1 79 hari sebelum HUT sekolah. Senin, 3 September. Sore hari.

Selagi murid-murid di kelasku sedang berjalan keluar sambil berbincang-bincang, aku masih di dalam kelas menyapu.

"Aku pulang dulu."

"Iya, hati-hati di jalan." Sapaku kembali sambil tersenyum.

Aku menengok kembali ke siswa yang ikut-ikutan menyapu kelas bersamaku.

"Nggak pulang?" Panggilku ke arahnya. "Jam segini kamu sudah dijemput, 'kan?"

"E-eh... iya. Kamu tahu?" Siswa yang ikut menyapu bersamaku tersentak terkejut ketika aku memanggilnya.

Di kelas ini, dia memang terkenal sebagai "murid yang pemalu". Suaranya kecil dan ketika dia berbicara sangat susah didengar. Tubuhnya bagi seorang laki-laki pun juga kecil. Seluruh sikapnya sangat kaku. Dari semua murid di kelas ini, aku yang paling dekat dengannya.

"Hmm, kemarin-kemarin aku ingat kamu pulang dijemput."

"Ta-tapi piket-"

"Nggak usah." Aku menyelanya. "Memang sebenarnya nggak perlu piket. Kan nanti pasti dibersihkan sama paknya yang bersih-bersih sekolah."

Kenyataannya memang begitu. Meskipun kita sekelas sepakat menentukan jadwal piket, pada dasarnya itu semua hanyalah tipuan belaka untuk membodohi guru. Sama seperti ketika orang melanggar lalu lintas karena tidak ada polisi di sekitar. Atau tidak membuang sampah menurut jenis tempat sampahnya karena pada akhirnya akan dikumpulkan di gerobak sampah yang sama.

Ditambah lagi, pekerja pembersih sekolah juga bertugas membersihkan setiap kelas. Apa boleh buat jika para murid jadi tidak peduli? Kita para murid SMA ingin menikmati masa muda.

Mentalitas seperti itulah, yang membuat manusia- menjadi "manusia".

"...Sudah, pulanglah. Nanti nggak dimarahi?" Kataku lagi dengan nada putus asa yang berlebihan, berusaha meyakinkannya.

"..." Dia menggigit bibirnya.

Aku tidak melihatnya dan sedang menyapu, tapi entah kenapa aku tahu dia sedang menggigit bibirnya. "Hari ini piketku, bukan piketmu."

"Habis ini!" Katanya hampir menjerit sambil menunjuk ke area yang belum dibersihkan

"Hah..." Aku menghela nafas capek dan melanjutkan membersihkan. Sudah berapa kali aku mengatakan hal yang sama?

Aku juga sering dipanggil orang aneh karena ini. Dari murid di kelas ini, hanya aku saja yang menaati jadwal piket. Dan meskipun bukan giliranku, aku akan tetap membersihkan kelas jika sangat kotor.

Sikapku sepertinya membuahkan rasa bersalah di kalangan teman sekelasku. Ketika mereka sedang melihatku membersihkan kelas, mereka biasanya juga ikut-ikutan, atau biasanya murid perempuan yang marah-marah ke murid laki-laki, "Eh! Itu dia piket, tapi kenapa kalian nggak piket?!" Semacam itu.

Tapi meskipun banyak yang merasa bersalah, pada akhirnya kemalasan mengambil alih tubuh mereka dan hanya menerima faktanya bahwa sifatku saja yang suka bersih-bersih. Dengan memberikan alasan begitu kepada diri mereka sendiri, mereka tidak perlu lagi merasa bersalah.

Dan itu aneh bagi teman kecilku ini. Dia masih merasa bersalah dan biasanya mengikuti aku membersihkan kelas. Selama 1 tahun belakangan ini, dia telah berhasil menangkapku membersihkan kelas dan selalu mengikutiku dalam kegiatan membersihkan.

