1 Chapter 1

1

"Nay, kamu yakin mau pergi.?."

"Kenapa nggak?"

"Aku---"

"Jangan mulai, Mas. Aku baik-baik saja."

Samsul memilih mengalah dan melajukan mobilnya. Sempurna bila di sampingnya adalah sosok istri dan anaknya.

Sayang, seribu kali sayang, karena itu Nayna. Wanita yang lima tahun belakangan ini dikenalinya. Wanita itu hanya menganggapnya kakak. Tidak lebih.

Tidak jauh sebenarnya tujuan mereka, hanya berselang beberapa lorong sebelum tiba ke sebuah rumah yang sedang di adakan acara pertunangan anak bu Wati, perempuan yang sering ia titipi putrinya ketika menjaga warung.

"Eh, cantik sudah sampai. Sini sama Nenek." bu Wati menyambut kedatangan ibu dan anak itu, tidak lupa ia menyuruh masuk Samsul yang tak lain adalah keponakannya.

"Ajak Nayna masuk, Samsul." bu Wati berlenggang, acaranya memang tidak besar, tapi seluruh keluarga besar Wati hadir.

"Calonnya belum datang Bude?." tanya Samsul ketika ia menyusul Wati ke belakang.

Nayna juga mengikuti Wati, karena ia tidak datang sebagai tamu. Ia ingin membantu apa yang bisa dibantu untuk acara tersebut.

Wati menggeleng, "Tanyain Mas-mu sana, udah sampai mana Laras."

Tidak ada respons, Samsul lebih memilih melihat ibu muda yang tak lain adalah Nayna, sedang mengisi talam dengan piring buah.

"Kamu ngapain Nay? Kotor nanti baju kamu!." Wati menyela kegiatan Nayna, yang dibalas wanita berusia dua puluh dua tahun itu dengan senyuman.

"Nggak Bu, cuma naro ini." sahut Nayna kembali melanjutkan aktivitasnya. "Lagian ada Mas Samsul yang jagain Ica."

Nayna menatap putrinya yang bergelayut manja di gendongan Samsul.

"Ogah, gue mending jagain hati emak- nya."

Tepukan keras dirasakan oleh Samsul, kepala berputar melihat siapa pelaku onar tersebut.

Sialan! Gerutu Samsul, yang sempat mendapat lirikan tajam si pelaku.

"Kalau belum bisa jaga lidah, jangan dekat-dekat anak kecil!."

Ingin Samsul melempar lelaki yang baru saja masuk ke dapur itu ke sungai Amazon.

Nayna hanya melirik sekilas kedua lelaki yang sering adu mulut tersebut. Iya dia Samsul dan Arkan.

Dua sepupu yang berbeda latar belakang dan watak. Kalau Samsul terkenal humoris, ramah dan supel cocok dengan pekerjaannya sekarang yang seorang karyawan Bank. Sedangkan Arkan, tipe laki-laki pendiam, kalem dan tidak tertebak. Ya, itu menurut Nayna.

Mungkin karena sifatnya seperti itu, Arkan cocok menjadi seorang pengacara. Sikapnya tertarget sehingga lawan tidak menemukan celah kelemahannya.

"Ayo Nay, ke depan." ajak Wati menggandeng lengan Nayna.

"Nayna ke toilet dulu, Bu."

Wati mengangguk, kemudian wanita itu masuk ke ruang tengah karena

mendapat kabar calon tunangan Arkan, putranya sudah datang. Samsul juga mengikuti Wati dengan Ica, putri Nayna dalam gendongannya. Sementara Arkan sudah lebih dulu masuk.

***

Acara berlangsung khidmat, kedua cincin pengikat sudah terpasang di jari pasangan tersebut. Kemudian acara makan dan foto bersama. Pasangan tersebut, sangat mendalami proses tersebut. Dan mereka sangat serasi.

Yang pria seorang pengacara, wanitanya seorang dokter.

"Kita pulang?"

Nayna terkejut mendengar suara di belakangnya.

"Boleh, aku pamit sama ibu dulu."

Samsul mengangguk, ia lantas menunggu di mobil. Sementara Nayna berpamitan.

"Mau langsung, Na?."

"Iya Bu, udah sore juga."

Wati mengambil dua toples kue dan memasukkan ke dalam plastik."Bawa ini, Ica pasti suka."

Setelah mengucap terimakasih, Nayna keluar dari dapur. Ia hampir bertubrukan dengan Arkan. Dengan cepat ia minta maaf dan berlalu dari sana.

