25 25. Di Dapur

Akhirnya Milly luluh seperti mentega cair. Dengan ragu ia membuka mulut. Sumpit sushi mendekat dan kemudian berbelok ke arah sang pemilik tangan yang memegangnya. Hap! Sushi itu menghilang ditelan Nick. Milly menelan ludah.

Nick mengunyah sambil mengangguk perlahan, seolah menilai. Matanya menerawang ke langit-langit.

"Kamu mempermainkanku. Sekarang lepaskan tanganmu!" Milly mencungkil jari Nick dari tangannya. Genggaman tangan Nick semakin kuat menahannya. Milly berkutat melepaskan tangan Nick, tapi percuma saja. Pria itu memiliki tenaga yang sangat besar.

"Aku harus memastikan kalau sushi ini enak dan tidak beracun."

"Harus berapa lama aku menunggu sampai kamu menggelepar di lantai dengan mulut berbusa?" Milly menggigit lidahnya yang tak bertulang. Ia sama sekali tidak ingin melihat Nick seperti itu. Sungguh perkataan yang sia-sia.

Nick terkekeh. "Tenang saja, itu tidak akan pernah terjadi. Ngomong-ngomong sushi-nya enak. Kamu harus mencobanya."

"Bagaimana caranya?!" Milly nyaris berteriak. Tiba-tiba dengan cepat Nick menjejalkan sushi ke mulut Milly hingga belepotan. Nick tertawa terbahak-bahak.

Berengsek! Milly mengumpat dalam hati. Ia mengunyah, lalu menjilat mayonaise yang menempel di bibirnya. Tangan kirinya yang bebas, meraih tisu, lalu mengelap mulutnya. Tidak lucu! Sama sekali tidak lucu! Beruntung sushi-nya memang enak. Jika tidak, ia mungkin akan menggigit tangan Nick sampai berdarah. Ide yang bagus.

"Berhenti tertawa dan lepaskan tanganku!" geram Milly.

Akhirnya Nick melepaskan tangannya. Terdapat tapak cinta lima jari kemerahan menghiasi pergelangan tangannya. Bagus! Ia akan menuntut Nick ke pengadilan cupid dan menjerumuskannya ke penjara hati.

"Oh ya ampun." Nick mengangkat tangan Milly, kali ini dengan lembut, memperhatikan hasil penyiksaannya. Nick meniup tangan Milly lalu mengusapnya perlahan. Milly menarik tangannya, lalu menguncinya di dada.

"Maafkan aku. Aku tidak bermaksud menyakitimu." Nick menatapnya serius. Tidak ada lagi seringai jahil atau tawa mengejek. Milly diam saja. Ia akan menyiksa Nick dengan senjata diamnya agar Nick menderita dan merasa semakin bersalah karena perbuatannya yang menyebalkan.

Tiba-tiba Nick memeluknya, mendekap Milly hingga kehangatan menjalar ke seluruh tubuhnya bagaikan api. Nick membelai kepala Milly, lalu mendekatkannya ke pipi Nick. Mereka menempel seperti magnet. Sang naga bersorak kegirangan, mengepak-ngepakkan sayapnya, lalu menubruk-nubruk perutnya hingga rasanya bergolak.

Hentikan itu! Tapi tidak. Perutnya bahkan semakin mulas ketika Nick mengecup puncak kepalanya dengan sayang.

"Milly, tadi aku menunggu di depan rumahmu untuk memberimu kejutan."

"Apa? Benarkah?" Milly melepaskan diri agar dapat menatap mata Nick.

"Ya. Tapi kamu tidak pulang-pulang. Dan aku malah menemukanmu di sini... dengan Martin."

Nick pasti cemburu sekali. Milly juga mungkin akan merasakan hal yang sama jika ia berada di posisi itu. Betapa bodohnya ia dalam mengambil keputusan. Tidak akan pernah ada yang menyangka jika Nick bisa mendadak mengambil cuti lagi, lalu kembali ke Batam. Syukurlah karena sepertinya malam ini Milly masih diberi kesempatan untuk mendapatkan cintanya kembali, yang entah apa memang sudah benar-benar menjadi miliknya atau belum.

"Maafkan aku." Milly mencoba untuk tersenyum. "Toh kamu sudah membalas kekesalanmu padaku." Ia mengangkat tangannya yang masih kemerahan. Nick menatapnya menyesal.

"Aku berjanji tidak akan pernah melakukannya lagi." Nick bersungguh-sungguh.

Akhirnya mereka melanjutkan makan malam dalam damai. Nick mengoceh tentang food waste dan betapa lelah dan sulitnya menyiapkan makanan. Harus menghargai koki dan sumber bahan makanan yang Tuhan sediakan. Tidak boleh ada makanan yang tersisa, semuanya harus dihabiskan, termasuk pesanan Martin. Milly sudah tidak sanggup lagi menghabiskannya, jadi itu jatah Nick.

