81 REUNION

Jadi begitulah cerita selama tiga bulan berlalu, setelah banyak pertimbangan akhirnya mereka memutuskan untuk tidak memberitahukan Rafael seputar keberadaan Jasmine, wanita cantik yang pernah menjadi istrinya itu.

Mereka juga menyembunyikan fakta bahwa King telah ditemukan. Albert dan Regina memilih untuk menyelidiki King diam-diam sembari menunggu kondisi Rafael benar-benar pulih 100% dan siap untuk menghadapi King bersama-sama.

"Kau bisa memakai nama Zack." Albert memberikan KTP baru kepada Rafael, ia mengedit foto yang ada pada database negara, menggantinya dengan wajah Rafael.

Setelah proses penyembuhanya berjalan dengan baik, Rafael sudah bisa beradaptasi dengan kehidupan barunya sekali lagi. Ia hidup dengan identitas barunya sebagai pria yang telah dibunuh oleh Regina sebagai ganti Rafael.

Rafael juga mulai melatih kemampuannya kembali. Ia mengenali tiap senjata yang berada di rubana gereja. Rafael sering bertanya, apakah cidera pada kepalanya akan berpengaruh pada kemampuan nya sebagai penembak jarak jauh?

"Entahlah, kau harus mencobanya sendiri agar tahu." Regina menggidikkan bahunya.

Sungguh beruntung, kemampuannya tidak berubah. Tubuh Rafael seakan sudah merekam semua kemampuan itu dengan baik. Bertahun-tahun hidup dengan senjata, mungkin senjata juga sudah menjadi bagian dalam tubuhnya, menyatu.

Walaupun beberapa kali sempat merasakan pusing yang teramat sangat pasca kecelakaan. Namun saat ia berlatih menembak targetnya, Rafael tetap masih memiliki kemampuan akurasi yang tak diragukan.

Tidak ada yang berubah dari kemampuan Rafael dan itu menguntungkan mereka. Saat ini Rafael bisa kembali bertugas menjadi eksekutor dari komplotan pembunuh bayaran seperti dulu lagi. Albert telah banyak menolak klient selama mereka vakum.

Mereka mulai menerima tugas dari para orang-orang kaya yang menginginkan targetnya terbunuh —entah karena alasan apapun— yang penting uang bisa mengalir masuk ke dalam kantong mereka, karena baik Rafael, Regina dan Albert, mereka semua membutuhkan uang untuk menunjang kehidupan masing-masing.

Apalagi uang mereka telah habis untuk biaya penunjang kehidupan Erik dan Rafael, tak ada pemasukan apa pun selama Rafael vakum.

"Ini misi pertamamu, S. Empat orang dengan nilai masing-masing kepala 200 juta. Kau bisa? Mereka akan berdemo di depan teluk yang akan direklamasi." Misi pertama Rafael adalah menyingkir kan beberapa manusia yang dianggap mengganggu proses berjalannya sebuah Reklamasi Teluk.

Albert sempat kaget karena ternyata klien mereka saat ini adalah orang yang paling ingin mereka dekati. Siapa lagi kalau bukan Lexandro. Saat mereka mencari celah untuk mendekati pria itu, justru pria itu yang pertama menghubungi mereka.

Pria berkuasa itu selalu terlihat bersama dengan King. King adalah pengawal utama Lexandro. Albert dan Regina tanpa ragu langsung menerima pekerjaan itu dan berharap bisa mendekati Lexandro dan juga King diam-diam. Tentunya tanpa sepengetahuan Rafael terlebih dahulu.

"Baik, aku akan mengeliminasi target saat demo berlangsung." Rafael mempersiapkan diri.

Rafael dengan sempurna menghilangkan satu per satu nyawa targetnya. Bahkan melimpahkan kesalahan pada pihak berwajib dengan memanfaatkan keadaan yang ricuh dan tembakan gas air mata. Semua menuduh pihak aparat sengaja membunuh para pemimpin mereka.

