1 Insiden hari pertama

"Akh!"

Mentari berteriak saat melihat seorang pria berdiri dengan keadaan polos. Ia sedang memegang t-shirt yang tidak jadi dipakai karena terkejut mendengar teriakan gadis itu. Secepat kilat, gadis itu membanting pintu dan berlari menuruni anak tangga.

Di kamar, pria itu masih syok. Kedua mata elangnya itu mengerjap berkali-kali. Mulutnya menganga lalu mengatup beberapa detik kemudian.

"Siapa wanita itu? Kenapa dia masuk ke kamarku tanpa izin?"

Will segera mengenakan baju dan celananya. Dengan emosi yang memuncak, ia berlari mencari gadis tadi. Sementara orang yang sedang dicari itu ada di kamar Monica, anak dari pria itu.

"Bi! Kemana dia?"

Dari arah dapur, wanita paruh baya yang dipanggil itu menyahut.

"Iya, Tuan," sahut Imah sambil membawa kain lap di pundaknya. Ia sedang menyiapkan sarapan di meja makan, tapi teriakan majikannya itu membuat ia meninggalkan pekerjaannya. "Ada apa, Tuan?"

"Mana gadis itu?"

"Gadis yang mana, Tuan?"

"Itu, gadis pendek, kulitnya sawo matang, pakai baju kemeja lengan pendek warna biru, celana hitam panjang. Kemana dia?"

"Oh, maksud, Tuan, Neng Mentari," ucap Imah saat mengenali ciri-ciri yang disebutkan oleh William.

"Mentari atau awan, saya tidak mau tahu namanya. Yang saya tanyakan, dimana dia?"

"Mungkin di kamar Non Monic, Tuan."

"Kenapa dia di sana?"

"Dia pengasuh baru. Baru tiba tadi malam, Tuan.

"Terima kasih, Bi."

William segera berlari menuju kamar putrinya. Monica Anindita Prasetyo, dia ditinggalkan ibunya sejak bayi. Semua berpikir ibunya meninggal saat melahirkannya.

Cerita seungguhnya, hanya William dan keluarganya saja yang tahu. Mereka sepakat untuk tidak mengungkit masalah ibu kandung gadis kecil itu. Biarkan saja Monica meyakini bahwa ibunya telah lama meninggal.

"Hei, kamu!" Will langsung menunjuk Mentari saat ia membuka pintu kamar Monic. 

Mentari berjalan sambil menundukkan wajahnya. Seumur hidup, ia tidak pernah melihat tubuh laki-laki dewasa polos tanpa kain sama sekali. Tidak disangka, hari pertama bekerja justru melihat hal tabu itu.

"Saya tidak sengaja, Tuan."

"Apa kamu tidak bisa mengetuk pintu?"

"Maaf, Tuan. Saya pikir tidak ada orang, karena Non Monic bilang, Tuan ada di luar kota."

"Kenapa kamu masuk ke kamarku? Apa kamu berniat mau mencuri sesuatu dari kamarku?"

"Ti-tidak, Tuan. Non Monic meminta saya mengambilkan bonekanya yang tertinggal di kamar itu."

William mengernyitkan dahi. Kamar itu selalu terkunci saat ia pergi keluar kota. Bagaimana mungkin Monic bisa meninggalkan boneka di kamarnya.

Monica senyum-senyum sendiri sambil menutup mulutnya. Ia tahu, pasti putrinya itu sengaja mengerjai Mentari. Will berjalan melewati gadis itu dan berhenti di depan putrinya.

"Itu ulahmu 'kan? Ayo jawab papa!" William membentak gadia kecil itu.

Bukan hanya Monic yang terperanjat, tapi Mentari juga ikut terkejut. Monica masih sangat kecil, ia baru berusia empat tahun. Rasanya sedikit keterlaluan, jika William sampai memarahinya sekeras itu.

Mentari segera berlari dan berdiri di depan Will. Ia menyembunyikan gadis kecil itu di belakang punggungnya. Monica memang anak yang nakal, tapi bukan berarti harus dibentak seperti penjahat.

"Maaf, Tuan, Anda tidak perlu berteriak seperti itu," ujar Mentari membela Monic.

"Siapa kau? Aku sedang mendidik anakku dan kau … tidak punya hak untuk ikut campur."

