webnovel

WAY BACK HOME

Kereta berjalan dengan cepat, melaju pada rel. Rafael tengah berada di dalam gerbong kereta kembali ke ibu kota. Dibutuhkan waktu dua jam untuk sampai ke sana.

Rafael menerawang ke luar jendela, air hujan tercurah cukup kencang dibarengi dengan angin dingin. Membuat pemandangan tertutup bulir air. Pria itu begitu menikmati perjalanannya kembali ke rumah. Walaupun ia tak tahu perasaan apa yang sedang tumbuh di dalam hatinya saat ini, Rafael sadar, bahwa ia hanya ingin segera bertemu dengan Jasmine, istrinya.

Jasmine, pikir Rafael. Ia memutar pangkal jari manisnya, tak ada lagi cincin melingkar di sana. Rafael belum mengerti arti cincin itu sampai saat ini ia menyadari bahwa ia begitu kehilangan perlambang ikatan suci pernikahan itu.

Pukul 7.00 malam.

Tak lama berkutat dalam lamunannya, Rafael merasakan keberadaan beberapa orang yang terus menatapnya. Ada yang menutup wajah dengan koran. Ada yang berdiri berpegangan di belakang kursi Rafael. Ada pula yang mendengarkan head set sambil mengunyah permen karet. Ketiganya tak berani sedetik pun menggeser pandangan karena takut Rafael akan menghilang lagi, sama seperti tadi siang.

Brengsek! Kenapa mereka tak menyerah? Sebenarnya siapa mereka? Kenapa mereka terus membuntutiku?! pikir Rafael, di dalam kerata yang sedang berjalan, Rafael tak punya pilihan selain menunggu.

Namun ternyata, Rafael memilih jalan yang lain. Rasa penasarannya membuat Rafael begitu penasaran dengan sosok di balik mereka, siapa penggerak para pria itu? Apa yang ia inginkan dari seorang pria tanpa masa lalu sepertinya?

Apa mereka tahu kalau aku adalah pembunuh bayaran? pikir Rafael, ia menelan ludah dengan berat. Kalau semuanya terungkap, Jasmine pasti terseret. Betapa kecewanya Jasmine bila tahu kebenaran tentangnya?

Rafael bangkit dari kursi, pria itu berjalan menuju ke selasar gerbong kereta api. Tujuannya adalah kamar mandi yang terletak pada ujung paling belakang gerbong. Seperti dugaan Rafael, begitu ia beranjak, ketiganya ikut beranjak.

Mereka benar-benar mengawasiku, Rafael mendesah panjang. Sudah tak bisa lagi menahan rasa penasaran.

Rafael membasuh wajahnya pada wastafel super mini. Kamar mandi itu sangat sempit, bayangkan saja closet, cermin, dan wastafel bisa muat dalam satu bilik. Sudah pasti ukurannya sangat minimalis.

"Ok! Bring it on!" Rafael bergumam, siap untuk bertarung.

Benar saja tebakan Rafael, begitu pintu di buka, seorang pria dengan badan kekar dan rambut cepak mendorongnya masuk kembali ke dalam bilik sempit itu. Pintu geser kembali tertutup. Dua rekannya menjaga pintu toilet, seolah-olah mereka sedang mengantri.

Rafael menahan hantaman pria itu dengan tangan kosong. Perkelahian dalam ruangan sempit itu tak terelakkan lagi. Sang pria menambah tenaga pada kepalan tinjunya, Rafael masih menahan tinju itu sampai dahinya berkerut.

"Siapa kalian? Kenapa mengincarku?" tanya Rafael.

"Kau tidak perlu tahu," jawabnya singkat, tangan mereka berdua saling cengkram. Yang satu menyerang yang satu menahan.