Selesai makan, Nick mengantar Milly pulang dengan motornya. Rasanya sudah berhari-hari semenjak Sabtu itu, Milly baru menaiki lagi motor Nick. Sensasinya bagaikan terbang melayang dengan kecepatan tinggi, sementara ia merasa nyaman memeluk Nick dari belakang. Roknya berkibar-kibar diterpa angin. Sayang sekali ia memakai rok, yang sebenarnya jarang ia pakai. Hanya saja rok hitam plisket itu cocok dengan kaus turtleneck kuningnya. Setidaknya flat shoes-nya nyaman dipakai.

Ketika sudah di rumah, Milly mengajak Nick untuk masuk. Milly ke dapur untuk mengambil minum, Nick mengikutinya. Ia melepaskan jaket jeans-nya, lalu menyampirkannya ke kursi meja makan.

"Kamu mau minum apa?"

"Air putih saja."

Milly mengambil gelas dari lemari, lalu mengisinya dengan air dari galon. Nick terus menerus memperhatikannya. Jantung Milly berdebar kencang. Setiap kali Nick menatapnya seolah ada sesuatu hal yang akan terjadi di luar akal sehat Milly dan itu benar. Sinyalnya begitu kuat jika berkenaan tentang pria pujaan hatinya.

Nick meneguk air minumnya sampai tandas, lalu mendekati Milly, bermaksud untuk menaruh gelas kosong itu di wastafel, yang kebetulan Milly sedang berdiri membelakangi wastafel itu. Mata Nick mengunci Milly hingga ia tak sanggup berpaling lagi. Milly mundur hingga bokongnya menabrak wastafel. Milly menahan dada Nick dengan kedua tangannya. Perlahan Nick meletakkan gelas kosong ke belakangnya. Wajah mereka begitu dekat.

Milly mendesah, dadanya naik turun. Ia bisa menghirup aroma maskulin yang menguar dari tubuh Nick. Air liurnya nyaris menetes. Buru-buru Milly menelan ludah. Ia memejamkan mata, kemudian Nick menciumnya dengan lembut dan perlahan.

Bernapaslah! Perintah sang naga. Akhirnya ia teringat bagaimana cara mengoperasikan paru-parunya, mengisinya dengan udara yang terkontaminasi aura Nicholas. Ciuman mereka semakin bersemangat ketika Nick menghisap bibir atas Milly. Sesuatu menggelitik lidahnya, lidah Nick. Milly membuka mulutnya, membiarkan Nick memasukinya, menjelajah setiap senti di dalam dirinya.

Tangan Milly mengusap dada Nick, lalu naik ke lehernya untuk memeluknya. Nick mendekapnya semakin erat. Bibirnya terus melumat bibir Milly hingga ia tersengal-sengal. Tanpa sadar Milly mengangkat sebelah kakinya untuk memeluk bokong Nick. Betapa cepat respon Nick, tangannya segera menahan paha Milly. Oh ia bisa merasakan kejantanan Nick yang mengeras, menekan paha depannya. Ia menggerakkan lututnya, menggesek senjata berbahaya itu, semoga senjatanya tidak tiba-tiba meledak.

Nick mengerang, dengan lirih menyebut nama Milly. Dengan lembut tapi tegas, Nick menahan gesekan paha Milly. Oh baiklah. Ia memang sengaja melakukannya, hanya sekedar penasaran. Sepertinya Nick tidak menyukainya atau mungkin rasanya tidak nyaman. Entahlah. Bukan saatnya untuk menjadi liar.

Serangan ciuman terus berlanjut. Lidah Nick kembali menjelajah. Tidakkah Nick tahu bahwa sulit sekali bagi Milly untuk tidak menjadi liar? Ciuman Nick menghalanginya untuk menjadi sopan. Milly meremas tengkuk Nick. Dada mereka saling menempel. Payudaranya mengencang. Sebelah tangannya turun, meraih salah satu tangan Nick. Ia mengarahkannya ke payudaranya. Bagian bawah tubuhnya menggelenyar hebat. Seolah inilah yang selama ini ia inginkan, lebih dari apapun.

Nick terkesiap. Mereka berdua sama-sama tersengal-sengal. Mata Nick setengah terbuka menatap Milly, menatap bibirnya, atau mungkin payudaranya. Nick melepaskan tangannya dari payudara Milly, berpindah ke dada untuk merasakan detak jantungnya yang tak karuan. Sungguhkah Nick menolak untuk menyentuhnya?

avataravatar
Next chapter