19 19. Diamnya Sagara

"Mas, besok kita pulang. Pesawat bakal take off jam empat sore. Paling enggak kita sampai di bandara sekitar jam dua. Dan dari sini harus sekitar jam sebelas karena naik helikopter dulu." Tak terasa, hari ini akan menjadi hari terakhir mereka di Alaska. Mungkin juga akan menjadi hari terakhir Shayna menikmati indahnya pemandangan di sini.

Dan Shayna sebagai seorang perempuan yang paham betul dengan tabiat suami pemalasnya ini sudah memberi segala macam informasi keberangkatan mereka sedetail mungkin. Dia bisa menebak Sagara pasti lupa. Atau jika tidak lupa, maka pria itu akan mengabaikannya.

Dan benar saja. Respon pria itu sesuai dengan dugaan Shayna. Sagara yang tampaknya masih marah hanya berdehem singkat sambil fokus pada ponselnya. Dia bahkan memasang earphone sebagai penegas bahwa dirinya tak ingin diganggu.

Shayna hanya bisa tersenyum simpul melihatnya. Bukan karena dia takut atau bagaimana. Tetapi, karena dia tau Sagara masih marah dan tidak ingin diganggu.

Gadis cantik berusia dua puluh enam tahun dengan rambut panjang berwarna rose itu sibuk mengemas pakaiannya sendiri. Melihat Sagara hanya diam, dia jadi menawarkan diri. "Baju-baju lo mau gue beresin sekalian?" tanya Shayna.

Sagara melirik Shayna tajam, tak suka mendengarnya. "Gak perlu. Gue bisa sendiri." jawabnya dingin.

Sagara masih dingin sejak malam itu. Alasannya? Apalagi jika bukan karena ditolak.

Dan Shayna yang jujur merasa bersalah masih tak berani meminta maaf. Dia akhirnya menyerah dan tidur terlebih dahulu, mempersiapkan diri di esok hari. Dia yakin Sagara tidak akan mengemasi pakaiannya. Jadi, dia harus bangun lebih pagi untuk melakukan hal itu.

Pagi harinya, Shayna bangun lebih pagi. Sebagai seorang wanita mandiri, tidak sulit untuknya bangun sesuai dengan jam yang dia inginkan. Sejak dulu dia selalu menata dirinya. Dari mulai jam bangun hingga ke jam tidurnya.

Setelah mengumpulkan nyawa selama beberapa saat, Shayna turun dari ranjang dengan niatan mengemas pakaian Sagara. Tetapi, alangkah kagetnya dia saat melihat semua pakaian yang tadi malam berserakan tidak jelas sudah tertata rapi di dalam koper yang belum tertutup.

Selama beberapa detik, Shayna mematung dengan wajah syok. Antara percaya tidak percaya melihatnya. "Tumben? Tiba-tiba kesurupan Maudy Ayunda atau gimana dia?" tanya nya bermonolog.

Shayna mengecek pakaian Sagara lebih detail lagi. Dia mengira Sagara hanya membuat sebuah tipuan. Bisa saja dia dia curang dengan memasukkan pakaian secara asal dan ditumpuk dengan beberapa pakaian yang sengaja dia lipat rapi.

Tetapi, saat Shayna cek hingga ke dasar koper… semuanya rapi. Bahkan, Shayna kalah rapi. "Sejak kapan ya Mas Saga bisa ngelipet baju?" gumamnya heran. Karena setahu dia, Sagara paling anti mengerjakan pekerjaan rumah. Dan sekarang, Sagara versi marah dan menyeramkan tiba-tiba bisa melipat pakaian. Aneh, tapi nyata.

***

***

"Mas Saga!" seseorang berteriak memanggil namanya. Suara yang merdu dan mendayu. Suara yang entah bagaimana sudah sangat Sagara kenal. Suara yang begitu familiar dan hampir setiap hari dia dengar.

Sambil memutar kursi gaming nya, dia membalas panggilan tersebut. "Di kamar!" sahutnya.

Ini adalah hari kedua setelah mereka kembali dari Alaska. Dan ini juga akan menjadi kali pertama mereka mengobrol banyak setelah sekian lama. Karena semenjak hari itu, semenjak hari dimana Shayna menolaknya, mereka mendadak bagai dua orang asing yang tak pernah saling mengenal. Shayna menyimpulkan Sagara marah padanya.

