just my past…

Aku harus melangkah menjalani hidupku dan menganggap Ken sebagai bagian dari masa laluku. Tidak perlu mengingkari bahwa dia memang berarti dalam hidupku.

Apakah dia juga masih menyimpan cinta itu? Mengapa dia memilih Marina? Aku pernah ingin tahu alasannya tetapi mungkin aku akan lebih tersakiti jika mengetahui Ken membandingkan kami.

Sebelum tertidur aku mengganti foto profiil di hp dengan foto bulan purnama yang potret dua hari lalu. Aku tidak ingin Ken melihat wajahku.

Ketika bulan yang berwarna kuning pucat naik semakin tinggi dari arah timur, aku merasa rembulan menjagaku dengan sinarnya yang bagaikan selimut memeluk seluruh tubuhku.

***