webnovel

Part 2/END

♡ Yoona Pov

     Selang beberapa menit setelah itu pesananku tiba. Langsungku sajikan ke hadapan Sehun yang berada disampingku. Terlihat malas, tapi akhirnya ia mulai menyantap pesananku itu. Ops! Baruku sadari. Kini semua rekanku termasuk Seung Hoon tengah melirikku dan Sehun bergantian.

   "Aha.. kebetulan sekali aku mengetahui seleranya.." tentu mereka tidak akan mempercayai perkataanku. Berusaha tidak menghiraukan itu, kumasukkan banyak makanan kedalam mulutku. Barulah mereka berhenti melirik kearah kami.

     Saat ini aku memilih berjalan kaki menuju hotel. Menikmati sejuknya udara pada malam itu. Sehun juga memilih berjalan kaki, sama sepertiku. Ah, tidak. Sebenarnya akulah yang mengikutinya. Melangkah dengan sedikit jarak dibelakangnya. Walau keadaan sedikit berbeda, tapi aku cukup bahagia. Mendadak aku teringat pada Mino. Ya, aku merindukannya. Brukk! Aku menubruk dada bidang Sehun. Ternyata aku telah termenung dan tidak menyadari Sehun yang tengah berdiri menghadapku. Dekatnya jarak kami membuatku lekas mundur selangkah.

   "Kau mengikutiku?" tanya Sehun padaku.

   "Ne." jawabku keceplos. "a-ani." jawabku setelah itu. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Kulihat Sehun menatapku lama dalam diam. Seakan tengah berpikir keras. "w-waeyo?" tanyaku takut-takut.

   "Kuharap kau belum melupakan perkataanku 5 tahun yang lalu." sedikit perih mendengar itu. Sehun segera berbalik dan melangkah menjauh. Entah mengapa, rasanya ingin menangis mendengar itu. Tapi segera kukuatkan diri.

---

♡ Sehun Pov

     Kami sedang berkumpul di kamar Seung Hoon sunbae. Masing-masing sibuk dengan pekerjaan mereka. Begitu juga denganku yang tengah serius menulis laporan mengenai lokasi yang kami singgahi tadinya. Saking fokusnya tanpa sadar malam sudah semakin larut. Ketika aku alihkan pandanganku dari laptopku. Ternyata semua rekan-rekanku sudah tertidur lelap. Termasuk gadis itu. Aku mendengus melihat itu. Tentu aku tak mungkin meninggalkannya begitu saja disana. Setelah memikirkannya hingga berkali-kali, kuputuskan untuk menggendongnya.

     Membawanya kekamarnya. Sebelumnya aku sudah lebih dulu mendapatkan kunci kamarnya dari saku celananya. Kubuka pintu itu dengan susah payah. Lalu kututup dengan sebelah kakiku. Melangkah menuju kasur. Perlahan ku baringkan tubuhnya di atas kasur empuk itu. Sejenak aku terhanyut pada wajah imutnya. Reflek jemariku menyentuh wajahnya. Menepikan poninya dari keningnya. Desir hangat tersalur dari setiap sentuhan itu. Membuat jantungku kembali berdebar hebat. Segera kusudahi itu. Menyelimutinya dengan selimut dan langsung keluar dari kamar itu.

--

     Ada apa denganku dan dirinya pagi ini? Kenapa kami menggunakan pakaian yang serupa? Apa dia sengaja atau ini memang hanya sebuah kebetulan. Semua rekanku sudah mulai menggoda kami dengan cibiran canda mereka. Kulihat Yoona yang malu-malu kucing seakan tergoda oleh perkataan mereka. Ingin menukar pakaian ini, tapi sudah tidak memiliki waktu. Itu karena perjalanan kami sudah kembali dimulai. Dan kali ini rekanku lainnya yang menyetir. Sedangkan aku duduk berdampingan dengan Seung Hoon sunbae di deretan paling belakang. Sedangkan Yoona tetap di kursi paling depan.

   "Yak, ada apa sebenarnya diantara kalian?" bisik Seung Hoon sunbae langsung ditelingaku.

   "Hyung, apa maksudmu?" ujarku pura-pura tidak paham.

   "Sebulan sudah kau bekerja bersama kami. Dan sebulan sudah aku mengamatimu. Tepatnya mengamati kalian. Hyung?!" bisiknya lagi. "setahuku kau berpacaran dengan Tzuyu. Lalu siapa Yoona? Apa kau mempacari 2 orang gadis sekaligus?" perkataannya sudah melantur entah kemana. Tapi aku tak menyangka bahwa sunbae mengetahui mengenai hubunganku dengan Tzuyu.

   "Kau salah paham hyung." jawabku berusaha terlihat santai.

   "Ah.. jadi kau akan tetap merahasiakannya? Baiklah. Aku akan mencari tahu langsung padanya. Kau sendiri tahu, aku sangat dekat dengannya. Awas saja kau! Ah, jangan menyakitinya! Dia gadis baik-baik. Aku tahu bahwa kau playboy kelas lobster." dan kembali fokus pada jalanan. Aku hanya bisa menghela nafas panjangku.

     Kami tiba di Museum Teddy Bear. Belum juga aku turun dari mobil, Kulihat Yoona sudah lebih dulu berlari masuk kedalam gedung. Ya, aku tahu itu. Ia sangat menyukai boneka teddy. Sedikit tak bersemangat aku ikut masuk bersama yang lainnya. Kami kembali sibuk dengan tugas masing-masing. Dan aku hanya perlu mengamati setiap kinerja mereka lalu akan kubuat kedalam laporan.

   "Jesonghamnida.. jesonghamnida.." seru Yoona diujung sana. Kulihat ia sedang menunduk meminta maaf kepada sepasang kekasih yang ada dihadapannya.

   "Apa kau tidak lihat? Kau telah membuatku menumpahkan minumanku ke baju kekasihku!" kata wanita itu lumayan kasar. Aku masih berdiri disini mencoba tidak menghiraukan itu.