Tidak perlu menunggu lama, Shayna datang dengan segelas es kopi di tangannya. kopi dari merek ternama kesukaan Sagara. Tak hanya itu, di tangan yang satunya dia juga membawa sebatang coklat rasa jeruk kesukaan suaminya.

Dari gerak gerik Shayna, dari apa yang dia bawa, Sagara bisa menyimpulkan sesuatu. "Lo pasti mau minta maaf 'kan?" tebaknya.

Shayna tertawa, sedikit cengengesan. "Gue ngerasa bersalah aja pas hari itu. Sebenarnya gue mau minta maaf sejak kemarin-kemarin. Tapi, karena muka lo itu nyeremin gak karu-karuan, gue jadi takut. Apalagi lo diem terus gak banyak omong. Nah, hari ini gue liat-liat lo udah mulai banyak bacot. Jadi, gue berani buat minta maaf."

Sagara ikut tertawa terbahak-bahak. "Seorang Shayna takut sama gue?"

Shayna meletakkan kopi dan coklat rasa jeruk itu di atas meja, kemudian berdiri bersandar di meja tersebut. "Lo sejak dulu kalau marah diem udah kayak orang kerasukan. Emang sih gak ngamuk-ngamuk, tapi diamnya lo berhasil bikin mental gue tertekan."

Sagara mencondongkan tubuhnya, hendak meraih kopi pemberian Shayna. Dan pergerakannya ini membuat dia tanpa sadar mendekat kearah Shayna hingga wajah keduanya berjarak tak jauh. Sagara yang sadar Shayna menahan nafas, tersenyum miring. Dia berniat untuk menjahili Shayna dengan semakin mendekatkan wajahnya. Tetapi…

"Eits… modus lo!" Shayna menyentak mundur kepalanya hanya menggunakan satu jari telunjuk yang ditempelkan pada jidat.

Hal tersebut membuat Sagara berdecak. "Gue tau lo sebenernya suka gue modusin. Cuman, lo nya gengsi."

"Heh, kurang ajar!" Shayna protes tak terima. "Lo pikir gue murahan?" lanjutnya.

Sagara menggeleng, menyeruput kopi hasil sogokan dari Shayna. "Emang gue bilang gitu?"

"Enggak sih. Cuman dari cara lo ngomong seakan-akan gue cewek yang suka dimodusin sama sembarang cowok." Balas Shayna. Dia kemudian melanjutkan. "Padahal sebagai seorang perempuan, dimodusin itu bukan hal yang membanggakan. Karena cowok yang modus adalah cowok murahan yang gak pantas untuk dinikahi." Lanjutnya, mengeluarkan pemikiran cerdasnya.

Sagara sejak dulu salut dengan setiap pikiran Shayna yang cerdas. Dari tutur katanya saja sudah jelas bagaimana cerdas dan berpendidikannya sang istri. Kadang dia bangga, tetapi kadang… kesal juga memiliki istri yang terlalu mandiri. Dimana dia merasa seperti bukan laki-laki.

Dan satu lagi. Shayna seperti tidak membutuhkannya. Bahkan, Sagara jamin Shayna akan lebih baik tanpanya. Itu seperti memukul telak egonya. Tetapi, kembali lagi… Sagara yang sudah terlanjur nyaman di zona malas memilih untuk tetap malas-malasan dan tidak menaikkan kualitas dirinya.

Melihat Sagara mematung, Shayna menepuk pundak pria itu. "Lo ngelamun?"

"Hah? Enggak."

"Ngelamun itu buang-buang waktu. Apalagi yang namanya halu. Cuman bahagia sesaat. Mendingan berdiri, mulai menata diri. Karena waktu gak bisa datang dua kali." Katanya menasehati.

Sagara menyetujui hal itu. Sayangnya, ada masalah rumit yang membuatnya memilih untuk buang-buang waktu. Karena tanpa sepengetahuan siapapun, dunia Sagara sudah runtuh sejak lama. Dan sekarang, yang dia tunggu hanyalah kematian.

avataravatar
Next chapter