88 THE TEARS WE SHARE

Leonardo terduduk, ia menghenyakkan punggungnya pada sandaran kursi. Dengan geram ia menahan rasa yang bergemuruh di dalam dada. Kenapa lagi-lagi wanita sialan itu berusaha kabur darinya??

Tangannya mengepal dan memukul meja, lapisan kaca pada permukaannya retak. Hatinya begitu cemas saat ini. Begitu resah. Leonardo menyesal, permainan balas dendamnya telah membuat Jasmine kabur untuk kesekian kali, menjauh lagi darinya.

Leonardo menjambak rambutnya kasar. Perlahan-lahan ketakutan menggelayuti hatinya. Ia takut wanita itu tak akan kembali lagi kepadanya. Ia takut kalau wanita itu benar-benar akan pergi dari hidupnya.

Bayangan menakutkan terlintas dalam benak Leonardo. Bagaimana kalau Jasmine sampai berbuat nekat? Bagaimana kalau ia sampai berusaha bunuh diri sama seperti dulu?? Leonardo tak bisa membayangkan seperti apa hancur hatinya bila hal itu terjadi.

Dengan cepat pria itu bangkit, mulai menyelusuri seluruh kota. Berlari bak orang gila, ia mendatangi rumah lama Jasmine, namun wanita itu sudah pergi. Ia mencoba menyelusuri ke mana pun daerah yang biasa istrinya itu jabangi, namun juga tidak ketemu.

Peluh mulai menetes deras, tubuhnya memanas karena lelah terus berlari. Rambutnya basah karena keringat.

Matahari terlihat mulai condong ke barat, tanda akan segera tenggelam.

Di mana kau, Baby?? Di mana?! Leonardo mengusap kasar wajah tampannya. Matanya mulai berair karena cemas.

Baru saja Kesya menelephone, Jasmine bahkan tidak pulang ke rumah orang tuanya. Tak ada tanda-tanda kedatangan Jasmine di apartemen itu. Kato saat ini pergi ke pusat lalu lintas kota. Mencari izin untuk melihat cctv di sekitar kantor, menyelusuri ke mana saja Jasmine pergi. Dan Kato menemukan sesuatu.

Saat bulan mulai muncul, saat Adzan Magrib berkumandang, saat itu pula Leonardo tiba di area pertokoan yang dilaporkan oleh Kato. Jasmine baru saja keluar dari sebuah klinik kecil. Dengan langkah tertatih wanita itu mencoba untuk terus melanjutkan perjalanannya pulang. Cepat-cepat Leonardo berlari, menyebrang jalan tanpa peduli lampu pejalan kaki sedang berwarna merah. Leonardo juga tak berteriak memanggil nama istrinya, ia takut Jasmine berlari saat tahu keberadaan Leonardo.

Di seberang jalan, Jasmine terlihat meringis kesakitan. "Sakit sekali," keluh Jasmine, tumit kakinya lecet parah. Ia mulai kesusahan saat melangkah. Rasa lelah membuatnya hampir kehabisan tenaga, namun tekat kuat tetap membuatnya melangkah maju.

"Ach!!" Jasmine terpekik, ia terjatuh karena tersandung kaki sendiri.

"Awas!!" Leonardo menangkapnya. Menyahut pinggang Jasmine di saat yang tepat sebelum wanita itu benar-benar terjatuh menghantam kerasnya aspal jalanan.

Dalam bayangan sinar bulan, Jasmine bisa melihat wajah cemas Leonardo dengan jelas.

Rambut hitam legamnya basah setelah berlari cukup lama. Keringat memenuhi wajah tampannya. Wajahnya terlihat begitu panik dan ketakutan. Matanya yang tajam terlihat merah dan sembab. Kegelisahan di dalam hatinya memacu jantung untuk berdegup cepat. Jasmine bisa mendengarnya, suara dari jantungnya, juga hembusan napasnya yang berat dan panas. Bahu kokohnya naik turun tak beraturan, sedangkan lengannya yang kekar menyangga tubuh Jasmine erat.

"Leon!" Mata Jasmine berkaca-kaca.

"Jasmine, Jasmine, Ya Tuhan syukurlah kau baik-baik saja." Leonardo mendekap erat tubuh Jasmine. Ia benar-benar tak bisa berpikir hal lain selain mengucapkan syukur bahwa wanita itu baik-baik saja.