   "Apa yang harus aku lakukan agar anda bisa memaafkanku?" kata Yoona setelah itu.

   "Berlututlah dan minta maaf dengan sungguh-sungguh!" kupikir itu sudah kelewatan. Tidak bisa membiarkan Yoona melakukan itu. Cepat-cepat aku melangkah menghampiri mereka. Tepat sebelum Yoona hendak berlutut, aku menarik tangannya hingga membuatnya bergeser ke kebelakang tubuhku."apa yang kau lakukan! Siapa kau!" bentak wanita itu melotot padaku.

   "Anda membawa minuman? Bukankah pengunjung dilarang membawa masuk minuman? Haruskah aku laporkan ke.."

   "Aa.. lupakan perkataannya. Kami pergi dulu." sela si pria yang buru-buru menarik wanita cerewet itu dari hadapanku. Tinggallah aku disana dengannya. Menatapnya tajam tak suka.

   "Bisakah untuk tidak membuat masalah?" kataku ketus.

   "Tidak janji." jawabnya tak kalah ketus dan meninggalkanku begitu saja. Hah, aku bahkan tak bisa berkata apapun melihat sikapnya itu.

     Saat ini aku dan Yoona kebetulan berada di lokasi yang sama. Yoona sedang mengambil gambar teddy bear yang berkonsepkan pernikahan. Dan aku mencatat hal-hal penting dari setiap kalimat yang si pemandu lontarkan.

     Entah apa maksud anak itu. Mengambil gambar kenapa semakin mendekatiku. Ia terus berjalan mundur hingga akhirnya menubruk tubuhku yang tak bersalah. Bukannya meminta maaf. Ia malah berkata..

   "Jangan menghalangi jalanku." ucapnya dan langsung mengambil langkah lain. Membuatku lupa dengan apa yang baru saja si pemandu katakan.

     Saat ini aku berada di bagian tumpukkan teddy yang bertemakan sebuah drama korea yang berjudul Gong atau yang lebih kita kenal dengan Princess Hours. Dan juga ada dia disana. Kurasa ia sengaja mengikutiku. Mencoba tidak menghiraukannya, aku pun memilih fokus pada penjelasan yang si pemandu katakan.

   "Jogiyo, bisakah kau memotretku?" pintanya ke pemanduku. Aku kesal bukan main.

   "Yak! Kenapa kau terus menggangguku!" bentakku geram.

   "Hoh, siapa yang mengganggumu. Aku minta bantuannya bukan dirimu." sahutnya seakan tak merasa bersalah. Si pemandu hanya tersenyum dan mulai membantunya. Lalu aku? Hanya bisa menunggu seraya mengamati mereka yang asik mondar-mandir disana. Sejenak aku terhanyut pada wajahnya, yang tengah tersenyum dan terkadang terlihat imut. Kurasakan jantungku yang kembali berdebar dua kali lebih kencang.

   "Kau tidak mau berfoto? Sinilah.." panggilnya memintaku untuk bergabung dengannya. Tentu aku tidak mau. Tidak, terpaksa mau karena kini tanganku ditarik olehnya. Ia merapatkan tubuhnya ke tubuhku. Lalu berseru kimchi.. luar biasa perbuatannya hari ini, dan menurutku sudah keterlaluan. Sudah kelewat geram, aku mengambil beberapa langkah menjauh darinya. Menatapnya penuh keseriusan. Melihat gelagatku terhadapnya membuat si pemandu sadar dan memilih pergi sejenak.

   "W-waeyo?" tanyanya yang menyadari perubahan mimik wajahku.

   "keumanhaeyo." ujarku menahan kesal.

   "Mwo? Apa yang salah?" ia terlihat melawan.

   "Ingatlah, kita sudah berbeda." kataku masih berusaha bertahan.

   "Memangnya apa yang berbeda? Kau tetaplah dirimu. Dan aku tetap diriku." jawabnya tenang. Aku mendengus masih berusaha menahannya.

   "Kuharap kau masih mengingat itu.." menatapnya lemah.

   "..." kulihat dia tak menjawab apapun. Aku memilih memanfaatkan itu dan segera melangkah pergi. "aku merindukanmu!" serunya dengan kuat. Dugg! Seakan ada sesuatu yang membentur hatiku. Desir hangat menggelitik tubuhku. Kutahan diriku untuk tak menatapnya yang masih berdiri dibelakangku. "tak bisakah kau kembali padaku?" suaranya terdengar parau, kurasa ia sudah menangis. Aku mendadak gelisah. Ya, aku tidak bisa tenang jika mengetahui bahwa ia tengah menangis. Kupaksakan tubuhku untuk kembali menatapnya yang berada 5 langkah dihadapanku. Benar dugaanku, airmata sudah membasahi pipinya.

   "Seka airmatamu sebelum yang lain melihatnya." hanya itu yang aku katakan dan Pada akhirnya benar-benar meninggalkannya disana.

---

♡ Yoona Pov

     Dimana aku saat ini? Ditoilet. Menghabiskan tangisku yang tak juga berhenti. Melihat dirinya yang melangkah pergi seperti itu mengingatkanku pada kejadian 5 tahun yang lalu. Trauma itulah yang membuatku merasa takut. Takut jika ditinggal lagi olehnya. Tapi bagaimana ini? Sepertinya Sehun sangat bersungguh-sungguh dengan perkataannya. Tadinya aku sudah berusaha untuk terus mendekatinya, tapi nyatanya tak menghasilkan apapun. Menenangkan diriku. Merasa sudah tenang, barulah aku melangkah keluar.

   "Yak! Kemana saja kau?! Aku mencarimu hingga kelelahan seperti ini." bentak Seung Hoon oppa yang baru saja menghampiriku. Raut panik terpampang jelas di wajahnya.

   "Aku disana.." kataku seraya menunjuk ke arah toilet.

   "Mwoya, kenapa dengan matamu? Kau menangis?" astaga! Aku melupakan itu.

   "Oo.. ini.. aku.."

