78 THE DAY YOU WENT AWAY

(Alurnya mundur cantik lagi yo gaeskuh, mundur-maju cantik kaya author)

Tiga bulan yang lalu di veterian.

Seorang gadis kecil tuna wisma meringkuk di sudut ruang perawatan. Ia menggigil ketakutan sambil menggenggam boneka kelinci yang telah usang. Regina dan beberapa staff lain melihatnya dengan iba.

"Kasihan anak itu. Apa kau tahu, pelakunya tidak dihukum mati. Pemerintah membebaskannya karena tak ada bukti. Biadap sekali, harusnya ia dihukum mati di depan mata anak itu." Seorang staff veterian bergeleng kepala saat berkasak kusuk dengan rekannya.

"Benar, kasihan sekali."

Mereka memungut seorang gadis kecil korban pemerkosaan yang dibiarkan sekarat di tengah jalan. Semakin banyaknya anak yatim piatu yang menjadi gelandangan semakin enggan pula pemerintah menangani kasus ini. Mereka menganggap tak ada artinya karena tak ada wali yang mendampingi, jadi mereka memilih untuk membiarkan kasus itu begitu saja.

Seorang pria muda brandalan merenggut begitu saja mahkota paling berharga gadis itu saat ia mabuk. Regina yang mengetahui gadis itu sekarat di tengah hujan deras menolong dan mengobatinya di veterian. Rumah sakit tak ada yang mau menerimanya karena dia seorang tuna wisma tanpa identitas.

"Ah, menyebalkan." Regina mengusap kasar rambutnya ke belakang.

Regina menghampiri anak gadis itu, ia berjongkok di depannya dengan sebuah permen lolipop. Memberikan permen itu ke tangan si gadis kecil.

"Apa kau ingin dia mati?" tanya Regina.

Anak kecil itu mengangkat wajahnya perlahan-lahan. Dengan bibir bergetar dan pandangan mata penuh kebencian gadis kecil berusia 10 tahun itu mengangguk.

"Apa hadiahnya bila Bibi bisa membunuh orang itu?" Regina tersenyum.

"Apa yang Bibi minta?" Akhirnya gadis itu mencicit pelan.

"Senyumanmu! Berikan Bibi senyumanmu. Kau tak harus bersedih dan terpuruk hanya karena perbuatan pria itu." Regina bangkit.

"Benarkah Bibi hanya meminta senyumanku?" Gadis itu terperanjat. Kenapa bukan uang atau benda berharga lainnya.

"Kau mirip kucing, Sayang. Manis sekali, amat sayang bila harus melihatmu kehilangan senyuman yang berharga itu." Regina melepaskan jas snellinya dan meraih kunci motor.

"Bibi mau kemana?" tanya gadis itu.

"Mengembalikan senyumanmu." Regina menaruh telunjuk di depan mulut, tanda gadis itu harus menutup mulutnya. Ini rahasia.

Di tengah hujan deras, Regina mengendarai motornya menyelusuri tempat kejadian. Seorang pria pemilik cafe yang diceritakan anak itu tengah meminum bir sambil bercakap akrab dengan temannya. Rambutnya sedikit gondrong dengan perawakan tinggi besar.

"Hello, Boys. Boleh bergabung? Hujan deras membuatku basah." Regina melepaskan jaket kulit hitam glossynya. Kini hanya dalaman tank top hijau army dan juga celana ketat bercorak doreng yang melekat di tubuh Regina.

"Sure, Baby!" Keduanya terpesona dengan penampilan sexy Regina, apa lagi saat ia mengibaskan rambut panjangnya yang sedikit basah.

"Bawakan kami bir lagi!" Pria itu menyuruh pelayannya mengambil lagi satu botol bir untuk Regina.

"Thanks." Regina menerima dan langsung menenggaknya. Mereka bercakap beberapa saat, mencoba untuk saling mengenal. Wajah pria itu terlihat cukup tampan, sayang sekali pria itu memilih untuk menjadi bajingan yang merusak masa depan seorang gadis kecil.

"Kapan hujan akan berhenti?" Regina menguncir rambutnya ala ponytail, anak rambut tersisa pada tengkuknya, membuat kedua pria itu menelan ludahnya dengan berat. Mereka terpesona dengan leher jenjang Regina.

"Ah, Kau ternyata sangat tampan," puji Regina, ia menyangga kepala sambil mengelus wajah pria itu, menyibakkan rambutnya yang sedikit pajang sampai menutupi wajah.

"Yah, banyak orang yang memujiku tampan!" ujarnya bangga.

"Tapi kau bajingan, bukan?" Regina tersenyum saat mengumpat.