Kegiatan setiap hari Nayna adalah memasak di dapur dibantu oleh dua orang tetangganya untuk sajian di warung makan kecil, yang ia rintis dua tahun belakangan ini. tepatnya ketika umur putri kecilnya satu tahun.

Nayna berasa dari keluarga berkecukupan. Namun, ia sudah biasa mandiri sejak remaja karena kemandiriannya ia berani mengambil sikap untuk menikah muda.

Namun, di mana kini suaminya? Tidak ada yang tahu.

Apa ia seorang janda? Ya, begitulah anggapan tetangganya ataupun orang- orang mungkin. Yang tidak diindahkan sama sekali oleh Nayna.

Ketika warung sedang sepi, sebuah mobil berhenti di depan warung makan Nayna. Sedang pemikiknya sedang mencuci piring kotor di samping etalase termor nasi.

"Nay."

Nayna menoleh ketika ada yang memanggilnya. Ia mengernyitkan kening ketika melihat siapa yang datang.

"Ini ada sedikit uang." Nayna mencuci tangannya meninggalkan cucian piring kotor.Setelah mengeringkan tangan, ia berdiri menghadap putra Ibu Wati tersebut. Tangannya menolak amplop coklat berisi uang yang disodorkan lelaki itu.

"Tidak usah Mas, Sudah cukup pemberian Mas. Yang kemarin masih nggak kepakai."

Arkan meletakkan amplop tersebut di atas meja kasir. Kemudian berbalik. "Kalau tidak dipakai, simpan saja. Kamu di sini hanya berdua dengan Ica."

Nayna mengerti maksud baik Arkan, namun tidak ada gunanya lelaki itu bersikap baik padanya. Lagian, pria itu sudah bertunangan. Dan sebentar lagi akan menikah. Cukup bu Wati selama ini sudah menjaga Ica dan menganggapnya sebagai anak.

Tanpa permisi, pria tersebut pergi tanpa mengucapkan apapun. Menerobos jalanan padat kota Jambi. Ponselnya berdering ketika ia baru saja keluar dari perkarangan rumah sekaligus warung makan Nayna.

Dengan raut bahagia, ia mengangkat telepon tersebut.

"Pagi sayang," sapanya ketika menyambut panggilan tersebut. "Okay, nanti aku jemput. bye sayang."

Arkan tidak sabar menunggu hari bahagia dalam hidupnya, karena Laras-- tunangannya harus mengisi beberapa acara satu bulan ini, mereka baru bisa menikah bulan depan. Jadwalnya dan Laras selalu beruntun, hingga jarang keduanya bisa menghabiskan waktu berdua. Tapi hari ini, nasib baik menghampirinya. Laras mengajak makan siang bersama.

Di lain tempat, Nayna sedang melayani pelanggannya yang singgah di warung makan. Hingga sebelum jam empat sore semua menu sudah habis.Ia hanya menyisakan, sayur terong santan untuk bu Wati.

Selesai sholat ashar dan membereskan cucian piring, Nayna bersiap ke rumah bu Wati untuk menjemput putri kecilnya.

"Itu Ibu."

"Bubububu." Ica yang berada di pangkuan Arkan meniru ucapan bu Wati. Tangannya terulur meminta gendong pada ibunya.

Nayna tersenyum, menyambut putri kecilnya. Jiwanya yang selalu akan dijaga hingga ia tua nanti. Mencium pipi anaknya dengan gemas, setelah puas baru wanita muda itu duduk di samping Wati.

"Nayna bawa terong santan, Bu." Nayna meletakkan plastik berisi sayur tersebut.

"Nih ada sayur, kamu makan dulu." Bu Wati melihat ke arah putranya. Arkan bangun, mengambil plastik tersebut kemudian berlalu ke dapur.

Nayna hanya melirik dengan ujung matanya, ketika putra bu Wati melintas di depannya.

"Diajak Laras makan siang di restoran, akhirnya makanannya cuma diaduk- aduk, Nay."

Nayna hanya beroh ria, tidak berminat melanjutkan obrolan tersebut. Setelah berbicara sebentar dengan bu Wati, ibu muda tersebut berpamitan.

"Tunggu Arkan aja Nay, jangan jalan kaki."

"Tidak apa-apa Bu, Nay mau ke tempat bu Sulis ngambil baju yang Nay kecilin kemarin."

Bukannya menerima alasan Nayna, bu Wati malah meneriak memanggil anaknya. Nayna merasa tidak enak, tapi ia juga tidak pernah membantah ucapan bu Wati.

"Sebentar Nay, aku ambil kontak mobil." Arkan berjalan terburu-buru, masuk ke kamarnya lantas tidak lama keluar.

avataravatar
Next chapter