   "Pakai ini." Seung Hoon oppa sudah lebih dulu memakaikanku kaca mata hitam miliknya. "wae? Apa dia yang membuatmu menangis seperti ini?" tebakkan yang tepat. Ya, sebenarnya aku sudah menceritakan semuanya pada oppa. Itu karena aku mempercayainya. Aku mengangguk padanya. "heol.. apa dia masih bersikeras pada kata-katanya?"

   "Kurasa ia butuh waktu.." ujarku. Kami sudah mulai melangkah pelan.

   "Yoona-a, bersabarlah, aku akan berbuat sesuatu untuk kalian. So.. jika nanti saatnya tiba, gunakan waktu itu sebaik mungkin. Menempellah padanya. Arraso?"

   "Oppa, memangnya apa yang akan kau lakukan?"

     Terjawab sudah. Aku yang baru saja kembali ke parkiran tak dapat melihat mobil kami lagi. Jelas sekali bahwa tadinya mereka memintaku untuk membeli minuman. Tidak lama dari itu kulihat Sehun yang tengah melangkah kearahku, juga dengan dua botol minuman ditangannya. Jadi inikah ulah oppa? OMG! Jadi apa yang harus aku lakukan?

   "Kita ditinggal?" tanya Sehun. Aku hanya mengangguk, sibuk memikirkan rencana selanjutnya. Melepas kaca mataku dan memasukkan ke saku celanaku.

   "Yak eodiga? Tunggu aku!" berlari kecil mengejarnya yang sudah lebih dulu melangkah menuju halte bis. Sebenarnya aku sedikit takut berada didekatnya. Mengingat dirinya yang sekarang sangat ketus terhadapku.

     Kami tidak mendapatkan jatah duduk di dalam bis dikarenakan terlalu banyak penumpang pada saat itu. Aku dan dirinya berdiri berpegangan pada tiang besi. Bersama penumpang pria lainnya yang kebetulan mengelilingi diriku. Aku sedikit gelisah karena mereka terus mendorong tubuhku, entah sengaja atau apa. Sedangkan Sehun berada jauh dariku. Juga berdiri disana dengan matanya yang fokus ke luar kaca bis. Syukur minumanku dan miliknya sudah kami berikan pada orang yang ada di halte tadinya, jadinya kami tidak terlalu repot membawanya.

     Mereka kembali mendorongku bahkan nyaris membuatku terjatuh ke penumpang yang sedang duduk. Aku benar-benar kesal dengan ulah mereka. Mengamati lengan kiriku yang memerah karena membentur kursi penumpang. Sedikit meringis ketika kucoba menyentuhnya dengan tangan kananku. Pasti akan lama sembuh. Oo? Tangan kananku ditarik oleh seseorang. Membuat tubuhku bergeser dan berakhir bersandar pada tiang kecil. Dan dihadapanku, 2cm dihadapanku Sehun berdiri menghadapku. Omo, ini terlalu dekat. Tapi paling tidak aku terbebas dari pria-pria nakal itu.

     Bis terguncang kesana kesini. Tapi tidak terjadi apapun padaku. Itu karena Sehun memenjara tubuhku dengan tangannya yang nyaris memeluk tubuhku. Dapatku hirup aroma tubuhnya, salah satu yang sangat aku rindukan. Dapat kurasakan mataku yang mulai berkaca-kaca saking senangnya. Kehangatan tubuhnya menghangatkan tubuhku. Sungguh, aku merindukan semua ini.

   "Kau terluka?" bisiknya padaku. Masih sulit berkata, aku hanya menggeleng. Kudengar ia mendengus. Semoga bukan karena kesal denganku.

     Bis berhenti tidak jauh dari hotel. Kami segera turun karena sudah terlalu gerah. Baru saja turun dari bis, kami diterjang angin dingin musim gugur, yang suhunya lebih dingin jika berada di Jeju. Tentu aku mendadak bersin berkat itu. Aku tahu Sehun tengah menatapku, tapi aku tak berani membalas tatapan itu. Jantungku kini sudah berdebar kacau. Tak ingin ia mengetahui itu, aku segera melangkah mendahuluinya. Oo? Tanganku kembali ditarik olehnya, membuatku berputar dan langsung menghadapnya. Ia membuka jaket tebalnya dan langsung memakaikan ke tubuhku yang hanya berbalutkan 2 lapis sweater. Setelah itu ia melangkah mendahuluiku tanpa mengatakan apapun. Kurasa kini pipiku sudah merona. Aku tak mampu menahan senyuman diwajahku. Omo, senyumanku semakin lebar, bagaimana ini?!

---

♡ Sehun Pov

     Nyaris saja memeluknya. Syukur aku berhasil menahannya. Kulihat ia sudah masuk kedalam kamarnya. Barulah aku beranjak masuk kekamarku, yang letaknya tepat disamping kamarnya. Kubuka gorden yang menutupi dinding kaca itu. Terlihatlah langit mendung dengan beberapa kilat yang menyambar langit. Suara gemuruh mulai terdengar dan lama kelamaan semakin terdengar keras. Sontak pikiranku langsung melayang kepadanya. Yoona takut suara petir.

     Mondar mandir diruanganku sambil terus mengamati dinding kamarku yang menyatu dengan dinding kamarnya. Aku bisa menebak, ia pasti tengah meringkuk di dalam selimut sembari meringis ketakutan. Bagaimana ini? Haruskan aku menghampirinya? Tapi itu hanya akan meruntuhkan pertahananku selama ini. Kucoba untuk menyalakan televisi dan menikmati siaran tersebut, tetap tidak bisa membuatku berhenti memikirkannya. Sepertinya aku tidak bisa menahannya lagi. Segera aku melangkah keluar.

     Kulihat Seung Hoon sunbae yang baru saja masuk kedalam kamarnya. Terlihat raut cemas diwajah sunbae. Sesuatu menggelitik hatiku, rasanya tidak enak. Berdehem guna menghilangkan perasaan itu. Dengan berat hati aku kembali masuk kedalam kamarku.