"Apa kau bilang??" Pria itu hendak marah. Namun Regina bangkit dan berpindah duduk ke atas pangkuannya.

"Tunjukkan padaku seberapa bajingannya dirimu!" Regina berbisik nakal di telinga pria itu dan menggigit telinganya pelan. Membuat seringai licik menghiasi wajah tampan pria itu. Ia langsung bangkit lalu menggandeng Regina ke area belakang cafe.

"Aku pergi dulu, Sob!!" Pria itu berpamitan dengan rekannya. Regina mengerling nakal juga.

"Beruntungnya dia!!" Rekannya bergeleng, sedikit iri karena wanita secantik Regina menawarkan diri tanpa imbalan apapun.

Pria itu menggandeng pergelangan tangan Regina menuju ke gang di belakang cafe tempat mobilnya terparkir. Ia menggiring Regina untuk memasuki mobil yang biasa ia gunakan untuk mengambil bir. Ia mencabut kursi belakang mobil luxio putih itu untuk membawa bir, memodifikasinya agar area belakang cukup luas, di sanalah mereka akan bercumbu dan melakukan hubungan seks.

Sesuai cerita si gadis kecil, pria ini memperkosanya juga di dalam mobil dan membuangnya saat gadis kecil itu pendarahan. Regina berdecis, sungguh bajingan tak tahu diri. Benarkah ia akan mengajak Regina masuk ke dalam sana?

Iuh, menjijikan, benar-benar tidak modal! Regina membatin.

"Tunggu, kita mau kemana?" Regina mencegah pria itu masuk ke dalam mobil.

"Bukankah kau ingin bercumbu denganku gadis cantik?" Pria itu beralih memandang Regina. Regina menarik tangan pria itu sampai melekat pada tubuhnya.

"Aku fobia tempat sempit. Ayo kita lakukan di sini saja." Regina mengecup pipi pria itu.

"Saat ini sedang hujan!" Pria itu melihat ke sekeliling, takut ada orang yang melihat kelakuan unmoral mereka.

"Justru itu, saat hujan gang ini pasti sepi. Kita lakukan di dekat mobil agar tertutup." Regina menarik tangan pria itu ke belakang mobilnya.

"Kau nakal sekali, Sayang."

Regina menyeringai, ia langsung mencium dan melumat kasar bibir sang pria. Sambil berpanggutan, Regina mengeluarkan pisau dari dalam saku belakang celana. Pria itu tidak sadar karena sibuk menggerayangan tubuh Regina dengan tangannya.

JLEB!! Sebuah pisau menancap di perut pria itu. Regina sengaja memilih daerah yang tidak vital, terlalu mudah membiarkannya mati begitu saja tanpa perlawanan. Regina ingin menyiksanya sedikit demi sedikit. Darah pria itu tersapu hujan masuk ke dalam saluran air.

"A—apa yang kau lakukan??" gagap pria itu, ia terjatuh, berlutut sambil menahan pendarahan hebat pada perutnya.

Regina menendang tubuh pria itu sampai ia terjungkal. Lalu mengangkat kerahnya, membuatnya terduduk.

"Aku berjanji pada seorang gadis untuk membuatnya kembali tersenyum. Kau tahu, syaratnya adalah aku harus membunuhmu." Regina terkikih.

Mata pria itu membulat, dengan tak berdaya ia memohon ampunan Regina. Tangannya hendak meraih pundak Regina. Namun Regina menepisnya, tak ada ampun bagi pria itu.

Trriiinggg 🎶

Ponsel Regina berbunyi.

"Hallo, tumben kau menelephonku, G?" Regina terkejut, Albert tak pernah menghubunginya terlebih dahulu semenjak mereka putus dua tahun lalu.

"Gawat!! Ini Gawat, El ah ... tidak .. S, maksudku S, dia ... dia, dia dalam bahaya, V!" Albert terbata-bata menjelaskan situasinya pada Regina, mata Regina membulat, ia terperanjat mendengar penuturan Albert. Rafael tengah bertarung di depan gerejanya dengan Leonardo Wijaya.

"Apa kau bilang?!" Regina masih tak percaya.

"Apa yang harus aku lakukan Regina? S bisa mati kalau terus menerus dihajar olehnya." Albert panik, apakah ia harus keluar dan menghadang Leonardo? Dari Tim Omega hanya Albert yang tak punya kemampuan bertarung.

"Tenang!! Tenang, G!! Jangan keluar, mereka juga akan membunuhmu." Regian mencegah Albert keluar, ia sepintas mengamati pria sekarat di depannya, dengan sebelah tangan Regina menyisir rambut gondrong pria itu. Ia memiliki ide.

"V, kenapa diam saja?? Apa yang harus aku lakukan??"

