1 Mimpi Sama Yang Berulang

Kota M

Sepasang anak kecil dengan gender berbeda terlihat berlarian mengelilingi sebuah kursi yang ada di sebuah taman.

Gelak tawa terdengar dari keduanya, takkala satu dari mereka memanggil nama dan kemudian saling berkejaran lagi.

"Kakak, ayo kejar aku!" seru seseorang yang memanggil seseorang lainnya dengan dengan sebutan 'kakak' ini.

Sang kakak, dengan surai panjang berwarna emas terlihat di belakang seseorang yang tadi memanggilnya.

"Tunggu! Awas ya kalau tertangkap!"

"Blee…"

Nona Gretta

"Jangan berlari kamu adik nakal!"

"Blee…"

Nona Gretta

"Tunggu!"

"Ayo! Ikut aku."

"Hei adikku!"

Nona Gretta

"Jangan pisahkan kami!"

Nona Gretta

Deg!

Kelopak mata dengan iris bak samudera luas itu terbuka, saat teriakan terakhir terdengar dalam mimpinya.

Ya … benar sekali, tadi seseorang yang dipanggil 'kakak' ini sedang bermimpi, tepatnya memimpikan hal yang berulang selama hampir sepuluh tahun sejak perpisahannya dengan sang adik.

Kembali kelopak mata itu berkedip, membuat bulu matanya yang lentik ikut bergerak saat si empunya seakan menyadarkan dirinya dari alam mimpi.

"Nona Gretta."

Wajahnya dengan segera menoleh ketika telinganya mendengar panggilan atas namanya dari seseorang yang sudah menemaninya dari kecil.

Bukan ibu, ia bahkan lupa kapan terakhir kali sang ibu membangunkannya dari mimipi seperti ini.

Netra cantiknya menyipit guna membiaskan cahaya pada retina matanya dan mempertajam pandangan pasca bangun tidurnya. Ia menemukan seorang nanny, pengasuhnya yang sudah menemaninya selama hampir delapan belas tahun hidupnya di dunia.

"Nanny, sudah pagi kah?" tanyanya si nona, yang tadi dipanggil dengan sang nanny dengan nama nona Gretta.

"Sudah saatnya Nona bangun, bukankah Nona ada kuliah pagi?" jawab si nanny lembut, tangannya dengan segera menyibak tirai hingga cahaya matahari benar-benar masuk.

Gretta, si nona ini hanya bergumam dan menguap dengan tangan terbentang lebar.

"Iya, Gretta bangun Nanny."

Setelahnya, ia pun bangun dari tidurnya dan duduk meyandar, sambil mengumpulkan nyawanya yang berceceran entah kemana.

"Sarapan hari ini Nona mau apa?" tanya si nanny dan Gretta yang sedang duduk di antara rasa mengantuk hanya menjawab dengan singkat.

"Terserah Nanny," jawab Gretta sekali lagi menguap, baru kemudian turun dari ranjang mewahnya.

Jalan dengan terhuyung, Gretta akhirnya sampai di depan pintu ruang lembab dengan harum citruss khasnya.

Ceklek!

Blam!

Sepeninggalnya sang nona dari hadapannya, si nanny—Anna hanya bisa menggeleng melihat tingkah anak majikan yang sudah seperti anaknya sendiri itu. Ia bergegas membereskan tempat tidur nonanya, kemudian menggulung sprai untuk nantinya ia ganti dengan yang baru.

Beberapa saat kemudian…

Di dalam cermin terdapat pantulan seorang dara cantik, kelopak dengan netra sebiru lautannya mengedip ketika mascara yang dipakainya selesai dan merata di bulu-bulu lentiknya.

Gretta Grinson, umurnya delapan belas tahun ia adalah seorang mahasiswi bisnis dan ekonomi.

Bibirnya ikut ia poles dengan liptint semanis cerry dan yang terakhir adalah jepit rambut dari sang papa yang tidak pernah ia ganti sejak ia kecil. Ia menyematkannya dengan rambut lurus miring, kemudian menyemprotkan parfum citrus kesukaannya.

"Selesai," lirihnya sambil membereskan barang-barang yang sempat ia gunakan tadi.

Lengan putihnya menyambar tas dengan satu binder yang ada di atasnya untuk ia peluk. Ia berjalan dengan langkah anggun khas bangsawan, jelas saja karena ini adalah ajaran sang nenek yang sangat keras kepadanya.

Sebagai satu-satunya pewaris tunggal dari Grinson Corp dengan cabang hingga ke pelosok dunia. Gretta dituntut untuk menjadi nona muda yang sempurna dengan tidak menunjukan kelemahannya di mata umum.