     Malam sudah larut dan Hujan sudah reda. Aku baru keluar dari kamarku setelah menyelesaikan laporanku hari ini. Aku melangkah menuju lift hendak mencari makanan ringan di supermarket terdekat. Langkahku mendadak terhenti, kulihat Yoona tengah berdiri di depan lift. Masih mengenakan jaket milikku. Kurasa tidak perlu menghindarinya sejauh itu. Kakiku kembali melangkah dan berdiri disampingnya. Dapatku lihat dari pantulan pintu lift, kini dirinya tengah menatapku tak percaya. Tapi aku berusaha berlaku santai. Sampai pintu lift terbuka, aku pun langsung masuk kesana diikutinya yang masih saja menatapku.

     Kami sudah memasuki sebuah supermarket yang luar biasa besar. Ya, kami. Dia juga ikut bersamaku. Tadinya ia sudah mengatakan padaku bahwa ia memang memiliki tujuan yang sama denganku. Masih berusaha tenang dan mulai mengelilingi supermarket itu. Kulihat dia sudah menenteng sebuah keranjang yang sudah berisikan banyak makanan. Tidak denganku, aku tidak membutuhkan keranjang karena aku hanya memerlukan beberapa makanan saja. Brukk! Keranjangnya terjatuh kelantai. Kulihat ia meringis kesakitan seraya meniup-niup lengan kirinya. Baru kuingat, aku melupakan itu, tadinya ketika di bis, aku tahu itu, mengenai lengan kirinya yang terluka. Melihatnya yang kesusahan mengangkat keranjang dengan tangan kanannya membuatku iba. Penuh pertimbangan aku melangkah menghampirinya. Tanpa berkata aku langsung mengangkat keranjangnya.

   "Yak, gwenchana.. aku bisa.."

   "Masih ada yang ingin kau beli? Jika masih cepatlah pilih. Ini berat sekali." kataku cepat. Ia hanya menatapku dalam diam. "berhenti menatapku dan lekas bergerak." kataku membalas tatapannya tajam. Ia tertegun dan segera melangkahkan kakinya.

     Ia sedang membayar di meja kasir dan aku memilih menunggu di sebuah kursi tak jauh darinya. Makananku juga dibayar olehnya. Tidak bisa berbuat apapun, ia sangat memaksa. Kulihat ia sudah selesai membayar tagihannya, sebelum sempat diangkatnya, kakiku langsung melangkah cepat dan segera Meraih dua plastik kresek itu dalam satu genggaman tanganku sekaligus.

     Berdiri ditepi jalan menunggu lampu hijau menyala. Padatnya pejalan kaki membuatku terpaksa sedikit menempel pada tubuhnya. Berkat itu tanganku yang bebas terus bersentuhan dengan punggung tangannya. Berusaha tenang dan terus menunggu. Tidak seperti ketika kami pergi, kali ini jalanan jauh lebih padat. Lampu hijau menyala dan aku segera melangkah. Baru saja melangkah beberapa langkah, aku sadar bahwa Yoona tidak ada di sampingku. Ketika aku berbalik mencari tahu, ternyata ia tengah kesulitan melangkah dikarenakan kepadatan pejalan kaki pada saat itu. Tidak mungkin berdiam saja, aku melangkah menghampirinya. Dengan santai meraih tangannya lalu mulai menuntunnya. Jarak penyebrangan lumayan jauh dikarenakan kami berada simpang 6 yang luas. Takut ia terlepas dariku, tanganku reflek bergerak lembut turun dari lengannya hingga mengisi setiap sela jemarinya. Menggenggam tangannya dengan erat barulah aku bisa merasa tenang.

---

♡ Yoona Pov

     Tahukah bagaimana perasaanku saat ini? Jika diizinkan melompat pastilah aku sudah melompat setinggi mungkin. Sehun yang menggenggam tanganku seperti ini sungguh diluar harapanku. Aku benar-benar merindukan genggaman ini. Genggaman tangannya masih sama seperti dulu, hangat dan penuh kelembutan. Hingga kami sudah melewati penyebrangan, ia masih menggenggam tanganku. Entah karena lupa atau apa. Yang pastinya aku bahagia luar biasa. Hingga kami hampir sampai di halaman hotel, barulah ia melepas tanganku.

     Melewati rekan tim kami yang sedang duduk santai di lobi. Tidak menghiraukan panggilan mereka. Terus melangkah hingga masuk kedalam lift. Perasaan canggung terlihat jelas di wajah kami. Hanya diam menunggu lift tiba di lantai yang kami tuju. Pintu lift terbuka, Sehun lebih dulu keluar setelahnya barulah aku melangkah mengikuti langkah panjangnya. Tepat dihadapan kamarku, dia menghentikan langkahnya. Menyerahkan plastik itu kepadaku. Segera ku raih dan cepat-cepat merogoh plastik itu untuk mengambil plastik kecil yang sudah aku pisahkan. Kuberikan barang miliknya padanya. Ia menerimanya. Tanpa mengatakan apapun dan langsung melangkah masuk kedalam kamarnya.

     Saat ini aku sedang membuat strawberry milkshake. Tentu aku membawa mini blande yang selalu ku masukkan kedalam koper besarku. Membersihkan strawberry yang baru saja kubeli. Tak lupa mencampurnya dengan yogurt dan sedikit susu. Tanpa sadar aku membuatnya menjadi dua gelas. Diam sejenak mengamati dua milkshake itu. Meyakinkan diri, kuambil sebuah botol minuman yang kubawa dari rumah. Memindahkan milkshake itu kedalam botol dan tak lupa menutupnya dengan rapat. Penuh keyakinan, aku melangkah keluar kamar, dan dengan berani mengetuk kamarnya. Tak kusangka, beberapa detik kemudian ia sudah membuka pintu kamarnya. Kulihat ia yang hanya mengenakan kaos bertangan puntung dengan handuk kecil yang masih bergantung di bahunya. Sepertinya ia baru selesai mandi, terlihat dari rambutnya yang setengah basah dan aroma sabun mint yang terhirup kuat.