Entah itu hanya sifatnya, rasa bersalah, atau "alasan lain", aku cuman ingin dia pulang dan pergi dari pandanganku.

"...Sebentar lagi selesai kok. Cuman situ saja yang belum tersapu. Pulanglah." Aku mencoba meyakinkannya lagi.

'rrrt' Terdengar suara getaran handphone dari kantongnya.

Di tengah kediaman ini, hanya ada suara langkah kaki, bangku yang terdorong, dan suara halus sapu yang menggores lantai. Aku bisa dengar jelas suara handphonenya.

Dari awal aku sudah tahu bahwa dia adalah anak pendiam, aku memutuskan untuk tidak berusaha mengajaknya berbicara. Rasanya kalau aku berusaha berbicara terus dengannya... dia bisa jatuh pingsan.

Pertemanan dan kedekatan antar sesama tidak dinilai dari jumlah percakapan. Hubungan manusia seharusnya tidaklah sesimpel itu.

Seolah saranku dan suara handphonenya berhasil mencuci otaknya, dia menganggukkan kepalanya. "Hm-mm..." Dengan suara kecil dia menyatakan menyerah.

Dia meletakkan alatnya kembali ke pojok kelas, kemudian berjalan keluar kelas sambil mencangklongkan tasnya.

"..." Dari luar kelas, dia berpaling kemudian menganggukkan kepalanya ke arahku. Tanda salam yang dipakai mayoritas penduduk Indonesia.

"..." Aku membalasnya dengan mengangkat satu tangan sambil tersenyum.

Aku melanjutkan menyapu sampai aku selesai membersihkan semua area.

Aku yang sendirian di kelas, kemudian berjalan keluar. Aku menengok ke kanan dan kiri lorong.

Sebenarnya, aku tidak peduli hari ini ada piket atau tidak. Aku hanya menggunakan piket sebagai alasan belaka.

Aku berjalan kembali ke dalam kelas dan menaruh sapu dan cikrak ke tempatnya.

Sudah agak telat. Pikirku, sambil melihat aplikasi jam di handphone.

Aku sedang berjalan di lorong menuju tempat parkir. Tiba-tiba, aku menengok ke langit entah kenapa.

Langit berwarna kuning. Sama seperti hari-hari biasanya, dengan seorang perempuan berada di ujung atap? Di ujung atap? Di ujung atap sekolah?

Aku menjatuhkan tasku dan kakiku bergerak.

Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku berlari demi hidup. Benar-benar untuk nyawa seseorang.

"Hah... Ha..."

Aku merasa lega ketika aku melihat bahwa perempuan itu masih di situ. Aku takut waktu perjalanan kemari, dia sudah lompat dan sia-sia aku capek-capek berlari.

"Hm..."

Karena aku sudah capek-capek berlari ke sini, akan agak memalukan jika aku pergi begitu saja setelah dia jatuh. Jadi aku mulai berjalan mendekat.

Seharusnya dia mendengar suara langkah kakiku mendekatinya, atau setidaknya merasakan keberadaanku di belakangnya, tapi dia bersikap seolah dia tidak sadar. Padahal aku tidak berusaha berjalan tanpa suara.

Pertama, aku harus memastikan bahwa dugaanku itu benar.

"Ngapain di sini?" Tanyaku dari belakang.

"!" Dia terkejut mendengarku.

Jadi memang benar dia tidak sadar.

Mendengar suaraku, bukannya menengok ke aku, namun dia justru semakin memegang erat pegangannya ke tiang pengaman. "A-apa?" Tanyanya kemudian.

Aku justru kebingungan kenapa dia menjadi semakin kaku.

"Aku tanya; 'ngapain di sini?'" Kuulangi pertanyaanku karena entah bagaimana dia tidak mendengar pertanyaanku tadi.

"...mau mati..." Jawabnya sambil setengah menangis.

Aku menghela nafas lega dalam hati.