Dan kini, setelah tugas itu selesai dan belum ada tugas selanjutnya. Rafael terlihat bingung harus melakukan apa? Ia hanya melamun kosong di samping ranjang Eric. Sesekali membacakan kakanya beberapa buku novel karangan Belleame. :')

"Aku bosan!" Dengus Rafael sebal karena saat ini hanya dia yang tidak memiliki kesibukan apapun. Regina sibuk mengurus Veterian sementara Albert sedang memimpin misa di gerejanya. Dulu Rafael punya kehidupan yang bahagia, tiap hari ia sibuk mengurus rumah dan juga bercinta dengan Jasmine.

ooooOoooo

Regina menarik tangan seorang pemuda tampan masuk ke dalam kamarnya. Ia adalah seorang dokter hewan residen tahun ke dua yang kebetulan maggang di veterian miliknya.

"A—ada apa, senior? Kenapa memanggilku kemari?" Pria itu agak heran dengan kelakuan tiba-tiba Regina yang membawanya masuk ke dalam kamar.

Ekor mata Regina melirik pria itu mulai dari ujung rambut sampai pangkal kaki. Ia masih mengenakan seragam serba hijau khas milik dokter magang di bagian bedah umum. Mata Regina berbinar, ia mulai menggigit bibirnya gemas. Pria muda itu sangat tampan.

"Siapa namamu? Umur berapa?" tanya Regina tanpa berkedip.

"Zico, residen tahun ke dua, umurku 25 tahun," jawabnya sembari menunjuk name tag yang tergantung di dada kiri.

Regina tak peduli, ia terus menatap wajah Zico lamat-lamat, sedangkan tangannya mengelus masuk ke dalam seragam Zico, merasakan abs dari tubuh atletis pemuda itu.

"Apa yang kau lakukan, Senior?" Zico kaget, wajahnya memerah. Regina lagi-lagi tak peduli, ia menarik karet celana Zico dan melirik isi di dalamnya.

"Wow panjang juga!! Aku ingin mencobanya bergerak di dalam tubuhku!" Regina dengan nakal melirik ke dalam celana pria muda itu.

"Senior tolong jangan begini," pinta Zico.

"Kau tidak keberatan kan bermain dengan wanita yang delapan tahun lebih tua di atasmu?" Regina melepaskan atasannya. Tampak dua buah gunung kembar dengan bungkus bra berwarna merah yang seksi.

"Aku punya pacar!" Tolaknya sambil menelan ludah.

"Ayolah pacarmu tidak akan tahu!! Aku akan tutup mulut!" Regina melucuti satu persatu bajunya sampai polos tanpa sehelai benang pun dan melemparkannya sembarangan.

Zico merasa adik kecilnya mulai mengeras melihat tubuh molek Regina. Dengan tangkas pemuda itu menarik lengan seniornya dan melumat rakus bibir wanita itu. Meluapkan segala hasrat yang baru saja membuncah. Regina tersenyum dan mulai membalas lumatan Zico dengan penuh gairah.

Regina melepaskan semua pakaian dari tubuh Zico, mereka berdua semakin beradu cumbuan yang kasar dan cepat. Kulit langsung bergesekkan dengan kulit dan membuat peluh hangat terus mengucur.

Zico mencium lantas melumat kasar bibir Regina, tangannya memainkan pucuk dua benda kenyal yang menggantung di tubuh Regina. Sementara Regina memilih untuk memainkan lidahnya dengan lihai dalam mulut Zico. Kelakuan keduanya menumbuhkan hasrat dan juga gairah yang sulit untuk ditolak oleh kedua insan manusia itu.

Bagi mereka saat ini sebuah hubungan seks adalah sekedar kebutuhan biologis yang tetap bisa terjalin meskipun tidak ada cinta.

