36 36. Kurang Dari Setahun

"Ay! Santai aja anjir!" Sagara berteriak kencang saat Shayna mengendarai mobil kesetanan. Gadis itu melaju cepat, membelah jalanan kota tanpa mempedulikan lalu lintas. Urusan tilang akan dia pikirkan nanti. Yang jelas, dia bisa memastikan kondisi kakek asuhnya baik-baik saja.

"AY!" Sagara kembali berteriak saat Shayna semakin kencang berkendara. Gadis itu semakin ditegur bukannya sadar diri malah semakin menjadi-jadi.

"Ay, sumpah gak lucu! Ini lo belajar dimana sih hah!" Teriakan Sagara sudah menggema, beradu dengan suara klakson di luar sana.

Seolah belum selesai cobaan Sagara, dia nyaris dibuat jantungan saat mobil Shayna membelok cepat, membuat Sagara nyaris terbanting.

"Anjing!" Umpatnya.

Mereka sampai di rumah sakit, dengan kondisi yang berantakan. Baik Shayna maupun Sagara sama-sama acak-acakan. Hanya saja, jika Shayna yang berantakan fisiknya, Sagara justru beserta mentalnya sekaligus.

Dibawa mengebut oleh sang istri dengan kecepatan di atas rata-rata tentunya membuat jantung Sagara tidak menentu. Apalagi sebelumnya dia tidak pernah dibawa ngebut seperti ini oleh perempuan!

Brak!

Pintu mobil Shayna banting begitu saja. Dia turun dari mobil, berjalan anggun namun cepat. Berbanding terbalik dengan Sagara yang tampak sempoyongan.

Dibonceng Shayna dalam mode balapan benar-benar memabukkan, mengalahkan alkohol paling mahal di dunia.

"Ay, bisa jalan lebih santai gak? Gue mau muntah sumpah." Kata Sagara. Bukannya memperlambat langkahnya, Shayna justru mempercepat nya.

Dia sampai di IGD, menghampiri sang kakek yang terbaring lemah di atas ranjang.

"Kakek…" lirih Shayna. Dia duduk di kursi, tidak mempedulikan apapun dan siapapun di sekitarnya.

"Kakek kenapa?" Tanya Shayna, lembut.

Seorang dokter yang menangani Kakek Dome berdiri di belakang Shayna. Tampak ingin berbincang dengan Shayna, namun sungkan saat melihat kondisi Shayna yang mengkhawatirkan kakek Dome berlebihan.

Sadar akan hal itu, Sagara langsung menemuinya. "Saya cucu kandungnya. Wali sahnya Kakek Dome." Kata Sagara.

Dokter tadi langsung menoleh. "Kebetulan sekali ada yang ingin saya bicarakan dengan Anda sejak lama. Mari." Dokter tadi membawa Sagara menjauh dari sana, kemudian memberikan sebuah dokumen pada Sagara.

"Tuan Dome terkena kanker usus stadium empat. Kanker nya sudah menyebar ke organ lain, bahkan hingga ke hati. Kondisinya semakin memburuk. Kami sudah mencoba untuk membujuknya menjalani operasi, tetapi Kakek Dome menolak mentah-mentah dengan alasan persentase keberhasilan operasi tersebut terlalu rendah." Jelas dokter, membuat Sagara terkejut bukan main.

Dia tau sang kakek tengah sakit. Namun, dia tidak tahu kondisi kakeknya separah ini. Sungguh, dia tidak tau.

"Kanker usus?"

"Ya, kanker usus." Tegas Dokter.

Sagara diam sejenak, menanyakan sesuatu yang dia tau sedikit tidak pantas untuk ditanyakan. "Berapa lama… kakek akan bertahan?"

"Kurang dari satu tahun."

Fakta itu menampar telak Sagara. Dia sendiri bingung harus merespon bagaimana. Ada dua sisi yang bertentangan di sini.

Jika sang kakek tiada, artinya Sagara bisa lebih leluasa untuk membalaskan dendamnya. Akan tetapi… dia akan bersedih. Dia akan merasakan kehilangan yang sangat besar pada sang kakek. Meski Sagara adalah cucu pembangkang yang kurang ajar dan tidak tau aturan, nyatanya Sagara sangat menyayangi kakeknya. Karena bagaimanapun juga, sang kakek sangat berjasa dalam hidupnya. Bahkan, Sagara tumbuh dari didikan kakeknya.

"Shayna pasti sedih banget denger ini."

***

***

"Ay?" Shayna yang sibuk menyelimuti Kakek Dome menoleh singkat ke arah sang suami. Tak lama karena dia pikir Sagara hanya akan mengganggunya seperti biasa.

"Aku sibuk, Mas. Kalau Mas manggil aku cuman mau ngoceh gak jelas, nanti aja. Kakek lagi tidur." Kesalnya.

Hari sudah sangat malam. Sagara tau istrinya lelah. Tentu saja. Apalagi ini hari yang berat untuk Sagara sendiri dan juga untuk sang istri. Mereka bukan habis rebahan seharian. Mereka cukup aktif beraktivitas hari ini.

Rambut Shayna yang semula badai, sekarang mulai berantakan. Gadis itu hanya mengikatnya asal dan sedikit berantakan. Namun begitu, aura kuat yang dia pancarkan tak luntur sedikitpun.

"Ay, Kakek kena kanker usus." Tau Shayna tidak akan mau mendengarkan jika basa-basi, Sagara memilih untuk langsung saja to the point.

Dan benar saja, gadis yang semula hendak menuju kamar mandi langsung menghentikan langkahnya. Dia berbelok, menghampiri Sagara.

"Stadium berapa?" Tidak Sagara sangka, respon Shayna setenang ini.

Dia tidak menangis, meraung ketakutan seperti yang Sagara pikirkan sebelumnya.

"Empat. Kakek gak mau ngobatin kankernya. Alasannya karena tingkat keberhasilan operasinya kecil. Dan… lo tau sendiri prinsip hidup kakek gimana. Berobat gak berobat sama aja mati." Jelas Sagara.

Shayna menarik nafas panjang, memijat keningnya menggunakan sebelah tangan. "Berapa tahun?"

"Kurang dari setahun."

Ekspresi Shayna kian menurun. Dari yang tenang, berubah menjadi kalut.

Namun, tetap saja Shayna mampu mengendalikannya dengan baik. Sangat amat baik. Pengendalian emosi gadis itu benar-benar menawan.

Saking kagumnya melihat Shayna, Sagara tanpa sadar bertanya. "Ay? Lo kok bisa setenang ini?"

"Hm? Terus Mas maunya aku gimana? Nangis histeris? Air mata aku udah habis sejak lama."

Sagara menelan ludah kasar. "Sebanyak apa rasa sakit yang lo terima sampai lo bisa setenang ini?"

avataravatar
Next chapter