Untung saja dugaanku benar. Kalau misalnya cuman untuk merekam film dan aku sudah lari capek-capek, itu bisa jadi sangat memalukan.

"Terus? Kenapa masih di sini?" Itu terdengar kasar.

"...takut tinggi." Tubuhnya meringkuk dan kedua tangannya menempel ke tiang pengaman di belakangnya, karena ketakutan.

"..." Aku kehilangan kata-kataku. Baru pertama kalinya aku tahu, ada orang yang ingin bunuh diri dengan jatuh, tapi takut ketinggian.

Sudah berapa lama di sini?

Itulah yang membingungkan. Seharusnya masih ada beberapa murid yang di sekolah karena ekstrakurikuler.

Kenapa aku yang pertama kali tahu?

Hal yang menakutkan, menyedihkan, dan mematikan tadi, menjadi sangat hambar dan kering karena betapa bodohnya situasi ini. Minta maaf kepada semua orang yang telah berani bunuh diri.

"...Terus, masih mau mati apa nggak?"

"..." Dia tidak menjawab. Justru, dia melihat ke bawah.

Itu agak bodoh. Ketakutannya menjadi melipat ganda.

Dia memejamkan matanya dan air mata mulai muncul di ujung mata.

"Gimana?" Tanyaku dingin.

"Mmm!!! Aku nggak mau mati! Aku nggak mau mati! Aku nggak mau temanku menangis! TOLONG AKUU!!!"

Aku segera memeluk perempuan yang ketakutan itu di perutnya dengan erat. Dengan ciri khusus kekuatan fisik yang laki-laki miliki sejak lahir, aku mengangkat dan menariknya dengan sekuat tenaga.

Tubuhnya terangkat dan sampai akhirnya melewati tiang pengaman. Karena beban tubuhnya yang tidak kuduga, keseimbanganku patah dan kami berdua terjatuh ke lantai ke belakang.

Dengan beban tubuh remaja perempuan menimpa di atasku, kepalaku menatap keras ke lantai. Bisa dibilang, aku menjadi bantal baginya.

Apa boleh buat? Aku belum pernah mengangkat manusia dengan cara ini sebelumnya.

Aku menggulingkan tubuhku keluar dari bawahnya. Aku menepuk-nepuk debu dari seragamku. Dan seolah-seolah tanpa terjadi apa pun aku segera berjalan ke pintu.

Aku tidak ingin terlibat dengannya lebih dari ini... selagi dia masih belum melihat wajahku.

"Bentar!" Panggilnya.

Aku berhenti di tengah jalan, tapi aku tidak memalingkan kepalaku.

"...Aku nggak bisa berdiri."

Aku menghela nafas, kemudian menengok belakang.

Aku meminjami bahuku untuk membantunya berjalan. Kami berdua berjalan ke UKS yang ternyata belum dikunci. Aku mendudukkannya ke kasur.

"Makasih; bawa aku ke UKS."

"Sama-sama. Bisa kutinggal sendiri, 'kan? Aku mau pulang." Aku berbicara dengan nada biasa dan tidak menyembunyikan ketidakpedulianku sama sekali.

Mentalnya bagi seseorang yang barusan ingin bunuh diri... sangat aneh dan menarik. Sayangnya, aku harus mengambil tasku dan pulang ke rumah sekarang.

"Mm." Dia mengangguk, kemudian menyalakan handphonenya. "Temanku masih di sini."

Dilihat dari ekspresinya, dia tidak berbohong bahwa dia benar-benar punya teman.

Menurutku, sebaiknya jangan berteman dengan orang seperti itu. Teman seperti apa yang membiarkan temannya ingin bunuh diri?

Teman- setidaknya menurutku, seharusnya berfungsi sebagai pendukung mental bagi semua manusia. Entah dukungan itu banyak atau sedikit, itu tetaplah bantuan mental.

Lalu kenapa dia bisa sampai berpikiran untuk bunuh diri? Tapi di saat yang sama, belum tentu seorang teman dapat membuat seseorang langsung menjadi gembira. Bahkan, biasanya teman hanya akan meninggalkan kenangan sedih dan marah.

