21 VITAMINE

Hujan gerimis perlahan berubah, semakin deras dan dingin. Bunyi gemericiknya begitu gaduh saat menyentuh permukaan datar genteng rumah. Tempiasnya membasahi teras sampai ke ujung-ujung tanaman.

Leonardo baru saja melemparkan tubuh Jasmine ke atas ranjang. Perlahan tapi pasti, Leonardo merengsek naik ke atas ranjang, mendekati Jasmine. Jasmine menatap jeri pada pria itu, dengan cepat ia mundur sampai mentok pada ujung ranjang, berharap bisa menghindarinya, padahal itu adalah hal sia-sia yang hanya mengulur waktunya beberapa detik saja.

Jasmine melihat Leonardo semakin mendekat padanya, dada bidang kokohnya terlihat menyembul dari celah jubah tidur berbahan sutra warna biru tua. Memperlihatkan sedikit kepala singa yang terlukis indah pada permukaan kulit.

"Jangan!! Kumohon, Leon!! Jangan mendekat!!" Jasmine menendang-nendangkan kakinya, mencoba menjaga jarak dari sang singa.

"Ingat ucapanku, Jasmine! Apa jadinya kalau kau tak menuruti kemauanku?!" Leonardo menahan kedua kaki Jasmine agar tidak meronta.

Bahu Jasmine kembali melemas, benar saja, ancaman Leonardo begitu menakutkan bagi gadis polos sepertinya. Pria itu akan membunuh suaminya bila ia menolak. Jasmine  hanya bisa pasrah sekarang. Membiarkan pria biadap itu menjamah tubuhnya.

"Jangan menangis!! Tak ada wanita yang boleh menangis di atas ranjangku!!" bentak Leonardo.

Jasmine menggigit bibirnya menahan rasa takut dan kesedihan, menahan air mata agar tidak terjatuh.

Pejamkan saja matamu, Jasmine. Sekejap kemudian akan selesai, tak akan lama. Pikir Jasmine, ia mulai memejamkan matanya saat wajah Leonardo semakin mendekat ke arah wajahnya. Jasmine bersiap untuk menerima lumatan penuh gairah dari Leonardo.

Namun, bibirnya tak kunjung menyambut bibir Leonardo. Apa yang terjadi? Jasmine perlahan membuka mata. Leonardo duduk di sampingnya, mengambil sebuah botol air mineral di meja nakas.

"Minum!" Perintah Leonardo.

"Hah??"

Jasmine dengan ragu-ragu menerima air dari tangan Leonardo. Benar saja, tubuhnya lemas dan tenggorokkannya memang kering. Rasanya sangat haus. Jasmine sempat melupakan kondisi tubuhnya sendiri karena harus bersitegang dengan Leonardo barusan.

Wanita itu menatap botol air beberapa saat, ia menelan ludah pada mulutnya yang hampir mengering. Kenapa Singa itu mendadak jinak? Apa yang ia taruh di dalam air ini? Obat tidur? Perangsang?

"Apa? Kau kira aku menaruh obat? Ya Tuhan Jasmine, botol itu masih tersegel!!" Leonardo meraih botol dari tangan Jasmine, membuka tutup botolnya, masih ada bunyi 'klek' bukti segel terbuka. Seketika itu juga Jasmine langsung merebutnya, menenggak isinya dengan cepat. Air mengalir cepat membasahi kerongkongan, rasa dingin dan segar seakan mengguyur Jasmine dengan kelegaan.

Leonardo mendengus, menghadapi wanita ini seperti sedang menjinakkan anjing liar. Anjing tipe pangkuan yang sok galak padahal nyatanya sangat lemah dan rapuh.

"Ini minum, hanya vitamin! Dokter bilang tubuhmu sangat kelelahan dan juga ringkih!" Leonardo menyerahkan botol obat pada Jasmine. Vitamin yang biasa ia minum di rumah, Rafael selalu memberikannya. Jasmine sangat mengenali warna dan gambar pada botol itu.

"Aku sudah meminumnya setiap hari," tolak Jasmine.

"Jangan keras kepala wanita bodoh!! Kalau kau meminumnya setiap hari kau tak akan selemah ini!" Leonardo kembali membuka botol vitamin, bunyi segel yang terbuka kembali terdengar, menandakan bahwa vitamin itu masih baru. Leonardo menuang dua butir dan memberikannya ke atas telapak tangan Jasmine.