Jasmine terdiam dalam dekapan Leonardo. Tangannya melingkar erat pada bahu kokoh suaminya. Ia tak bisa menahan laju air matanya agar tidak menetes. Jasmine merasa tenang dan nyaman berkelung dalam dekapan Leonardo. Debaran jantungnya menjadi musik yang indah di telinga Jasmine.

"Kau terluka??" Leonardo menangkup wajah Jasmine, ia melototi tiap inci tubuh wanitanya itu, sampai akhirnya tertuju pada tumit lecet yang mulai berdarah.

"Ach!!" Jasmine meringis saat tangan Leonardo mengusap bagian pinggir luka, guna mengecek seberapa parah lukanya.

"Kenapa ku bodoh sekali?!! Kenapa kau tidak bisa menjaga dirimu sendiri?!!!" seru Leonardo dengan nada tinggi, Jasmine diam saja, malah tersenyum kecil. Benar, Leonardo selalu seperti ini, marah saat Jasmine menyakiti dirinya sendiri. Ia marah saat Jasmine bertindak sembrono. Leonardo selalu begitu, ia selalu mencintai Jasmine dengan caranya yang unik.

"Gendong aku! Bawa aku pulang, Leon." Jasmine mengusap air matanya dan tersenyum. Leonardo melihat wajah Jasmine yang kusut dan lelah, ia menyerah untuk marah.

"Baiklah, ayo naik. Kita pulang!" Leonardo berjongkok di depan Jasmine dan menawarkan punggungnya. Wanita itu naik ke atas punggung lebar suaminya dan melingkarkan lengan pada leher. Berpegangan dengan erat. Leonardo tampaknya juga tidak terlalu keberatan dengan beban Jasmine.

"Kau harus makan lebih banyak!" tukas Leonardo.

"Iya, iya. Aku akan makan banyak sampai berubah seperti gentong. Saat itu kau pasti akan membuangku ke tong sampah," celetuk Jasmine.

"Mana mungkin, kau satu-satunya wanita yang tak ternilai bagiku." Leonardo tersenyum dengan candaan Jasmine.

Keduanya berjalan menapaki terotoar, mereka tak peduli dengan ratusan pasang mata yang menoleh tiap kali berpapasan. Memang itu pemandangan yang unik bagi semuanya. Pria tampan yang menggendong wanita cantik di atas punggungnya. Sungguh pasangan serasi yang mungkin hanya ada di dalam cerita romansa.

"Leon, apa kau membenciku?" tanya Jasmine.

"Iya, aku membencimu," jawab Leonardo.

"Apa kau kecewa padaku?"

"Iya, aku kecewa padamu."

"Apa kau menderita karena diriku?" tanya Jasmine lagi.

Leonardo menghentikan langkah kakinya, ia menoleh untuk melihat ke arah istrinya yang masih sekuat tenaga menyimpan air mata. Leonardo mendadak heran dengan perubahan sikap Jasmine.

"Bukankah kau yang menderita karena diriku?" Leonardo kembali berjalan, Jasmine mengencangkan pelukkannya pada leher Leonardo.

Jasmine tiba-tiba terisak di cerukan leher suaminya, Leonardo mulai berkaca-kaca mendengar isakan tangis pilu itu. Kesedihan Jasmine seakan menyayat hatinya juga.

"Maafkan aku, Leon. Aku membunuh anak kita." Tangisan Jasmine tersengal-sengal. "Maafkan aku, sungguh maafkan aku. Aku tahu permintaan maafku tak akan pernah mengembalikan segalanya. Kau tetap terluka, aku tetap terluka, dan anak kita tetap tiada." Jasmine mendekamkan wajahnya pada pundak Leonardo, air mata yang mengucur deras terasa basah menyentuh kulit.

"Kau sudah tahu?" Leonardo tercekat.

"Sudah, aku tahu, Leon. Aku yang membunuh anak kita dengan tanganku sendiri. Tangan ini berlumuran darah." Jasmine tersiksa, ia merasakan dadanya hampir meledak karena rasa sakit.

"Jadi kau juga tahu betapa sakitnya hatiku?!!" Leonardo meneteskan air matanya.