Aku tidak akan berusaha terlihat keren dengan mengatakan "manusia dapat hidup sendiri". Aku setuju bahwa manusia tidak dapat hidup sendirian.

Dia melirik ke arahku dengan sedikit malu. "Erm-"

"Nggak akan kusebar." Kataku meyakinkan, seolah aku tahu apa yang ingin dia katakan, tapi sebenarnya aku tidak tahu apa yang ingin dikatakannya. Aku bersikap begitu untuk menutup mulutnya.

Mungkin sebuah takdir aku berhasil menghentikannya dari bunuh diri. Tapi, aku tidak ingin hidup takdir tersebut. Aku tidak ingin lebih terlibat lagi dalam sesuatu yang sangat skandal seperti orang yang mencoba bunuh diri...

Aku berjalan ke pintu keluar UKS.

Aku tahu sendiri. Ini akan menjadi canggung jika aku tetap di sini lebih lama lagi. Kita tidak tahu satu sama lain, dan aku lebih senang lagi jika tetap begitu.

"Bukan itu. Namamu-"

'cklek'

Sebelum dia selesai bertanya, aku menutup pintu.

Ini sudah sangat sore. Aku cepat-cepat berjalan ke tempat parkir. Aku juga perlu mengambil tasku yang kujatuhkan di tengah lorong.

Selagi aku berjalan ke tempat parkir, wajahnya masih tetap melekat di pikiranku.

Aku punya beberapa dugaan siapa dia ini, tapi itu hanya dugaan. Selain itu, ada hal yang lebih menarik bagiku.

Memang dunia ini susah dan busuk, tapi tidak setiap harinya aku dapat melihat seseorang yang berusaha bunuh diri dengan kedua mata kepalaku sendiri. Aku tertarik. Aku ingin tahu alasannya. Aku ingin tahu cara kerja pikirannya. Aku ingin tahu apa penyebabnya. Aku ingin tahu perlu berapa lama pemikiran apa yang bisa sampai membuat seseorang melakukan tindakan bunuh diri. Aku ingin tahu kondisi lingkungan seperti apa yang menyebabkannya berbuat seperti itu.

Tapi itu hanyalah rasa penasaranku saja. Rasa penasaran ini seharusnya tidak melebihi kepentinganku.

Sungguh sebuah kekeliruan. Tidak kusangka dia menyerah bunuh diri.

Kebanyakan kasus bunuh diri yang kulihat di internet, berhasil digagalkan bukan karena orang itu berhasil dipersuasi dengan kata-kata, tapi digagalkan dengan fisik. Dan lebih sering, mereka yang gagal atau menyerah bunuh diri, memang dari awal tidak ingin bunuh diri.

Satu-satunya manusia yang pernah kutemui yang ingin bunuh diri hanyalah perempuan tadi. Jadi ini sangat menarik buatku, sekaligus menyebabkanku membuat sebuah kecerobohan.

"?"

Selagi aku berpikir sambil berjalan, aku melihat seorang siswi berjalan kemari.

Aku mengenal siswi itu.

Dia adalah Silvia Anggraini, ketua OSIS di sekolah ini.

Kenapa dia masih di sekolah? Mungkin dia masih punya tugas di sini, jadi tidak heran jika dia harus berada di sekolah lebih lama daripada murid lain.

Dulu aku ingin berteman dengannya, karena dia ketua OSIS. Tapi... sifat dan reputasinya agak menyusahkan. Jadi aku memutuskan untuk tidak mendekati dia.

Sekarang, dia bukan siapa-siapa bagiku dan aku bukan siapa-siapa baginya.

Ketika aku muncul di pandangannya, dia terkejut. Aku bisa melihat raut wajah dan tubuhnya yang menjadi kaku. Dia berhenti melangkah di tempat agak jauh dariku, kemudian memasang wajah serius.