Bagaimana pun Rafael adalah mantan tentara terlatih, walaupun badannya tidak sebesar pria itu, tapi sudah bisa dipastikan bahwa kekutannya tak bisa disepelekan. Rafael mendorong pria itu ke arah wastafel, menghantamkan tubuh kekar itu sampai menabrak cermin. Cermin retak, Rafael langsung menghujamkan lututnya beberapa kali dengan keras ke atas perut pria itu. Teriakan kesakitan langsung disumpal oleh sikut lengan Rafael.

"Siapa yang menyuruhmu?" Rafael mengulang lagi pertanyaannya.

"Brengsek!!" Pria itu mencoba untuk membalikkan keadaan.

"Jawab!!!" desak Rafael, matanya berkilat penuh amarah.

"Untuk apa memberi tahu orang yang akan mati hari ini?!" Pria itu mengumpulkan kekuatan untuk menendang selangkangan Rafael, tapi Rafael berhasil menahan kaki itu dengan tepat. Tangan Rafael meraih pecahan kaca, ia mengoreskannya pada leher lawannya. Darah keluar, tidak banyak karena Rafael memang tak ingin membunuhnya, hanya menggertak.

"Siapa?" tanya Rafael.

"Sialan!!" umpatnya, keringat mulai membanjiri pelipis orang itu. Sepertinya ia begitu setia pada atasannya. Bahkan lebih baik mati dari pada membocorkan rahasia Tuannya.

"Kalau aku menggorok pembuluh aorta di lehermu sepanjang 5 cm, dengan perkiraan darah manusia yang sebanyak 5 liter, aku pastikan kau akan mati menderita dalam waktu 30 menit karena kehabisan darah." Ancam Rafael, pria itu ketakutan, tapi belum membuka suara.

"Masih ada dua orang temanmu bila kau tak mau memberikan informasi. Kau tak sepenuhnya berguna bagiku." Rafael menekan ujung kaca lebih dalam.

"Maka bunuh saja aku!" Orang itu meraih tangan Rafael dan menghunuskan kaca ke dalam kerongkongannya. Darah muncrat sampai ke wajah Rafael. Membuatnya bersimba cairan merah. Pria itu tercekat, matanya mendelik lalu ambruk, lemas dan akhirnya meninggal.

"Damn it!" seru Rafael, cepat-cepat ia menghapus darah dengan air wastafel. Tangannya bergetar hebat. Tak ada niat untuk membunuh pria ini, ia hanya ingin tahu siapa dalangnya. Kini Rafael harus memikirkan caranya pergi dari situasi mengerikan ini atau namanya akan terungkap, kalau tertangkap. Entah apa yang akan Jasmine pikirkan tentang dirinya. Suaminya seorang pembunuh.

Rafael menggebrak meja wastafel. Ia menarik ikat pinggang pria itu dan melilitkannya pada telapak tangan. Pasti cukup menyakitkan bila tertinju dengan Gesper besinya.

"OK! Next!" Sudah tak ada lagi kesempatan untuk menghindar. Bila yang satu ini saja sampai rela mati demi Tuannya, sudah pasti mereka berdua pun demikian.

BRAK!! Pintu geser terbuka. Kedua rekan pria itu kaget saat mendapati bukan rekannya yang keluar melainkan buruan mereka.

Keduanya saling pandang sesaat. Rafael pun menatap tajam sambil melihat ke sekeliling gerbong. Para penumpang masih terlelap. Mereka memilih tidur untuk menghabiskan waktu. Karena tak hanya penumpang yang berhenti di ibu kota. Masih banyak penumpang lain dengan tujuan yang lebih jauh.

Suara mesin kereta beradu dengan rel terdengar cukup memekakkan telinga. Di campur suara gemericik dan hawa dingin dari derasnya hujan membuat penumpang enggan terjaga.

"Ssttt...!" Rafael memberi kode dengan telunjuknya diletakan di atas bibir.