   "..." diam menatapku. Menunggu aku berkata. Bersandar pada tembok menghadapku.

   "Ini.. aku baru saja membuat.."

   "Haru-a.. jangan berlari!" teriak seorang ibu kepada anak laki-lakinya yang tengah berlari di koridor. Tepat ketika itu si anak tengah berlari kearahku, ia berlari sangat kencang membuatku termenung bingung. Tapi sedetik kemudian kurasakan tanganku yang ditarik oleh Sehun hingga membuat tubuhku membentur dada bidangnya. Dugg! Dugg! Dugg! Aku nyaris tak bernafas. Pipiku yang menempel ditubuhnya mendadak memanas. "omo, jesonghamnida.. jesonghamnida.." kata si ibu kepada kami.

   "Tolong jaga anakmu.." kata Sehun rada ketus. Aku langsung menjauh darinya.

   "Ani gwenchanayo.. lagi pula dia masih anak-anak.. omo.. anak anda tampan sekali." kataku berusaha bersikap akrab kepada ibu itu.

   "Tampan apanya." gumam Sehun dan langsung kusikut tangannya.

   "Gwenchanayo omonim.." tambahku. Ibu itu berkali-kali menunduk meminta maaf, membuatku merasa tidak enak.

   "Kalau begitu kami pergi dulu.." kata si ibu masih terlihat merasa bersalah. Tinggallah aku dan Sehun disana.

   "Kau kasar sekali." grutuku padanya.

   "Apa yang ingin kau berikan padaku?" tanyanya masih ketus.

   "Tidak jadi!" selaku tak kalah ketus. Aku hendak melangkah masuk kedalam kamarku, tapi tiba-tiba saja Sehun menarikku masuk kedalam kamarnya.

   "Duduk." ucapnya sedikit memerintah. Aku mengikuti perintahnya. Duduk di sudut kasurnya. Tidak lama kemudian Sehun ikut duduk disampingku. "buka jaketmu." pintanya yang membuatku merinding mendengarnya.

   "Apa maksudmu..!" meletakkan botol minuman itu ketas kasur lalu menyilangkan tanganku ke dada.

   "Kau pasti berpikir jorok." katanya seraya menjitak kepalaku. "cepat buka, tanganmu harus segera diobati." nada suaranya mendadak melembut seperti sutra. Aku baru menyadari itu, dan mulai membuka jaketku yang sesungguh miliknya. Sehun bergerak lembut melipat lengan kemejaku yang sebelah kiri. Terlihatlah, kulit lenganku yang lebam. "kau masih saja tak peduli pada tubuhmu." gumamnya pelan. Mengoleskan salap ke kulit lenganku, lalu menempelkan sebuah plaster berukuran besar hingga membalut lenganku. "ini untukku?" tanyanya setelah itu yang sudah meraih botol minuman itu. "jadi tadi kau membuat ini?" dan mulai meneguk minuman favoritnya itu. "massiso." ujarnya. Dan sedetik kemudian menatapku, yang sedari tadi hanya diam menatapnya. Aku terlalu shock melihat perlakuannya terhadapku.

   "Waeyo? Kenapa kau seperti ini padaku?" kataku masih menatapnya.

   "Berhentilah membuatku khawatir." ujarnya lembut, menatapku lekat.

   " LKau mengkhawatirkanku?" tanyaku lagi.

   "..." ia diam sejenak dalam tatapan itu. "aku mau tidur. Kau sudah bisa keluar. Aa, makasih buat minuman ini." mendadak bangkit dari duduknya. Tak lagi menatapku. Menahan kekesalan itu, aku melangkah keluar. Namun sebelum itu, ku sempatkan untuk mengatakanya.

   "Jika kau tetap mempertahankan pemikiranmu, aku juga ingin kau mengetahui pemikiranku. Kepergiannya bukan dikarenakan kesalahanmu. Kau sama sekali tak bersalah." lalu menutup pintunya.

---

♡ Sehun Pov

     Ombak menghempas pesisir pantai dengan semangat. Aroma air laut terhirup kuat. Kicauan burung dan suara desiran ombak menjadi satu. Langit memperlihatkan sinarnya. Disituasi seperti itu seharusnya pesisir pantai sudah dipenuhi banyak wisatawan, tapi yang terlihat hanya diriku seorang diri. Tidak. Ada seorang pria disana. Berdiri membelakangiku, tengah menikmati hempasan ombak yang menerpa kakinya. Tunggu, aku seperti mengenal sosok itu. Oh tidak! Tubuhku mendadak merinding. Ragu-ragu kulangkahkan kakiku mendekatinya.

   "Mino-a.." panggilku tidak begitu yakin. Pria itu berbalik dan menghadapku. Aku terjatuh saking lemasnya. Pria itu benar Mino. Sahabatku. Tapi, tapi Mino sudah tiada.

   "Sehun-a.. Wah, kau semakin tampan." ujarnya yang ikut duduk disampingku. Seperti biasa, menatapku dengan senyumnya yang memperlihatkan barisan gigi putihnya. "kenapa kau lama sekali, aku sudah menunggumu lama." katanya seraya mengaitkan tangannya dileherku. Merasa ini tidak benar, aku tepis tangannya lalu berdiri sedikit melangkah menjauh.

   "Kau, kau siapa?" tanyaku dipenuhi rasa takut.

   "Yak.. naya. Mino.. Song Mino." jawabnya dengan gayanya seperti biasa.

   "Ani, itu tidak mungkin. Kau, kau sudah.."

