1 BAB 1: TERIMA KASIH

"Terima kasih, Nona! Kau adalah pahlawanku. Aku berjanji, sebagai gantinya, orang itu tidak akan pernah mengganggu hidupmu lagi," ucap pria tua di hadapanku.

Jujur saja, mendengar kata-kata yang baru saja dia ucapkan tentang "tidak akan mengganggu" itu membuatku menghela napas lega.

"Tunggu dulu, apa maksud Anda dengan 'tidak akan menggangguku'?" ujarku berpura-pura tak mengerti.

Ia tersenyum simpul, "Saya sangat bersyukur. Anda orang baik, Nona. Anda bahkan menolong saya yang bukan siapapun bagi Anda. Anda tidak pantas disakiti," ujarnya.

"Sudahlah, Tuan. Saya hanya ingin berbuat baik. Itu saja," timpalku dengan senyum yang penuh akan ketulusan.

Matanya berbinar, menatapku dengan lengkungan haru yang tak kunjung hilang dari bibirnya.

"Anda malaikat, Nona," ujarnya.

Aku terkikik polos, "Saya hanya... senang bisa membantu,"

Ia kembali berterima kasih dan memujiku habis-habisan.

"Sudahlah, Tuan," tukasku lembut. "Bukankah Anda harus menjenguk isteri Anda?" tambahku.

Seketika, ia tersadar. Lalu, tertawa kecil sebelum akhirnya kembali memuji dan berterima kasih. Dan tak lama setelahnya, ia pun berpamitan.

Setelah ia melewati pintu keluar dan tak lagi nampak oleh indera pengelihatanku, kuhela sebanyak mungkin udara yang dari rongga pernapasanku, hingga akhirnya kuhembuskan kembali.

"Tak apa, ia juga telah kutolong," gumamku pelan, berusaha menenangkan diriku sendiri.

Tak berlangsung lama, datanglah seorang pria yang jauh lebih muda dari pria yang sebelumnya beranjak. Senyumnya merekah seketika saat pandangan kami bertemu. Hatiku menghangat saat menatap ke dalam irisnya yang teduh kecokelatan.

"Hai, Sayang," ucapnya lembut, namun dengan nada yang juga bersemangat.

Kubalas sapaannya dengan senyum sederhana yang penuh akan ketulusan. Ia menghambur padaku, kemudian mengecup bibir serta keningku.

"Kau tahu, aku menemukan ini di toko sovenir," ucapnya ketika kami sudah tak lagi tertaut (secara fisik).

Ia mengeluarkan sesuatu dari sakunya, sebuah kotak biru kecil. Ia pun memutar kunci yang terpasang pada pinggiran kotak tersebut. Seketika, persegi kecil itu pun membuka dan memperlihatkan sosok boneka barbie yang berputar-putar diiringi alunan nada yang menenangkan. Tanpa kusadari, sebuah lengkung lebar kini tergambar jelas dari bibirku. Sedang pria berambut karamel di depanku ini nampak begitu terhibur saat mendapatiku tersenyum karena hadiahnya kecilnya.

"Ini luar biasa," ucapku apa adanya.

Ia tersenyum simpul, kemudian menyodorkan kotak musik di tangannya itu ke arahku. Kuraih dengan segera sovenir berharga itu dan kuletakkan di pangkuanku segera setelah musiknya usai.

"Ngomong-ngomong, aku berpapasan dengan seorang pria tua di lorong," ucapnya masih dengan senyuman hangat itu.

"Ia nampak begitu bahagia," lanjutnya.

"Aku tak mengenalnya, tapi... aku rasa dia mengenalku," ucapnya sedikit kebingungan.

Aku tertawa kecil sembari mengangkat salah satu alisku dengan ekspresi wajah yang kubuat seantusias mungkin.

"Dia bilang, 'Nak, kau beruntung memiliki Nona Brook sebagai kekasihmu, dia wanita berhati emas,' " jelasnya dengan sunggingan manis yang terus saja ia tampakkan.

Ia mendekatkan wajahnya ke arahku, memperdalam tatapannya hingga seketika kedua pandanganku terkunci, fokus, dan mantap menikmati indahnya ciptaan Tuhan di hadapanku ini.

"Dan aku penasaran, apa yang telah malaikatku lakukan lagi?" tanyanya dengan sebelah mata yang dikedipkan.

Aku terkekeh menanggapi tingkah pria tampan di hadapanku ini. Dan ya, di saat yang sama... aku juga terkesima.

"Hanya... sebuah hal kecil," ucapku singkat sembari membalas kedipannya.

Ia mengangkat sebelah kedua alisnya dengan senyum menyamping yang nampak... wow! Ya ampun, semakin tampan saja!

"Aku sudah mendengarnya, kau membantu mengangkut istrinya yang kecelakaan mobil bukan? Kau bahkan menanggung biaya rumah sakitnya," ia menatapku serius, namun tetap teduh dan lembut. Dan yaa.. jangan lupakan senyuman candu itu.

Baiklah, itu memang benar. Tentu saja, aku tak mungkin membiarkan wanita korban tabrak lari itu kehilangan nyawa di sana. Aku ada di tempat kejadian saat itu dan ya, ada ruang yang cukup di mobilku untuk mengangkut tubuh wanita malang itu hingga ke rumah sakit. Masa bodo dengan darah di kursi mobilku. Itu bisa dibersihkan. Yang terpenting adalah wanita itu harus segera mendapat perawatan.

"Sudahlah, lupakan itu! Kau sama saja seperti para wartawan yang suka ikut campur dalam urusanku," ucapku dengan nada yang dibuat kesal, namun bukan kesal sungguhan. Hanya bercanda.