Aku sedikit penasaran kenapa dia berhenti. Meskipun dia mengenalku, aku tidak mengenalnya. Kunyatakan lagi: aku bukan siapa-siapa baginya.

Dia berjalan ke arahku, tapi tidak mungkin tujuannya di aku.

Jadi aku terus berjalan sampai hampir berpapasan dengannya-

"Aku tahu wajah aslimu." Katanya tiba-tiba, tepat sebelum aku melewatinya.

"?" Aku dibuatnya kebingungan, tapi aku tetap terus berjalan.

Pastinya dia berbicara ke seseorang di belakangku...? Tapi itu agak aneh. Aku tidak dapat merasakan keberadaan orang lain di belakangku. Itu artinya... Silvia Anggraini berbicara denganku...

"Aku ngomong sama kamu!" Dia menarik lenganku dan membuatku menghadapnya.

"???" Ditarik tiba-tiba, aku terkejut dan terdiam.

Yang membuatku terkejut adalah reaksinya. Aku 100% yakin, aku tidak mengingat pernah berbicara dengan Silvia Anggraini, kecuali waktu aku pertama kali mencoba mendekatinya. Dan aku yakin, Silvia Anggraini seharusnya tidak tahu apa-apa tentangku.

Aku ingat saat pertama kali aku berusaha mendekatinya untuk menjadi temannya, dan aku gagal karena sifatnya yang tertutup dan keras. Dia bahkan tidak menengok wajahku saat kuajak berbicara dulu. Jadi, aku yakin dia tidak mengingat wajahku.

Seharusnya, baginya; ini adalah pertama kalinya dia bertemu denganku. Lalu kenapa sikapnya sangat tidak sopan? Kenapa dia marah?

Aku melihat ke belakangnya, aku melihat belakangku, aku melihat sekitar. Tidak ada siapa-siapa. Aku menerima fakta ini. Menanggapi situasi, aku memasang senyum sambil menutupi kebingunganku.

"Oh, Ketua OSIS? Masih di sekolah? Maaf, tadi kukira ketos (ketua OSIS) lagi manggil orang lain. Sibuk di sekolah, ya?" Sapaku, kemudian memulai pembicaraan dengan santai, sambil tersenyum.

"Berhenti pura-pura!" Teriaknya jengkel.

"Erm...?" Aku memasang wajah kebingungan.

Dalam situasi yang tidak adil seperti ini, banyak hal yang bisa kulakukan untuk menghindarinya.

Manusia adalah makhluk yang simpel. Sangat mudah sekali memainkan perasaan dan hati seorang manusia. Misalnya dengan menanam rasa bersalah. Aku hanya perlu bersikap bodoh dan bersikap tidak bersalah sampai dia mulai merasa bersalah sendiri karena telah berteriak-teriak.

"Mungkin... salah orang?" Dengan takut aku bertanya.

"Jangan pikir bisa lari dariku dengan berpura-pura bodoh seperti itu." Ancamnya seperti penjahat di film-film.

"Ngomong apa, sih?" Aku tanpa sengaja melangkah mundur mendengar ancamannya layaknya reaksi orang biasa. Aku memasang senyum masam dan bersikap kebingungan.

"Kalau kamu nggak ngaku, akan kuberitahu ke semua orang!"

-kamu berani mengancamku? Kemarahan meluap dari dalam tubuhku.

"..." Tanganku meraih ke dalam kantong sambil tetap tersenyum masam.

Dengan sekejap aku menemukannya. Aku bisa merasakannya. Benda itu tidak lain adalah sebuah silet. Benda tajam yang selalu kubawa di mana-mana.

Aku berhadapan dengan Silvia Anggraini mata ke mata.

Hatiku mencapai titik paling dingin.

Aku yang sekarang ini bisa menggorok lehernya dengan silet yang kupegang. Darahnya akan beterbangan, dan dia akan mati kehabisan darah.