   "Ne.. majjayo." selanya. "aku memang sudah tiada." raut wajahnya berubah sendu. Tiba-tiba saja langit cerah bergantikan dengan gelapnya malam. Angin kencang menghempas tubuhku dan tubuhnya. Wajahnya mendadak memucat, menatapku sendu. "oraemaniya Sehun-a." masih tersenyum padaku. Kurasakan airmata yang sudah mengalir di pipiku. Mataku terasa panas. Jantungku berdetak berat. Aku sungguh terguncang. "sepertinya kau baik-baik saja. Syukurlah." kembali memperlihatkan gigi putihnya. Ia melangkah mendekatiku. Tubuhku seakan terpaku, tak mampu menghindarinya. "Sehun-a, ada yang harus aku katakan padamu sebelum waktuku untuk kembali tiba." menatapku yang tepat dihadapannya. Penuh keseriusan. "lupakan kejadian 5 tahun lalu. Kematianku sama sekali tidak ada sangkut-pautnya denganmu. Semuanya murni kecelakaan." ia memegang bahuku. Kurasakan tangannya yang dingin seperti bongkahan es. "jangan jadikan aku sebagai alasan untukmu menjauhinya. Jika kau mencintai, maka cintailah dia dengan sepenuh hati. Aku sebagai sahabat kalian tentu akan senang jika mengetahui bahwa kalian hidup bahagia. Kurasa kau sudah tahu bahwa Yoona juga menyukaimu. Lalu kenapa kau masih mengulur waktu. Kau hanya akan menyakitinya." dan kali ini menggenggam kedua bahuku. Menatapku tajam. "demi aku, kumohon. Jaga Yoona baik-baik." sentuhan itu tak lagi kurasakan. Wajahnya memudar. Begitu juga tubuhnya yang perlahan menghilang terbawa angin. Hingga akhirnya benar-benar tak terlihat lagi. Tinggallah aku disana dengan deru nafas beratku. Kenyataan untuk menerima kepergiannya benar-benar menyakitkan. Aku hingga terisak hebat tak kuasa menahan kesedihan itu. Tiba-tiba saja kurasakan sesuatu menarik tubuhku dari sana. Dengan kuat hingga akhirnya aku terbangun dari mimpi itu. Ya, aku baru saja terbangun dari mimpi.

---

♡ Yoona Pov

     Sarapan bersama rekan-rekanku di restoran hotel. Padahal aku ingin duduk disampingnya, tapi kursi yang tersisa hanya disamping Seung Hoon oppa. Dengan terpaksa aku duduk disampingnya.

   "Wae! Kau tak suka duduk disampingku?!" bisik oppa kepadaku. Aku hanya tersenyum mendengarnya. "malah tersenyum. Jangan tersenyum didekatku. Senyumanmu terlalu manis untukku lihat." ujarnya seraya mencubit pipiku dengan geram.

   "Oppa! Appo.." menepis tangannya dari wajahku. Sekilas aku melirik ke Sehun. Kulihat dia yang tengah menikmati roti panggangnya.

   "Aa.. Sehun-a. Apa kau putus dengan Tzuyu?" tanya Seung Hoon ke Sehun. Membuat semua rekanku termasuk aku melihat ke arah Sehun.

   "Hem." dan mengangguk mengiyakan. OMG! Aku senang bukan main. Kutahan senyuman diwajahku. Kulihat Sehun yang melirikku sejenak sebelum kembali menyantap sarapannya. Omo, hanya karena tatapan itu jantungku kembali berdebar hebat. Ku teguk minumanku hingga tak tersisa.

   "Hari ini kita ke taman bunga. Kalian sudah siapkan semua perlengkapannya?" ujar salah satu dari rekanku lainnya.

   "Ke taman bunga dengan para pria. Aish! Kenapa tim kita tidak ada wanita?! Mian Yoona. Kenapa harus banyak pria?! Benar-benar mengesalkan." celoteh Seung Hoon yang terlihat lucu bagiku. Membuatku tertawa kecil berkatnya. Kembali kucoba melirik Sehun, dia masih serius mengunyah. Sungguh aneh, sedari tadi aku merasa ia tengah menatapku, tapi ketika kucari tahu, ternyata tidak.

     Kami sudah duduk santai didalam mobil menunggu perjalanan itu tiba di tempat tujuan. Kali ini Sehun yang menyetir. Dan aku sukses duduk disampingnya. Suhu udara hari ini jauh lebih dingin dari yang sebelumnya. Tapi aku sudah lengkap dengan kaos berlapisku, walau sepertinya tidak juga berguna. Aku terlalu terburu-buru hingga lupa membawa sweaterku.

     Seung Hoon oppa bernyanyi diikuti petikkan gitar yang ia mainkan. Aku ikut bernyanyi bersamanya dan tetap sesekali melirik Sehun yang tengah serius menyetir. Pada saat itu Seung Hoon oppa memintaku untuk bernyanyi solo. Dan aku memilih lagunya Lee Hi yang berjudul Missing You. Syukur oppa mengetahui kunci gitarnya. Perlahan irama petikkan gitar terdengar, penuh penghayatan aku mulai menyanyikan syairnya. Bisa dikatakan suaraku tidak buruk, bahkan sudah pantas menjadi penyanyi. Jika mengingat masa lalu, Sehun sangat senang mendengarku bernyanyi. Karena itu, ketika kini aku bernyanyi, mataku tak luput darinya. Ia memang terlihat tidak mempedulikanku, tapi paling tidak ia pasti mendengar nyanyianku.

     Tak terasa kami sudah sampai di taman bunga. Disana masih sangat sepi mungkin kami datang terlalu pagi. Baru saja Sehun memarkirkan mobilnya, rekan-rekanku sudah berlarian keluar dari mobil. Sedikit memperlama gerakku berharap bisa melangkah bersamanya, dia malah berbaring di dalam mobil.

   "Kau tidak turun?" tanyaku heran.

   "Turunlah, aku akan menyusul." memang nasibku yang sial. Sepertinya ia masih mengantuk. Kupikir lebih baik untuk meninggalkannya disana. Dengan tak adanya semangat, aku mulai turun dari mobil. Kakiku mulai melangkah menelusuri taman bunga itu. Disana luar biasa indah. Kupastikan memori kameraku akan penuh karena terlalu banyak memotret.