"Dibilang aku selalu meminumnya setiap ha—" ucapan Jasmine langsung terbungkam saat mendapati pil pemberian Leonardo berwarna merah, bukan putih.

"Kenapa diam saja? Cepat minum!!" Leonardo memaksa Jasmine.

Jasmine masih menatap heran pada vitamin di atas telapak tangannya. Lonjong dan berwarna merah, sedangkan vitamin yang diberikan Rafael bulat pipih dan berwarna putih. Jasmine menyahut botol vitamin dari tangan Leonardo, mengamati tiap detail tulisan, gambar, komposisi, sampai ke gramasinya. Semuanya sama, sama persis tak ada perbedaan apapun.

Jasmine menutup mulutnya setengah tak percaya, tenggorokkannya tercekat. Leonardo membuka botol itu, tepat di depan matanya, botol itu baru saja dibuka, masih tersegel, tak mungkin Leonardo sempat mengganti isinya. Tapi?? Tidak mungkin juga Rafael mengganti isinya? Kenapa dia harus? Dia suaminya?

"Hei!! Kenapa diam saja? Cepat minum!!" Leonardo membentak Jasmine lagi. Membuat lamunan Jasmine buyar, tangannya bergetar hebat saat memasukkan pil ke dalam mulut, lalu menelannya. Leonardo terlihat puas, sedangkan Jasmine terlihat masih kebingungan.

Mungkin ada varian lain, aku tak boleh menuduhnya, pikir Jasmine berusaha menenangkan diri.

Belum buyar lamunan dalam benak Jasmine, Leonardo mencekal pergelangan kakinya, membuat wanita itu berjengit. Sontak ia mengayunkan kaki kurus itu, menendang Leonardo.

"Shit!! Wanita gila!!" umpat Leonardo.

"Kenapa kau pegang kakiku?" Jasmine melotot galak pada Leonardo.

"Mengoleskan salep!" Leonardo berjongkok, kembali meraih kaki Jasmine dan mengoleskan salep pada luka-luka di sekitar tumitnya yang lecet.

"Auch!! Agh!!" Jasmine meringis menahan sakit, perih sekali.

"Ck, tak pernah kusangka aku akan merendahkan diriku, berjongkok di bawah kaki seorang wanita dan mengoleskan salep!!" gerutu Leonardo, ia membanting salep ke atas ranjang sebelum menelepon pelayannya.

"Kenapa juga dia marah-marah, aku jugakan nggak minta." Jasmine bergumam sendiri, sebal tapi juga ada sedikit rasa berterima kasih atas perhatian Leonardo. Setidaknya pria itu tak sekejam bayangannya saat ini.

"Kenapa kau bodoh sekali naik tangga ke lantai 17?!" Leonardo mulai mengungkit kebodohan Jasmine lagi, yang menyebabkannya pingsan dan juga sakit.

"Andai saja kau tak lagi menggangguku aku juga tak sudi susah-susah memanjat tangga sebanyak itu!" Jasmine mencabikkan bibirnya sebal.

"Jadi semua ini salahku?!" Leonardo berkacak pinggang.

"Iya, salahmu!! Kenapa selalu menggangguku? Kenapa?" Jasmine menatap kesal pada pria itu, tak pernahkan pria itu berkaca? Mengevaluasi dirinya sendiri? Apa semua selalu salah orang lain? Dia selalu benar?

"Baik!! Lupakan!! Aku sudah menyuruh pelayan memasak bubur!! Makan dan tidurlah!" Leonardo menghenyakkan pantatnya pada sofa malas, mulai menyulut sebatang rokok.

"Tak bolehkah aku pulang? Suamiku pasti sangat cemas." Jasmine mendekati Leonardo, duduk pada tepian ranjang. Ia menutup tubuh bagian bawahnya dengan selimut.

Cih, kau masih berharap padanya? Dia bahkan tak menghubungimu, dasar naif. Pikir Leonardo, bodoh sekali wanita itu. Sebagai seorang pria Leonardo sudah bisa menebak bahwa Rafael tak mencintai Jasmine, dia hanya membutuhkan wanita itu sebagai pelampiasan nafsunya saja. Sama seperti saat Leonardo bermain-main dengan wanita-wanitanya.

