97 WHO AM I?

Koridor rumah sakit membisu, bukan hanya karena jalur itu adalah jalur khusu keluarga Wijaya, namun juga karena penghuninya disibukkan dengan kedatangan seorang pasien khusus. Dia adalah Rosie, ibu Jasmine yang baru saja dilarikan ke rumah sakit lantaran serangan jantung ya ia alamai.

"Tolong Ibuku, Kak Ana," sergah Jasmine begitu kakak Leonardo itu datang.

"Tenanglah, Jasmine. Percayakan pada tim medis." Alexiana menepuk pundak Jasmine sebelum masuk ke dalam UGD.

"Mohon menunggu di luar, Tuan, Nyonya." Seorang perawat memberikan instruksi agar kelurga pasien menunggu di luar. Leonardo menggandeng tangan sang istri agar wanita itu mau menuruti apa kata paramedis. Ameera juga mengekor, ketiganya duduk dengan tenang pada bangku besi panjang di ruang tunggu.

Jasmine sesekali menghapus air matanya yang luruh, tak pernah ia bayangkan sebelumnya bahwa Rosie, ibunya akan terjatuh dan kambuh sedemikian hebat karena berita ini. Jasmine menyesal, harusnya ia dulu tak terlalu terbawa emosi dan kegelisahan sampai nekat menggugurkan calon anaknya.

"Hik, aku bersalah padamu, kini aku bersalah pada Ibu." Jasmine memeluk suaminya, menangis dalam dekapan.

"Sudahlah, Jasmine. Ibu akan baik-baik saja. Dari pada berpikir yang tidak-tidak mending kita berdoa agar Ibu segera membaik." Leonardo mengelus wajah Jasmine, mengusap lembut air mata yang terus luruh tak terbendung.

"Kak Leo benar, kita berdoa saja, Kak. Ibu pasti baik-baik saja." Ameera menggenggam tangan sang kakak.

Koridor kembali sunyi, hanya bunyi langkah kaki Jasmine yang terdengar berirama karena ujung lancip heels beradu dengan kerasnya lantai keramik. Wanita itu mondar-mandir bak setrikaan, sesekali ia menggigit ujung ibu jarinya karena cemas.

"Kenapa lama sekali?!" gumam Jasmine, setengah jam baru saja berlalu, tapi rasanya seperti sudah bertahun-tahun lamanya.

"Ameera pusing lihat Kakak mondar mandir, Please Kak, duduk!" Ameera mendengus kesal, kelakuan Jasmine membuatnya semakin cemas juga.

"Ayolah, Mera. Apa kau tak khawatir dengan kondisi Ibu?"

"Ya Tuhan, Kak. Kenapa Kakak malah menuduhku?? Aku juga cemas tahu!! Lagi pula siapa yang membuat Ibu jadi seperti ini??" Ameera semakin kesal karena Jasmine menyudutkannya.

"Kau benar, maafkan aku, Mera. Ibu jadi seperti ini gara-gara Kakak." Jasmine merosot ke bawah, ia terduduk kembali dengan lesu.

"Jangan begini, Jasmine. Ayolah!! Kau harus tegar. Ibu pasti baik-baik saja." Leonardo membantunya bangkit.

Pintu ruang periksa yang terbuka membuat ketiga manusia itu beranjak, dengan segera mereka mencerca Alexiana dengan pertanyaan yang sama.

"Bagaimana keadaan Ibu?!"

"Ibu kalian baik-baik saja, dia juga sudah sadar. Tapi ..." Alexiana menghela napasnya panjang.

"Tapi apa?"

"Dia tak ingin bertemu dengan kalian berdua, hanya Ameera yang boleh masuk." Alexiana menekankan keinginan Rosie itu, membuat Jasmine melemas dan hampir terjatuh, untung saja dengan sigap Leonardo menangkapnya.

"Ibu, kenapa mengacuhkan Jasmine??" Jasmine berteriak dari luar kamar.

"Kak beri waktu untuk Ibu beristirahat. Biar rasa marahnya mereda dahulu, Kakak sabar ya." Ameera ikut menenangkan hati Jasmine.

