43 SECRET

Pemandangan yang klise saat prosesi pemakaman berlangsung. Baju serba hitam, bunga-bunga putih, lagu pengiring ibadah yang sendu, dan tangisan air mata. Tidak berbeda dengan suasana ibadah penghiburan sebelum peti mati Rafael dimasukkan ke dalam liang lahat. Gereja dipenuhi beberapa kerabat dan kolega Jasmine. Teman-teman kuliah sampai keluarga di desa. Mereka memberikan suport dan dukungan mental bagi wanita itu.

"Silahkan di minum," ucap Ameera. Gadis remaja itu memberikan para tamu air dan juga permen agar tidak merasa bosan menunggu jeda sebelum kelanjutan penguburan Rafael.

Hanya ada satu orang yang melayat dari sisi Rafael. Seorang wanita, Pria itu tak punya keluarga, juga tak punya sahabat atau pun rekan. Wanita dengan pakaian serba hitam, topi lebar berwarna senada, juga sarung tangan broklat hitam. Ia sangat cantik, berdiri tegap dengan postur tubuh yang sempurna.

Satu per satu orang yang melayat memberikan setangkai bunga mawar putih di atas peti mati Rafael. Sampai tiba giliran wanita itu, ia meletakan satu tangkai bunga, namun bukan bunga mawar, melainkan serumpun bunga melati.

Jasmine yang berdiri dengan mata sembab di depan peti mati Rafael terlihat bingung dengan bunga pemberian wanita itu.

"Jasmine, bukankah istrinya bernama Jasmine? Aku memberikan bunga kesukaan Rafael, Jasmine," ucapnya seraya tersenyum sumbang.

"Terima kasih sudah hadir. Apa hubunganmu dengan suamiku, Nona? Aku kira suamiku sama sekali tak memilik teman atau pun saudara." Jasmine menoleh, mereka berdua saling bertatapan. Mata wanita itu juga sembab, sepertinya ia juga baru saja selesai menangis.

"Namaku, Regina. Aku hanya seorang dokter hewan, kebetulan aku mengenalnya, ia sering berada di veterian milikku." Regina mengangguk memberi salam, Jasmine membalas anggukkannya. Veterian? Seingatnya Rafael tak pernah memelihara binatang.

Setelah percakapan singkat itu Regina meninggalkan gereja. Misa penghiburan yang dipimpin oleh Romo Albert telah selesai. Jasmine membawa foto Rafael di depan peti mati yang digiring menuju ke tanah makam. Air mata Jasmine menetes kembali, matanya merah dan sembab. Beberapa kali Jasmine hampir pingsan, tapi wanita itu menahannya demi penghormatan terakhir kepada mendiang suaminya itu.

Kau adalah duniaku, El. Setiap aku melihatmu duniaku akan berhenti berputar, karena mata dan kakiku hanya tertuju kepadamu, pikir Jasmine sambil berjalan keluar dari gereja, di belakangnya Rafael membujur kaku dalam gelapnya peti kayu putih berhiaskan tanda salib di atas tutupnya.

Kini kau telah pergi, kita tidak lagi memijak dunia yang sama. Dan aku telah kehilangan duniaku, El. Apa yang harus aku lakukan agar aku bisa menemukanmu kembali? Kau pergi ke mana, El? Katakan padaku! Kau pergi ke mana agar aku bisa menemukan duniaku lagi? Jasmine menangis terisak-isak, air matanya jatuh dengan deras saat peri mati menuruni liang lahat.

"Silahkan Nona Jasmine. Anda harus menuangkan tanah pertama." Romo Albert memberikan satu sekop tanah ke tangan Jasmine.

Jasmine tak kuasa membendung rasa sakit di hatinya saat menaburkan tanah itu ke dalam liang lahat. Jasmine ambruk, Ameera langsung menangkap kakaknya, gadis itu sama terpukulnya, sama juga tak kuasa lagi menahan air mata, Ameera pun ikut menangis.

Jasmine meraung di dalam dekapan adiknya saat petugas pemakaman mulai menimbun liang berisikan tubuh Rafael. Jasmine tak kuasa menahan kesesakan bila harus membayangkan Rafael meratap sendiri di bawah dingin dan gelapnya tanah makam.