"Maaf, Leon. Maaf, aku tahu ini pasti sakit sekali, sakit sekali. Kau pasti hidup dengan menaruh dendam padaku selama ini?!" Jasmine tersengal, air matanya mengalir dengan deras.

"Kau membuatku menderita, Jasmine. Kau membuatku kecewa!! Kau tak tahu seberapa takutnya aku saat kehilangan dirimu dan anak itu! Kau tak tahu seberapa sakit hatiku saat mengalami penolakkan darimu. Kau tak tahu seberapa putus asanya aku ingin membalas perbuatanmu?!! Harusnya besok aku akan mengatakan padamu, bahwa kau kehilangan anak itu dan menjadikanmu milikku selamanya!! Aku ingin kau merasakan juga sakitnya hatiku, Jasmine, aku ingin kau merasakan sesaknya perasaanku ini!!" tutur Leonardo penuh dengan luapan emosi.

"Maka itu kau membohongiku bukan?! Membohongi bahwa aku hamil?! Kau bohong agar kita tetap menikah. Kau bohong agar aku tetap bersandar padamu! Kau juga bohong berkencan dengan Hilda agar aku sakit hati kan?!"

"Benar, semua itu benar!" sahut Leonardo.

"Hiks ... Leon," lirih Jasmine sambil terisak.

Leonardo menurunkan Jasmine, mereka berdua saling menatap. Beradu pandang dalam linangan air mata. Keduanya sama-sama bodoh, sama-sama saling melukai, dan akhirnya sama-sama saling menyesalinya. Andai cinta Jasmine bisa datang lebih cepat, mungkin tak akan ada kata kehilangan dan juga jurang penderitaan penuh rasa sakit ini.

"Kau sungguh membuatku gila, Baby."

"Maaf, tapi aku juga sudah gila karenamu!" Jasmine berjinjit, ia menarik pundak suaminya agar sedikit membungkuk. Dengan lembut Jasmine mengecup bibirnya.

Leonardo menangkup wajah Jasmine dan mengulum bibirnya, mereka bedua berdiri ditengah ratusan manusia yang berlalu lalang melewati trotoar itu. Keduanya sama-sama tak peduli, mereka berdua berpanggutan dengan intens seakan akan dunia memang milik mereka berdua. Lumatan yang dalam dan penuh irama.

Keduanya membagi manisnya rasa yang menyeruak masuk lewat saliva yang tertukar. Rasa manis yang menghapus pahitnya kehidupan dan getirnya perasaan, yang menghapus kenangan menyesakkan dan luapan air mata kesedihan.

Air mata Leonardo mengalir bersamaan dengan air mata Jasmine. Bertemu menjadi satu, menetes sampai ke punggung tangan Jasmine yang menempel pada dada bidang Leonardo.

"Selamanya aku akan membagi air mata ini bersamamu, Leon." Jasmine mengusap air mata Leonardo.

"Tidak, tak akan lagi ada air mata kesedihan. Aku janji hanya kebahagiaan yang akan kita bagi selamanya, Jasmine." Leonardo tersenyum, ia menghapus air mata Jasmine dan mengulum lagi bibirnya.

"Sekali lagi, maafkan aku." Jasmine memeluk Leonardo.

"Ayo kita pulang, Baby! Aku akan memanjakanmu malam ini." Leonardo menggendong Jasmine kembali. Jasmine bersandar manja pada punggung yang hangat itu. Merasakan luapan perasaan yang belum pernah terjadi sedemikian dasyat dalam hidupnya. Begitu pula dengan Leonardo.

oooooOoooo

Oke deh, salah pahamnya selesai, sudah maap maapan, dan sayang sayangan. Asal mau saling terbuka dan menerima kesalahan pasangan masing-masing. Meminta maaf dengan tulus atas kesalahan, walau pun bukan hal yang gampang bila mengingat dengan ego dan gengsi manusia yang tinggi, tapi tetap belajarlah.

Kisah Jasmine akan kembali besok dengan kebucinan Leon dan Jasmine yang semakin hari bakalan semakin panas.

Juga Rafael yang berharap untuk mengenal kembali sosok Jasmine dalam hidupnya.

Jasmine bakalan kaya apa ya saat tahu Rafael masih hidup??

Goyah nggak??

Stay read and vote!!

avataravatar
Next chapter