"Tuan Leon, makanan sudah siap." Suara Carl terdengar dari balik pintu, Leonardo membuka pintu kamarnya, Carl mendorong troli nampan dan mempersiapkan bubur.

Aroma wangi bubur ikan dan asparagus membuat perut Jasmine keroncongan. Berbunyi semakin riuh saat Leonardo menuangkannya ke dalam mangkuk. Lengkap dengan makanan pendamping, tumis sayur dan juga telur ayam kampung rebus.

"Ini, makan! Aku tak sudi menyuapimu!" Leonardo menyodorkan mangkoknya.

"Siapa juga yang minta disuapin?!" Jasmine perlahan mengulurkan tangannya menerima mangkuk bubur.

"Pelan-pelan, masih panas! Lidahmu bisa terbakar!!"

"Iya, iya, bawel banget sih?!" Jasmine mencela Leonardo, katanya tak lagi peduli, tak sudi, tapi masih khawatir, cerewet lagi.

"Tuan Leon, ini sup gingsengnya. Sudah saya rebus." Carl menuang rebusan gingseng dari teko gerabah ke gelas keramik bermotif oriental.

"Terima kasih, Carl."

"Sama-sama, Tuan Muda." Carl undur diri.

"Ach!!" Jasmine mendesah saat melahap buburnya, masih terlalu panas walupun Jasmine sudah meniupnya beberapa kali.

"Tuh kan sudah kubilang!! Hati-hati!!" Leonardo menyahut mangkuk dari tangan Jasmine.

"Hei-hei!!! Aku belum selesai makan!" Jasmine  terlihat geram, bak kucing yang kehilangan ikan tepat di depan matanya.

Leonardo mengaduk perlahan permukaan bubur, meniupnya agar uap panas segera menghilang. Leonardo mengetes kehangatan bubur dengan ujung bibirnya. Setelah merasa hangat ia menyuapkannya pada Jasmine.

"Kau bilang tak sudi menyuapiku?!" ledek Jasmine.

"Diam dan buka saja mulutmu!" Leonardo mendekatkan sendok.

Jasmine sebenarnya ingin ngambek, tak mau makan. Tapi aroma sedap dan juga bunyi naga di dalam perutnya membuat Jasmine kehilangan pengendalian diri. Ia membuka mulutnya lebar-lebar.

"Masih panas?" tanya Leonardo. Jasmine menunduk, lalu bergeleng.

"Mana yang benar??!" seru Leonardo.

"Hish!! Biarkan aku makan sendiri!" Jasmine mencoba untuk merebut mangkok dari tangan Leonardo.

Leonardo menaikkan mangkok bubur tinggi di atas kepala, sengaja membuat Jasmine tak bisa merebutnya. Sepanjang apapun Jasmine mengulur tangannya beda tinggi tubuh mereka tetap menjulang telalu jauh. Jasmine bahkan sampai meloncat, bukannya berhasil meraih mangkok malah selimut melorot dari tubuhnya.

"Argh sialan!!" Jasmine bergegas menaikkan lagi selimutnya. Wajahnya menghangat menahan rasa malu.

"Puft ... kenapa malu-malu? Aku bahkan sudah melihat isinya. Kalau kau mau aku bisa menggambarkannya secara detai?." Leonardo menahan tawa.

"Brengsek!! Iblis laknat!" Jasmine mengumpat, sejenak selera makannya menghilang. Ia kembali duduk di tepi ranjang, melipat tangan di depan dada.

Leonardo menarik kursi dan duduk di depan Jasmine. Ia menyendokkan lagi bubur dan menyuapkannya pada Jasmine.

"Aku tidak lapar, selera makanku hilang." Jasmine tak menyambut bubur dari suapan Leonardo.

"Makan! Atau aku akan menyuapimu lewat mulutku," acaman Leonardo membuat Jasmine semakin merona.

"Dasar brengsek!" Jasmine memakan buburnya.

"Good! Habisakan makananmu lalu jadilah penurut! Karena malam ini kau adalah milikku!" Leonardo menyeringai.

"Aku bukan anjingmu!" bantah Jasmine sambil membuka mulut, tak menolak rasa bubur yang lezat.

ooooOoooo

Hihihihi ... to twiit bae 😘😘

Jangan lupa di vote sama review sama komen sama masukkin ke colletion ya 🥰🥰

avataravatar
Next chapter