"Kenapa kau meninggalkanku, El?? Masih banyak yang ingin ku katakan padamu. Masih banyak yang ingin ku lakukan bersamamu. Masih banyak yang ingin aku bagi denganmu. Huhuhu ....!" Tangisan kehilangan menggema sampai ke langit-langit, membuat miris siapa pun yang mendengarnya. Ibu dan Adiknya terus mendekap erat tubuh Jasmine, berusaha memberikan kekuatan.

Tak butuh waktu lama dan tanah telah tertimbun dengan sempurna. Membentuk gundukan tanah merah yang sedikit basah. Beberapa pelayat mulai menaburkan bunga sebelum membubarkan diri.

Hanya Jasmine yang masih tinggal, ia bersama dengan Ibu dan Adiknya. Duduk di samping makam. Mengelus dengan gemetaran tanah merah itu, isakkan tangis mulai menghilang, berganti dengan getaran bibir dan kesesakkan hati. Rasa bersalah dan kehilangan menggelayuti hati Jasmine. Ia merasa belum bisa menjadi wanita yang baik, apa lagi istri yang sempurna bagi Rafael.

"Ayo kita pulang, Nak."

"Bagaimana kalau hujan, Bu? Apa Rafael akan menggigil kedinginan di bawah sana?" Jasmine bergeleng.

"Rafael sudah tenang di surga, Nak. Sudah tak merasakan lagi rasa sakit apalagi rasa dingin." Senyum ibunya, ia mengelus lengan Jasmine agar anak gadisnya itu mau merelakan rasa kehilangannya.

"Kak Rafael pasti ingin Kakak hidup dengan bahagia, Kak." Ameera ikut menenangkan Jasmine. Akhirnya Jasmine mengangguk, ia menyerah. Tak hanya hatinya yang sakit, tubuhnya pun juga terasa sangat nyeri dan menyakitkan. Semalaman ia duduk di samping peti mati Rafael, semalaman ia menemani sambil bernostalgia tentang kisah pertemuan dan bagaimana perjuangan Jasmine dalam mengejar cinta Rafael. Kini badannya terasa remuk, ngilu, matanya juga pedih dan perih karena terlalu banyak menangis.

"Farewells, My love." Jasmine mengecup nisan kayu yang masih baru. Aroma cet yang menuliskan nama Rafael masih tercium jelas. (Selamat tinggal, cintaku.)

Leonardo berdiri cukup jauh, ia menatap Jasmine. Hatinya terasa menyakitkan saat melihat Jasmine menangis. Benarkah pria dingin, kejam, dan arogan itu mulai bisa merasakan sakitnya kesesakkan hati?

"Ayo kita kembali ke kantor." Ajak Leonardo, Kato yang berdiri di sampingnya mengangguk.

ooooOoooo

Satu minggu berlalu pasca kematian Rafael. Jasmine masih terus melamun dan kadang mendesah. Sesekali ia menangis dalam kesesakan. Rasa rindu membuat rasa sakitnya semakin parah. Ibu dan adiknya bertekat membawa Jasmine pulang ke desa saja. Mungkin dengan begitu Jasmine bisa melupakan kenangannya akan sosok Rafael.

"Ikut Ibu ke desa, Nak. Lupakan segalanya. Mulailah lembaran yang baru."

"Benar, Kak. Mulailah lembaran yang baru." Ameera ikut memberikan semangat kepada Jasmine.

Jasmine tersenyum, ia mengangguk paham. Jasmine memang bertekat akan kembali ke desa, lagi pula ia sudah tak punya pekerjaan saat ini dan ada banyak cicilan yang harus ia lunasi. Jasmine akan menjual rumahnya, melunasi semua hutang-hutang perbankkan dan kembali ke desa. Pastinya masih ada sisa uang penjulan rumah untuk membuka toko kelontong atau warung kecil.

"Aku akan kembali ke desa begitu rumah ini terjual, Bu. Kalian kembali dulu ke desa, Mera harus bersekolah, tak baik membolos sangat lama." Jasmine tersenyum, senyum yang dipaksakan. Ameera juga sudah satu minggu membolos, ia bisa tertinggal pelajaran padahal sebentar lagi lulus.