     Satu jam sudah aku mondar-mandir. Lama Kelamaan mulai terlihat beberapa pengunjung yang hampir rata-rata adalah sepasang kekasih. Tentu cemburu melihat mereka. Seandainya Sehun ada bersamaku. Hah, lagi pula ia tidak menganggapku spesial. Ia bahkan sudah menjauhiku. Nasibku terlalu menyedihkan. Saat ini aku berada di sebuah puncak dimana aku dapat melihat isi dari keseluruhan taman. Lebih indah bahkan luar biasa indah. Sayangnya angin disini lebih dingin dari bayanganku. Aku sampai bersin berkali-kali. Tapi aku tak juga beranjak dari sana, itu karena aku masih menunggu kameraku yang merekam di satu titik untuk merekam perubahan cahaya disana. Hangat. Pipiku hangat. Seperti kilat aku menoleh mencari tahu. Ternyata Sehun sudah berdiri disampingku. Dan menempelkan sebuah kopi kalengan yang hangat. Dengan senyumku yang sudah mengembang, aku menerima minuman itu. Segera kunikmati minuman hangat itu.

   "Gomawo.." ujarku pelan. Kulirik dia yang hanya diam disampingku.

   "Berhenti melirikku." katanya seraya mendorong wajahku agar kembali menghadap kedepan. Hachim! Aku kembali bersin. "dimana jaketmu?" tanyanya.

   "Dikoper." jawabku ketus. Hachim! Dan kembali bersin.

   "Kau harus turun sekarang juga. Disini terlalu dingin." sudah menggenggam tanganku hendak menarikku turun dari sana. Tapi aku menahan tarikkannya.

   "Shiro." tolakku dan kembali pada posisiku. Memeriksa kameraku dan kembali fokus pada pemandangan disana.

   "Kau bisa sakit." suaranya terdengar cemas. Ia sudah kembali berdiri disampingku.

   "Aku harus menyelesaikan rekaman ini. Ini sangat penting untukku." bersikeras untuk tetap disana walau bersin terus melanda. Hening. Tak ada suara yang terdengar. Kucoba untuk melihat kearahnya. Dan ia sedang menatapku. Aku mendadak kikuk dalam tatapan itu. "w-waeyo?" tanyaku malu-malu. Ia masih saja diam dan terus menatapku.

   "Kau masih saja keras kepala." ucapnya setelah itu. Terlalu lama dalam tatapan itu, segera kulepaskan pandanganku darinya. Kembali mengamati pemandangan disana.

   "Aku hanya ingin mendapatkan rekaman yang bagus. Dengan begitu aku bisa.." hangat. Kali ini tubuhku yang hangat. Sehun memelukku dari belakang! OMG!

   "Aku juga kedinginan." bisiknya. Perlahan kurasakan wajahnya yang menempel di samping wajahku, dan perlahan pelukan itu semakin terasa erat. Sukses menghangatkan tubuhku. "Semalam Mino menghampiriku." tentu aku kaget. "lewat mimpiku." aku mendadak cemas.

   "Kau baik-baik saja?" tanyaku masih dalam pelukkan itu.

   "Entahlah. Seharusnya aku sudah merasa baikkan."

   "Apa maksudmu?" tak paham maksud dari perkataannya.

   "Haruskah kurelakan kepergiannya?" karena yang kuketahui, Sehun memang masih berat untuk merelakan kepergian Mino. Terlalu mencemasinya, aku segera berputar untuk menatapnya langsung.

   "Sudah berapa kali aku katakan. Itu bukan salahmu. Kepergiannya.." perkataanku terhenti karena Sehun tengah menyentuh pipiku dengan jemarinya. Tubuhku mendadak mematung berkat sentuhan itu.

   "Kau semakin gemuk." suaranya terdengar lembut. Sungguh, kerinduanku padanya perlahan terobati.

   "Ani. Pipiku memang seperti ini." sahutku yang sudah salah tingkah. Memilih menunduk menghindari tatapannya. Ia kembali diam. Lama menunggunya, aku kembali menatapnya. Ternyata ia masih menatapku. Kurasakan desir panas yang mengalir dari tatapan itu. Sejenak, aku terhanyut pada tatapannya. Kami terdiam dalam beberapa detik menikmati sensasi menggetarkan itu. Masih saling menatap. Saling melepas rindu. Setelah 5 tahun lamanya berpisah.

   "Aku merindukanmu.." bisiknya. Membuatku tersenyum tersipu malu.

   "Akhirnya kau mengatakannya." ia ikut tersenyum simpul.

   "Mianhae, aku sudah terlalu banyak melukaimu." semakin menatapku dengan penuh keseriusan.

   "Gwenchana. Yang terpenting sekarang kau sudah kembali padaku." kami sama-sama tersenyum bahagia.

   "Omona!" suara itu sontak membuat kami kaget dan langsung menjaga jarak. Seung Hoon sudah berdiri di hadapan kami. Menatap kami bergantian. Kulihat Sehun yang tak menghiraukannya malah mengamati pemandangan disana dengan santai. "ehei.. kalian membuatku sedih." mengelus dadanya. "sedari tadi aku menahan diri untuk tidak cemburu dengan setiap pasangan yang berdatangan. Tapi kini aku malah melihat rekanku yang tengah kasmaran. Kenapa kalian membuatku merasa lebih menyedihkan?!" mimik wajahnya terlihat sangat lucu. Aku bahkan tertawa melihatnya. Juga Sehun yang hanya tersenyum berusaha tenang. "hoh, dan sekarang kalian menertawaiku? Baiklah, silahkan lanjutkan cinta-cintaannya. Aku pergi dulu!" dan sudah berlari menuruni anak tangga. Suasana mendadak menjadi hening. Aku melirik Sehun yang ada disampingku.

   "Apa kau sungguh telah putus dengan Tzuyu?" tanyaku yang setelah itu menyesalinya. Sehun hanya tersenyum padaku. "kenapa kau tersenyum?" tanyaku lagi.

   "Kau cemburu padanya?" masih dengan senyuman diwajahnya.