Kedua pria itu mengangguk. Mereka mulai mengawasi Rafael yang bergerak keluar menuju ke balkon antar gerbong. Hujan langsung mengguyur ke tiganya. Rafael tak merasa kedinginan, ia malah memasang kuda-kuda, menanti siapa yang lebih dahulu menyerang.

Keduanya saling pandang memberi kode untuk menyerang Rafael, mereka juga memasang kuda-kuda. Pergerakan kereta api membuat keseimbangan mereka kacau. Di tambah dengan lantai yang licin karena air dan juga terpaan angin. Rafael tak bergeming, ia bahkan tak berkedip. Matanya mencari fokus ditengah minimnya cahaya.

"Heya!!!" Pria pertama langsung menyerang Rafael, ternyata ia menyembunyikan sebuah pisau dibelakang tubuhnya. Rafael menghindar, pisau itu menggores lengannya. Darah segar keluar dari lengan Rafael. Namun terbasuh dengan air hujan.

"Sial!" Rafael menendang tangan —yang memegang pisau— pria itu, pisaunya terlempar ke udara.

BRUK!! Rafael langsung membalas pria itu, memukulnya dengan tangan terlilit gesper. Tulang hidungnya sudah pasti patah, darah segar mengucur deras dari lubang hidung pria itu. Tak berhenti di situ saja, Rafael menarik kabel headset dan melilitkannya pada leher sang musuh.

"Jangan mengenakan sesuatu yang bisa menjadi senjata bagi musuhmu. Apa kau tak pernah belajar hal itu?" Rafael mencekiknya lebih erat.

"Eeekkk....!"

"Kurang ajar!" Kawannya maju, menghunuskan juga sebilah pisau ke belakang punggung Rafael. Tapi Rafael tidak bodoh, instingnya sebagai petarung sudah terasah sembari dulu. Dengan cepat Rafael menunduk. Pisau itu menancap pada punggung rekannya.

"Akkkhh!!" Jerit pilu kesakitan terdengar. Rafael menyikut pria yang menghujam rekannya sendiri, ia terhuyun beberapa langkah. Kini tinggal satu lawan satu.

Mereka saling berhadap-hadapan. Hujan deras masih mengguyur. Dibarengi dengnan suara gemuruh guntur dan juga kilatan cahaya.

"Siapa yang menyuruhmu? Kenapa ia ingin aku mati?" tanya Rafael.

"Kau tak akan mengenalnya!!"

"Apa dia punya nama Wijaya? Leonardo atau Lexandro? Atau mungkin Alexandro?" tanya Rafael, ia hanya tahu nama-nama itu dari Albert.

"Temukan jawabannya di neraka!!" Pria itu menghunuskan kembali pisaunya. Rafael dengan sigap menghindar. Ia berpegangan pada tralis pembatas dan meloncat, lalu memutar lompatannya dan menendang punggung lawannya. Lawannya langsung oleng, tubuhnya menabrak pembatas juga. Hampir saja ia terlempar jatuh bila tak menabrak pembatas besi itu.

"Katakan siapa?!!" Rafael mulai merangsek maju, tiba-tiba saja kereta api berbelok sangat tajam, membuat keduanya oleng. Rafael menyeimbangkan diri, sedangkan orang itu terjungkal dan jatuh entah ke mana.

"AAAKKHHH!!!" jerit kesakitan kembali terdengar pilu.

"Brengsek!!" umpat Rafael, setelah semua yang dialaminya sepanjang perjalanan pulang, Rafael bahkan tak mendapatkan jawaban apapun.

ooooOoooo

Dasyat bang Elll ... jadikan aku istrimu 💋💋💋😘🤣🤣🤣🤣 kemaruk ah si Belle ini. Sana sini mau.

Ojo lali di komen!! Di tunggu!!

Jangan lupa vote P S ya gaes

Biar melejit naik 🤗🤗🤗

Makasih juga yang sidah ksih P S dan dukung dengan comment juga reviewnya. Belle suka ♥️♥️

Next chapter