"Ameera benar, Jas. Kita tunggu hati Ibu membaik." Leonardo mengelus punggung Jasmine.

"Baiklah, aku akan menunggu." Jasmine mengusap air matanya.

Di dalam Rosie juga sedang menangis tak kala mendengar isak tangis Jasmine. Namun kekecewaannya jauh lebih mendalam, menutupi rasa sayang dan logikanya saat ini. Rosie tak habis pikir, sudah lebih dari tiga bulan mereka membohonginya.

ooooOoooo

Di tempat lain, Rafael terlihat berjalan tanpa arah tujuan. Malam ini hatinya terasa suntuk lantaran kegiatannya semakin membosankan. Belum ada pekerjaan baru dan Rafael juga tak punya uang untuk dihamburkan. Jadi pria itu memilih luntang luntung tanpa arah tujuan yang jelas.

"Wanita itu lagi apa ya?" gumam Rafael, bayangan Jasmine selalu saja mengusiknya beberapa hari belakangan ini. Sejak pertemuan mereka tenpo hari, tak ada malam tanpa bayangan Jasmine menemani tidur nyenyak Rafael.

Aku seakan punya janji yang tidak tuntas, pikir Rafael.

Jengah dengan mengira-ira, Rafael memutuskan untuk mendatangi rumah yang disinggahi Jasmine. Rumah mereka dulu. Rafael berharap bisa mendapatkan jawaban dan pecahan kenangan akan masa lalunya.

Setelah memastikan tak ada orang di sekitarnya, Rafael melompati pagar. Sebagai mantan tentara elit terlatih, mudah baginya untuk melewati pagar tanpa menimbulkan suara.

Begitu mendarat, Rafael mencium aroma pengap dan juga lembab. Ketara sekali rumah itu tak pernah ditempati lagi. Tangan Rafael menggerayang ke atas bouvenlich pada pintu masuk, dengan mudah ia menemukan kunci.

"Hei, bagaimana aku bisa tahu ada kunci di sini?" Rafael menggaruk kepalanya, seakan ia hapal betul di mana letak kunci itu, seakan dia sendiri yang terbiasa meletakkannya di atas sana. Tak hanya kunci, tangan Rafael menekan sakelar lampu. Lagi-lagi Rafael mengetahui letaknya dengan refleks cepat.

"Sebenarnya apa hubunganku dengan rumah ini??" Rafael terperanjat, tubuhnya benar-benar hapal tiap inci dari rumah itu seakan ia telah menempatinya selama bertahun-tahunx

Rafael menelusuri rumah, debu sudah bersih, begitu pula dengan sarang laba-labanya. Hanya tinggal bau apek yang masih tercium. Tangan Rafael perlahan-lahan membuka kenop pintu kamar utama.

Kau sudah pulang, El? Sebuah suara terdengar.

Siiiingggg .... (telinga Rafael mendadak mendesing.)

"Ugh!!" pekiknya kesakitan. Kepala Rafael sakit sekali, seakan mau pecah. Rafael berguling-guling sambil menahan kepalanya yang terus berdenyut.

El, aku mencintaimu!! Katakan kau juga mencintaiku!! Cepatlah pulang! Aku menunggumu!

"ARGH!!!!" Rafael berseru kesakitan.

Sekelebat bayangan berputar seperti potongan film di depannya. Senyuman manis dari wanita yang ia temui, juga kebahagiaan yang terpancar pada wajah cantiknya tayang dengan begitu jelas. Dada Rafael berdenyut, sakit, sesak, nyeri, dan berdesir miris.

"Kau siapa??" tanya Rafael, "kenapa hatiku sakit saat mengingatmu?"

Tak ada jawaban, potongan-potongan kenangan itu membuyar seiring senyuman sang wanita yang berubah menjadi tangis penuh air mata.

Kenapa, El? Padahal aku begitu mencintaimu?! Bayangan itu seolah bertanya kepadanya.

"Siapa itu, El?" Rafael terperangah.

"Siapa aku sebenarnya??"

ooooOoooo

Vote dan kommen ya

Makasih banyak gaeskuh!

avataravatar
Next chapter