   "A-ani!" jawabku cepat. Tapi ia masih saja tersenyum.

   "Kurasa kau sudah cukup lama merekam. Matikanlah kameramu. Kita harus segera turun sebelum kau membeku disini." dengan wajah manyun aku bergerak mematikan kameraku dan menyimpannya kedalam ranselku. Baru saja aku selesai memakai ranselku, Sehun sudah menarik tanganku. Menuntunku menuruni tangga dengan genggaman tangannya yang semakin erat. Kami terus melangkah hingga akhirnya melewati sebuah padang rumput yang ditumbuhi bunga berwarna ungu. Tentu aku segera berlari kesana dan genggaman tangannya terlepas dari tanganku.

---

♡ Sehun Pov

     Aku masih berdiri diluar padang rumput. Mengamatinya yang tengah berfoto ria disana. Kuperhatikan setiap tindak lakunya. Wajah cantiknya, senyum manisnya. Membuat debaran jantungku semakin pecah semarak. Aku masih menahan diri untuk tidak menghampirinya. Masih berusaha tenang dengan mataku yang tak luput dari setiap gerak-geriknya. Sejenak kupikirkan itu, aku menyesal telah meninggalkannya 5 tahun yang lalu. Ia pasti sudah sangat tersakiti olehku. Berkat mimpiku pada malam itu, berkat perkataan Mino dalam mimpi itu, akhirnya aku dapat merasa lega. Bebanku yang selama ini kupikul kini musnah sudah. Benar yang Mino katakan, aku harus melindunginya. Dan aku harus mengungkapkan lagi padanya, mengenai perasaanku yang dari dulu hingga sekarang belum sedikitpun berubah.

     Kulihat dia masih asik mondar mandir disana. Sedangkan aku masih disini, masih berusaha menahan diriku. Apa maksudnya itu? Entahlah. Seperti ada sesuatu yang mendesakku untuk melakukannya. Terlebih ketika aku melihat wajah itu, yang tengah tersenyum, sangat menggoda. Sungguh, aku sudah tidak sanggup menahannya. Tak lagi menahannya. Kakiku mulai melangkah. Melewati rerumputan yang tingginya nyaris sepinggangku. Melepas kancing jaketku. Entah mengapa mendadak aku merasa gerah. Terus melangkah. Juga kubuka kancing kemeja teratasku. Masih menatapnya dan terus melangkah. Kulihat dirinya yang telah menyadari kedatanganku dan berdiri menghadapku. Pas sekali. Pikirku. Tinggal lima langkah lagi mendekatinya. Dan setelah itu, ketika sedikit lagi tiba dihadapannya, dengan gerakkan cepat kedua tanganku sudah menangkup wajahnya. Dan sedetik kemudian, Aku sudah mendaratkan bibirku di bibirnya.

     Diam sejenak dalam sentuhan itu. Deru nafasku dan dirinya menyatu. Suara detak jantung entah milik siapa terdengar berbisik. Seluruh tubuhku bergetar geli tapi penuh kehangatan. Usai itu, perlahan aku mulai bergerak lembut, melumat bibirnya dengan lembut. Batang hidungku hingga menekan tulang pipinya. Kurasakan tangannya yang menggenggam lengan jaketku erat. Tapi aku semakin menariknya kedalam dekapanku. Deru nafas kami semakin menggebu-gebu. Dinginnya angin musim gugur tak lagi kami rasakan. Kami sudah terlanjur terbakar api asmara. Kurasakan dirinya yang mulai membalas ciumanku. Gerakkannya pelan, tapi cukup menantangku. Ini sudah terlalu jauh, kurasa aku harus menghentikannya. Dengan setengah hati, aku menarik wajahku menjauh darinya. 5cm di hadapannya. Sama-sama tengah mengatur nafas. Perlahan kembali saling tatap. Ku usap pipinya yang lembut.

   "Saranghae.." bisikku padanya. "sangat mencintaimu." tambahku. Ia tersenyum dengan matanya yang mulai berkaca-kaca. "wae.. kenapa menangis?" menyeka airmata di wajahnya.

   "Aku masih tidak bisa mempercayai ini. Kau memelukku, menggenggam tanganku.." ia diam sejenak. "menciumku." sambungnya. "kau sungguh dengan semua ini? Berjanjilah untuk tidak meninggalkanku lagi." banyak yang ingin aku katakan padanya, tapi aku memilih untuk memeluknya saja. "mwoya.. kenapa kau tidak menjawabku." katanya dalam pelukkanku.

   "Percayalah padaku. Hanya itu yang harus kau lakukan." bisikku lagi padanya dan semakin memeluknya erat.

     Usai sudah masalah kami selama ini. Semuanya memang dikarenakanku. Jika saja dulunya aku tidak meninggalkannya, ia tidak akan tersakiti olehku. Tentu aku menyesali perbuatanku.  Dan aku bertekad tidak akan membuatnya menangis. Aku akan berusaha sebaik mungkin untuk melindunginya dari apapun itu.

     3 hari setelah itu. Kami semua kembali ke Seoul. Kembali melakukan aktifitas seperti biasanya. Yang berbeda hanya ada padaku dan dirinya. Walau kami menyembunyikan hubungan kami di kantor, sepertinya tetap saja ada yang mengetahuinya. Tak terlupakan untukku mengunjungi Omonim. Ibunya Yoona. Yang sudahku anggap seperti ibuku sendiri. Ia menyambutku dengan hangat. Memasakkanku banyak makanan. Tidak ada yang tidak kusuka dari masakkan buatannya. Itu karena ia memasakkanku khusus hanya makanan kesukaanku. Puas sudah, akhirnya aku bisa merasakan kehangatan pada keluarga ini. Keluarga yang nantinya akan menjadi keluargaku. Keluarga yang harus aku lindungi. Satu hal yang aku dapatkan dari peliknya masalah ini. 'Jangan simpan kata rindu. Datanglah padanya jika kau benar-benar merindukannya.'

--The End--