Kakinya berbalut sepatu heels tujuh centi itu menuruni tangga tanpa si empunya melihat ke bawah. Ia sudah hapal dan langkahnya tidak akan tersandung meski tutup mata sekalipun.

Sesampainya di ruang makan, ia segera duduk di kursinya dan memakan sarapannya dengan tenang, tanpa perlu repot menyapa siapapun layaknya sebuah keluarga yang sarapan bersama.

Untuk apa, karena nyatanya meskipun waktu masih menunjukan pukul delapan, mansion besarnya sudah sepi dan hanya menyisakan belasan pelayan yang siap sedia melayaninya.

"Nyonya besar dan Grandma sudah lebih dulu ke kantor, Nona," ucap nanny Anna, saat ia menyiapkan setangkup roti isi selai markisa untuk nona mudanya.

"Hum, oke," sahut Gertta sama sekali tidak kecewa, sudah biasa.

Gretta mengangguk ketika segelas susu dan roti disajikan oleh Anna untuknya. Tangannya dengan cekatan memegang garpu dan pisau, memotongnya pelan dengan punggung tegap dan memasukan suapan kecil tanpa memajukan wajahnya.

Sesekali netranya melihat arloji mahal di lengannya, memastikan jika waktu kelasnya tepat dan tidak terlambat saat masuk kelas.

Ya .. meskipun ia telat saat memasuki kelas nanti, ia yakin tidak akan ada yang memarahinya dan justru akan mempersilakannya masuk tanpa banyak bertanya.

Mengunyah dengan perlahan, Gretta juga menatap sekeliling dengan netra muram. Membayangkan kehidupannya yang sunyi, tanpa ada keceriaan seperti saat ia kecil dulu.

"Aku, ingin sekali bertemu mereka," batin Gretta dengan perasaan rindu yang tiba-tiba membuncah, hingga ia tidak sadar melamun jika saja Anna tidak menegurnya.

"Nona Gretta."

"Ah! Aku sudah selesai sarapan, Nanny bisa bereskan," sahut Gretta dengan pekikan kaget di awal.

Ia lekas berdiri dari duduknya, kemudian kembali menyampirkan tasnya dan memeluk bindernya.

"Mobil sudah siap kan, Nanny?" lanjut Gretta, menatap sang nanny yang mengangguk.

"Sudah, Nona. Kuncinya dipegang oleh Randie," jawab Anna menjelaskan.

"Baiklah, aku berangkat. Sampai jumpa, Nanny," balas Gretta kemudian meninggalkan ruang makan dan berjalan menuju teras mansion mewah keluarganya.

Sampai di depan teras, ia bisa melihat Randie—seorang sopir anak Anna yang umurnya terpaut lima tahun dari Gretta sudah berdiri di sisi mobil.

"Selamat pagi, Nona Gretta. Mobilnya sudah siap, silakan kuncinya," kata Randie sopan sambil mengulurkan kunci kepada sang nona.

"Pagi Randie," sahut Gretta menerima uluran kunci tanpa mengucapkan terima kasih, kemudian memasuki mobil setelah dibukakan oleh Randie yang maklum.

Brakh!

Brumm!

Mobil mewah keluaran anyar itu melaju dengan kecepatan di atas rata-rata.

Gretta sudah biasa mengendarai mobil bahkan saat usianya masih lima belas tahun. Tidak ada yang berani menilangnya, meskipun ia belum memiliki SIM saat itu. Oh jelas, sekali lagi pengaruh keluarga lah yang membuatnya memiliki dunia pada genggamannya.

Wajahnya memang belum dikenali oleh khalayak ramai karena identitasnya yang masih ditutupi untuk publik. Namun, tidak jika mereka mendengar nama belakangnya, maka saat itulah decakan kagum mengelukan namanya akan terdengar.

Padahal, jauh di dalam hatinya ia muak dengan kehidupan seperti ini. Percayalah…

Di dalam mobilnya, netra sewarna lautan itu melirik jalanan di luar dengan senyum kecil. Ia terkadang iri dengan kehidupan orang-orang, mereka tampak bahagia dengan kesederhaan sedangkan dirinya…

"Andai saja mereka masih di sini bersamaku. Sudah pasti hidupku akan bahagia, iya kan adikku, ayahku."

Gretta menggelengkan kepalanya guna menghilangkan pikiran sedihnya, kemudian memasang wajah tanpa ekspresi saat terlihat kawasan universitas mahal tempatnya menempuh pendidikan.

"Baiklah, siap hadapi hari ini, Gretta."

avataravatar
Next chapter