Monica mendorong Mentari, sehingga gadis itu tersungkur ke dalam pelukan Will. Sementara si pembuat ulah telah berlari keluar dari kamar. Tersisa mereka berdua yang saling menatap satu sama lain.

Hingga beberapa saat kemudian, Will mendorong tubuh Mentari sampai terbaring di atas ranjang. Keduanya merasakan detak jantung yang naik tak beraturan. Suasana canggung itu harus diakhiri, Mentari segera bangun dan pergi meninggalkan William yang masih membatu.

"Chh! Berapa umurnya, kenapa pendek sekali? Dan, itu … lebih kecil dari ukuran wanita dewasa pada umumnya," gumam William sambil tersenyum geli.

Tadi, ia tidak sengaja menyentuh bukit kembar milik Mentari. Ia menduga, gadis itu masih umur belasan tahun. William akan terkejut jika tahu usia gadis itu yang sudah menginjak dua puluh tiga tahun.

***

"Non Monic, pulang sekolah jam berapa?"

"Jam sepuluh. Kenapa? Tante mau kabur, ya?" tanya Monica menyelidik.

"Tidak. Tante ada urusan sebentar, nanti balik lagi, kok, jemput Non Monic."

"Bohong! Mereka semua juga bicara begitu, tapi mereka tidak kembali lagi," ucap Monica sambil menunjukkan wajah muram.

"Mereka, siapa?"

"Pengasuh. Mereka selalu bilang akan kembali menjemput, tapi mereka pergi dari rumah."

Gadis kecil itu menangis sedih. Mentari adalah pengasuh yang kesepuluh. Sembilan orang pengasuh terdahulu, mereka kebanyakan tidak tahan dikerjai oleh Monic. Sehingga, mereka selalu mengantarkan gadis itu ke sekolah dan pergi tak pernah kembali.

Mentari berjongkok, mensejajarkan tingginya dengan gadis kecil itu. Ia memeluk Monica dan menenangkannya. Sebagai anak adopsi yang tak pernah tahu bagaimana rupa ibunya, ia sangat mengerti perasaan gadis kecil itu.

"Monic bisa pegang janji Tante. Tante pasti kembali menjemput, Monic. Jangan menangis," ucap Mentari sambil menepuk lembut punggung Monica.

Gadis itu masuk ke dalam TK. Glory. TK terbesar dan terbaik di Ibukota. Alasan Mentari tidak mengantar Monica sampai ke kelas karena ia takut bertemu pemilik sekolah taman kanak-kanak itu.

"Lebih baik aku pergi sekarang," gumam Mentari sambil melirik ke kanan dan ke kiri, lalu menyeberang jalan. Ia menyetop mobil taksi dan pergi dari sekolah.

Mentari mengenal pemilik sekolah itu, karenanya ia takut. Akan terasa janggal di mata wali murid yang lain jika mereka mengetahui seorang pengasuh mengenal pemilik sekolah mewah itu. Mereka akan mempertanyakan asal-usulnya.

***

Mentari tiba di sebuah taman. Ia menelepon seseorang dan mengajak bertemu di sana. Sesekali, pandangannya berkeliling, mengamati sekitar.

"Saya di taman," pungkas Mentari menutup panggilan telepon.

Dua puluh menit kemudian, ada seorang wanita yang menghampirinya. Ia duduk di samping Mentari dengan setumpuk file di pangkuannya. Mereka mengedarkan pandangan. Dirasa aman, baru mereka saling menyapa.

"Aduh, Mentari. Kenapa kita jadi seperti penjahat begini, sih?"

Wanita itu menggerutu. Ia adalah sahabat Mentari. Hanya dia yang bisa dipercaya untuk menyimpan rahasia dari gadis itu.

"Bawel. Sudah, cepat berikan dokumen yang harus ditandatangani! Aku harus segera kembali, takut terjebak macet."

"Nih!" Wanita itu menyerahkan berkas-berkas bermaterai yang harus ditandatangani oleh Mentari. Tidak terlihat jelas, surat apa yang ditandatangani olehnya.

Siapa sebenarnya Mentari? Kenapa mereka harus bertemu diam-diam seperti itu?

*BERSAMBUNG*

avataravatar
Next chapter