"Apa kau akan baik-baik saja seorang diri di sini, Nak? Kau tak akan berbuat macam-macam kan?!" Ibu Jasmine khawatir Jasmine berbuat nekat.

"Jasmine memang tertekan dengan kematian Rafael, Bu. Tapi Jasmine tak punya niat untuk meninggalkan Ibu dan Mera." Jasmine mencium punggung tangan ibunya, satu-satunya oasis pada keringnya hati Jasmine.

"Baiklah, Ibu percaya padamu, Jasmine. Kau sudah dewasa, kau juga mandiri dan penuh semangat. Kembalilah tersenyum seperti dulu. Biarlah kenangan menjadi kenangan, ambil hikmahnya, buang yang menyakitkan untuk menjadi pembelajaran."

"Iya, Bu." Jasmine memeluk ibunya, menangis lagi, namun kali ini tangisan penuh keikhlasan. Rasanya begitu melegakan saat Jasmine memutuskan untuk melepaskan semua kenangan yang ia peluk.

ooooOoooo

Satu bulan kemudian, Jasmine membereskan semua prabotan dan juga barang-barangnya. Jasmine mencicilnya sedikit demi sedikit. Mengirimnya secara bertahap ke desa. Tinggal beberapa prabot besar yang nantinya akan Jasmine angkut begitu rumahnya terjual.

Kebetulan sudah ada beberapa calon pembeli yang menawar harga untuk rumah mungil itu. Jasmine harus bergegas membereskan semua barang-barangnya, dimulai dari lemari pakaian.

"Ya ampun, ternyata Rafael tak memiliki banyak pakaian. Ah, aku akan menyumbangkan semua pakaiannya ke panti asuhan." Jasmine bergumam sendiri, ia menyimpan dua buah pakaian Rafael sebagai kenang-kenangan di dalam koper, dan membungkus pakaian lainnya dalam kardus.

Jasmine membongkar seluruh lemari pakaian, ia menemukan lingerie pemberian Leonardo tempo hari. Mendadak Jasmine bergidik ngeri, ia mulai teringat kembali dengan sosok Leonardo. Terakhir yang ia ingat pria itu memaksanya berhubungan seks di dalam mobil. Selang satu hari sebelum kematian Rafael.

Hei, apa ini? pikir Jasmine saat mendapati ada celah kecil di dalam lemar.

Pintu geser?? Jasmine terperanjat, ada pintu geser di dalam lemarinya. Cepat-cepat Jasmine membuka pintu itu. Dengan sedikit menundukkan badan, wanita itu masuk ke dalam ruangan rahasia di balik lemari pakaian.

"Apa ini??" pekik Jasmine.

Ruangan itu bau dan lembab, lama tidak terbuka karena pemiliknya memang telah meninggalkan ruangan itu. Tak mungkin kembali lagi. Jasmine menatap tak percaya dengan apa yang ia temukan. Ruangan sempit dengan sebuah rak penuh dengan peluru. Juga beberapa botol berisi vitamin yang ditukar dengan obat penggugur kandungan.

Jasmine menutup mulutnya yang hampir saja terpekik. Peluru-peluru dengan berbagai macam ukuran dan bentuk. Beberapa peluru mahal tertata rapi dalam koper baja. Di sudut yang lain ada sebuah meja dengan mesin baja, selongsong kosong berjajar rapi. Bubuk mesiu masih berceceran. Rafael juga kadang membuat pelurunya sendiri.

Mata Jasmine semakin membulat saat melihat sebuah foto, Rafael dan seorang pria, mereka tampak gagah dalam balutan seragam doreng khas tentara elit negeri ini. Rafael menyandang senapan laras panjang pada pundaknya, sedangkan pria di sampingnya tersenyum bahagia. Rafael menempelkan foto itu bersama dengan kalung rantai bertuliskan Light and Shadow.

Siapa sebenarnya kau, El??

KROMPYANG!!

Jasmine berjengit, siapa yang masuk ke rumahnya tanpa ijin?? Mata bulatnya membulat, kaget.

Siapa?

ooooOoooo

Vote donk gaes. Jangan lupa di masukkin ke collection đŸ„°đŸ„°đŸ„°

avataravatar
Next chapter