Baiklah, itu sedikit mengesalkan. Aku memang menolongnya, tapi bukan untuk apresiasi dari masyarakat. Itu hanya... panggilan jiwa untuk berbuat baik terhadap sesama. Karena apabila wanita itu kuabaikan dan meninggal di tempat kejadian sementara aku saat itu berkemampuan untuk menolongnya, maka itu berarti secara tidak langsung aku juga membunuhnya.

Seketika, ia pun terbahak-bahak. Entah karena kata-kataku barusan, atau justru karena ekspresiku yang kurasa... ya... kau pasti paham.

"Baiklah, saya, Mike Davidson melaporkan dari tempat kejadian bahwa Nona Clarissa Brook saat ini tengah kesal kepada kekasihnya yang bertingkah seperti seorang wartawan," ucapnya dengan nada yang cukup formal, membuatku tak sanggup menahan ekspresi cemberutku lebih lama lagi.

Tawaku menggema ke setiap sudut kamar apartemen. Manik matanya pun berbinar, memandangiku dengan seksama seolah tengah menonton acara kesukaannya. Sungguh, tak ada celah bagiku untuk meragukan rasa cintanya. Ia terlampau tulus, sungguh aku tak sedang bergurau. Kau tahu, ia bahkan lebih memilih untuk menerima dan menasehati dibanding meninggalkanku setelah mengetahui sisi terkelam dari diriku. Ya, SISI KELAM DARI DIRIKU. DIA MEMILIH UNTUK MENERIMANYA.

*****

Suhu udara terlampau dingin malam ini, menusuk hingga ke tulang meskipun telah kuhalangi dengan balutan selimut tebal ini. Aku tak habis pikir, bagaimana pria di sampingku ini bisa tidur dengan nyenyak.

Kuambil remote di atas meja di samping tempat tidurku dan kunyalakan televisi-nya. Kutekan secara berulang-ulang tombol pengganti saluran. Membosankan, hanya berita, berita, dan berita. Baiklah, tentu saja. Apa lagi yang bisa ditonton selarut ini selain berita?

Jemariku masih saja mencari saluran tv yang menghibur, namun tetap saja, hasilnya nihil. Hingga akhirnya, kudapati salah satu channel berita yang jujur saja, membuat jantungku berpukulan hebat secara tiba-tiba.

"Saya melaporkan dari lokasi bahwa Tuan Frederic Williams ditemukan meninggal di kamarnya," ucap seorang wanita di televisi yang tak lain ialah seorang wartawan.

"Kuat dugaan, tewasnya Tuan Williams ini dikarenakan konsumsi obat-obatan terlarang dalam jumlah yang di atas ambang batas. Hal ini dibuktikan dengan penemuan beberapa kilogram ganja yang tersebar di beberapa sudut kamarnya," lanjutnya.

Tunggu dulu, Frederic Williams? Sepertinya nama itu terdengar tak asing di telingaku. Tapi siapa?

Sang wartawan pun kini beralih mewawancarai orang terdekat korban, tunggu dulu... korban? Ayolah, dia mati karena ulahnya sendiri!

Orang yang tengah diwawancarai itu tak lain ialah istri dari Tuan Williams. Ia mengaku bahwa ia tak pernah sekalipun mengetahui bahwa ada barang-barang tersebut di dalam kamarnya, ia bahkan tak pernah mengetahui bahwa suaminya mengonsumsi barang-barang tersebut.

Ya, aku ingat sekarang. Frederic Williams, pemilik perusahaan kecil yang dahulunya bekerja sama denganku dalam mengiklankan produknya. Saat aku masih menjadi model iklannya, produknya pun selalu terjual habis di pasaran. Hingga suatu hari, kuputuskan untuk membatalkan kerja sama kami. Bukan tanpa alasan, ia terlalu pengatur dalam segala hal. Aku sendiri sebenarnya tak masalah bekerja dalam tekanan. Hanya saja, apa yang saat itu dia lakukan menurutku sudah terlalu berlebihan. Bahkan bukan hanya aku, beberapa pekerja pun banyak yang mengajukan pengunduran diri.

Ia saat itu marah besar dan bahkan menuntutku hingga ke meja hijau. Namun malangnya (atau mungkin... beruntungnya [bagiku]), aku dan para pengacaraku berhasil memenangkan kasusnya. Ia bahkan kutuntut balik dengan tuduhan yang cukup berat hingga akhirnya ia membayar denda yang cukup besar atas perbuatannya sendiri.

Setelah putusnya kontrak kerja sama kami, banyak model lain yang silih berganti mengambil tempatku. Hanya saja, penjualannya pun tak selaris saat aku masih di pihak mereka. Williams pun akhirnya membanting kemudi ke arah bisnis restoran cepat saji. Kuakui, usaha itu cukup menguntungkan baginya. Dan menurutku, ia lebih berpeluang sukses di bidang itu. Hanya saja, ia sepertinya tak dapat begitu saja melupakan dendam lamanya kepadaku. Ia menerorku dengan berbagai macam cara. Tapi, aku beruntung... pria yang kini tengah tertidur pulas di sampingku ini selalu ada bersamaku hingga rasanya, cukup aman bagiku asalkan ada dia di sisiku.

Syukurlah, Frederic Williams, pria tua menjengkelkan itu telah mati. Satu bebanku telah hilang. Tuhan telah melenyapkannya untukku, di tangan barang-barang adiktif itu.

Tapi, tunggu dulu! Bagaimana kalau... ia bukan meninggal karena overdosis? Bagaimana kalau...

Seketika, kedua mataku pun membelalak. Kutelan salivaku dengan teramat kasarnya hingga menimbulkan bunyi yang cukup keras. Tanpa lebih banyak menguras pikiran, segera kuguncang tubuh pria tampan di sampingku, berusaha membangunkannya dari tidur lelapnya.

"Mike, Mike!"

avataravatar