"Tunggu di belakang gereja!! Saat aku tiba kau harus masuk ke dalam krumunan. Ingat saat kita bertugas di Vietnam? Lakukan seperti saat itu, G. Beri kode pada S agar kabur ke belakang gereja." Regina memberitahukan idenya.

"Baik, V!"

"Tolong kirimkan gambar cctv pertarungan mereka padaku. Aku harus mendandaninya semirip mungkin." Regina menutup ponsel dan menggantinya dengan sambungan earphone.

Secepat kilat Regina menaikkan tubuh pria itu ke atas mobil. Lalu melaju dengan kecepatan tinggi, Regina menyahut juga tas yang ada di atas jog motornya sebelum menuju ke arah gereja.

Selama perjalanan Regina terus mengamati pertaruangan Rafael dan Leonardo. Mempelajari luka apa saja yang di dapatkan oleh Rafael.

Regina melihatnya, secepat mungkin ia memberikan luka pada tubuh pria itu sama seperti luka yang diberikan oleh Leonardo pada Rafael. Menghajarnya sampai sekarat. Membuat wajahnya hancur. Regina menyuntikkan sebuah cairan yang ia ambil dari dalam saku celananya — obat penyuntik mati bila rencananya tadi gagal. Obat itu akan membuat jantungnya berhenti berdenyut dalam hitungan jam.|*

"Sorry, kau harus mati. Tapi setidaknya kematianmu akan berguna bagiku!" Regina kembali mengendarai kendaraannya.

Albert memberi kode dengan kedipan lampu taman, hanya Rafael yang bisa membaca kode sandi mereka. Begitu selesai Albert berlari ke belakang gereja, Albert menunggu Regina, akan tiba saatnya ia menjadi penyelamat. Rafael terseok-seok bangkit, ia kabur lewat pintu belakang.

BRUK!! Regina menabrak Rafael begitu pria itu terlihat kabur dari kejaran Leonardo.

Semua orang berkerumun di sekitar mereka. Mengamati tubuh Rafael yang teronggok tak berdaya. Sekarat di tengah hujan.

"Kita harus membawanya ke rumah sakit!! Tolong beri jalan!!" Albert membaur dalam kerumunan. Dengan segera ia dan Regina menggotong tubuh Rafael ke atas mobil. Regina menyuruh Albert mengambil alih kemudi, ia mencari obat dari dalam tasnya. Beberapa jenis penahan rasa sakit diberikan Regina dalam dosis tinggi.

"Bertahanlah, S!! Kumohon." Dengan penuh keringat Regina menukar baju pria tadi dengn pakaian Rafael. Darah terus mengucur dari tubuh Rafael yang tak sadarkan diri.

"Brengsek!! Berhenti bergetar tangan sialan!" umpat Regina, ia menjahit tubuh Rafael dengan peralatan sederhana dari dalam tasnya. Tanpa prosedur kesehatan, tanpa obat bius, hanya morfin. Regina terpaksa karena ia harus menghentikan pendarahan itu, tangan Regina bergetar hebat. Pertama kalinya ini terjadi sepanjang sejarah karirnya sebagai dokter.

"Bagaimana, V. Kita hampir tiba di rumah sakit." Albert menoleh.

"Kita berhasil menukarnya, G, kini tinggal S yang harus berjuang." Regina mengangguk pada Albert.

"Aku tak menyangka, bahwa pria yang mengejarnya adalah Leonardo. Aku kira Lexandro, karena King ada bersamanya. Kita terlalu lengah." Albert mengusap kasar wajahnya. Pria itu menyalahkan diri sendiri karena kecerobohannya.

"Apa kau bilang?? KING?? Kau sudah menemukannya?" Regina mencelos saat mendengar nama itu lagi.

"Sudah kita lupakan tentang King, kita harus mengurus S sekarang." Albert memarkirkan mobilnya ke rumah sakit dan mengeluarkan tubuh pria dengan pakaian Rafael.

"Tolong!! Suster Tolong!!" teriak Albert. Semua pekerja medis mengerumuni pria itu.

"Aku akan di sini sebagai saksi, V. Cepat obati S." Albert menggedor pintu mobil. Regina mengangguk. Ia memutar setir dan melaju ke arah veterian miliknya.

ooooOoooo

Oh, Rafael 🥰🥰😘😘

|* (Obat ini biasa digunakan oleh dokter hewan untuk pasiennya yang sudah tidak memiliki kesempatan hidup. Daripada tersiksa karena rasa sakit. Tentunya atas ijin sang pemilik hewan. Kayaknya Obat ini melanggar HAM bila digunakan untuk manusia.)

avataravatar
Next chapter