Aku merasakan sesuatu berbahaya dari dalam tubuhku sendiri. Instingku mengatakan untuk segera memburu.

Tetapi meskipun begitu, tidak ada perasaan "darahku mendidih panas". Justru kebalikannya. Darah di seluruh tubuhku membeku. Untuk menghangatkan diriku, aku ingin bermandikan dengan darahnya.

Ular yang merupakan hewan berdarah dingin; mungkin mereka berburu dengan perasaan seperti ini.

Waktu lewat, tanpa kusadari kepalaku sudah kembali berpikir jelas. Dan kebetulan yang kutunggu-tunggu telah tiba.

'tring-tring, tring-tring' Suara handphoneku berbunyi. Itu bukan suara notifikasi pesan terkirim, melainkan suara handphoneku sedang ditelepon.

"Oh, sebentar." Kataku sambil membuka telapak tanganku, menyuruhnya untuk menunda pembicaraan.

Dibandingkan reaksi temanku yang pemalu tadi, aku segera mengambil handphoneku dari kantong dan melihat siapa yang meneleponku.

Sebenarnya, aku tidak perlu untuk melihat handphoneku untuk mengetahui siapa yang menelepon, karena aku sudah tahu siapa yang menelepon.

"Apalagi itu?" Silvia Anggraini jengkel karena tiba-tiba disela.

"Dicari bapak gue- Bisa dilanjutkan besok, kan? Ya udah, ya? Besok aja!" Pamitku pergi sambil lari.

"Jangan kabur!" Teriaknya membalas.

Meskipun dia telah meneriakkan kata itu, dia tidak mengejarku.

Itu sudah membuktikan bahwa dia sudah mulai menjadi ragu.

Aku tidak tahu apa yang dia pikirkan tentangku sampai membuatnya berteriak-teriak kepadaku. Namun, tidak ada manusia yang bisa dengan yakin mengatakan: "aku tahu apa yang kamu pikirkan", dan Silvia Anggraini termasuk dalam bagian manusia tersebut.

Dengan terus menolak, membuatnya merasa bersalah, mengalihkan perhatian, itu telah menanamkan benih keraguan.

"Pulangmu telat; ngapain tadi?" Sapa ayahku melihatku masuk ke ruang tamu.

"Ada piket." Balasku seperti biasanya sambil melepas sepatu dan kaos kaki.

Itulah balasanku setiap kali ditanya begitu. Dan entah sudah berapa kali kita berdua mengulangi kalimat yang sama.

"Apa biasanya selama itu?"

"Aku ditinggal sendirian. Mereka jahat-jahat, sih..." Keluhku. Aku tidak berbohong. Teman sekelasku yang punya piket hari ini pulang tanpa melakukan piketnya sendiri, kecuali siswa pemalu itu.

"Belakangan ini, ayah juga pulang terlambat." Kataku sambil melepas dasi.

Aku tahu jika ayahku pulang terlebih dahulu sebelum aku, dia akan meneleponku. Dia khawatir aku sedang apa. Dia ini memang orang tua yang baik. Tapi tidak kusangka hari ini dia juga pulang terlambat. Maka dari itu, panggilan telepon itu tiba lebih lambat daripada biasanya.

"Sori, aku juga sibuk." Kata ayahku meminta maaf.

"Terus, kita pulang telat... Kalau keluar makan gimana? Sudah lama nggak keluar makan." Saranku.

Kita berdua tinggal sendiri di rumah ini, maka dari itu tidak pernah ada makanan di meja makan setelah kita sampai di rumah.

Terkadang aku sendiri khawatir, jika tidak ada yang di rumah, pencuri bisa masuk dengan mudah.

Kedekatan dengan ayahku juga penting. Jika aku bisa meyakinkannya bahwa aku adalah anak yang baik dan taat, dia pasti rela menolongku saat aku membutuhkan bantuan apa pun.

avataravatar
Next chapter