"Ah ... ah ... masukkan, Zico! Aku sudah tidak bisa menahannya." Regina meloncat ke dalam gendongan Zico. Pria muda itu melemparkan tubuh Regina ke atas ranjang dan mulai menyatukan milik ke duanya. Bergoyang dengan perlahan sampai masuk ke dalam sepenuhnya.

Saat mereka tengah asyik bergulat di atas ranjang, tanpa peringatan juga bertepatan ketika Regina hampir mengejan karena puncak kenikmatan. Tiba-tiba pintu kamar terbuka.

"S??" Regina membelalak, Zico langsung menutup diri dengan selimut.

"Auh, sepertinya aku datang di saat yang tidak tepat!" Rafael menggaruk kepalanya bingung dengan situasi akward ini.

"Brengsek!! Kenapa kau masuk kemari tanpa mengetuk pintu??" Regina melotot galak ke arah Rafael.

"Aku tidak punya pekerjaan, aku bingung apa yang harus aku kerjakan?" Rafael menghela napas.

"Kenapa kau bertanya padaku, dasar bodoh!!! Pergilah keluar!! Cari angin kek, pergi ke tempat Albert kek!! Cuci piring kek!! Nyapu jalanan bila perlu!" Regina geram dengan pertanyaan Rafael.

"Albert sedang ada ibadah," jawab Rafael.

"Persetan dengan semua itu!! Cepat keluar Bodoh!!" Regina melemparkan bantal kepada Rafael.

"Baik-baik aku keluar!!" Rafael menutup kembali pintu nya.

"Siapa?" tanya pria muda itu.

"Hanya teman," jawab Regina acuh.

"Teman macam apa yang masuk ke dalam kamar teman wanitanya tanpa mengetuk pintu?" Zico heran.

"Kau tidak akan pernah tahu betapa rumitnya hubungan kami. Sekarang ayo kembali pada urusan kita berdua. Puaskan aku!!" Regina mengalungkan lengannya pada leher Zico dan mulai melumat lagi bibir pria muda itu. Dengan gerakan kasar ia kembali merangsang adik kecilnya untuk berdiri, lalu tiba-tiba saat mereka hendak bersatu, pintu kembali terbuka.

"Apa lagi??!!!" teriak Regina kesal.

"Aku tidak punya uang, pinjamin aku uang." Iba Rafael.

"Dasar pengangguran!! Pergi sana mengemis lah atau gunakan kemampuan untuk mencari uang!!" Regina melemparkan bantal kembali kali ini tepat mengenai wajah tampan Rafael.

Rafael kembali menutup pintunya. Pria itu mendengus kesal, ia hanya bisa menggaruk-garuk kepala karena bingung dengan apa yang harus ia kerjakan. Akhirnya Rafael memutuskan untuk pergi ke taman kota di sana ia menggambar beberapa manusia yang sedang sibuk beraktivitas di sekitar taman.

Lelah menggambar objek yang terus bergerak akhirnya ia membalik halaman kertas gambarnya dan memulai sket lainnya. Ia mencoba menggambarkan apa yang ada di dalam pikirannya dan entah kenapa ia menggambar seorang wanita dengan mata bulat, rambut hitam lurus sebahu, dan juga bibir tipis yang ranum dan menggoda.

Rafael menghentikan sket tangannya dan menatap gambar itu beberapa saat. Hatinya terasa sesak padahal dia hanya menggambar apa yang terlintas di dalam benaknya. Ia bahkan tak mengenal siapa wanita yang ada di dalam gambar itu. Melihat gambar itu sungguh membuatnya tersiksa sampai-sampai getaran harus menjalar ke sekujur tubuhnya.

"Ugh, ada apa denganku?!" Sebal dengan hal ini Rafael menyobek dan meremas gambar itu. Ia lantas membuangnya dan pergi dari taman kota.

"Lebih baik aku membeli secangkir kopi," gumam Rafael.

Saat berjalan ditrotoar, Rafael tak sengaja menabrak seseorang wanita cantik yang berjalan linglung. Wanita itu terus menunduk karena menyembunyikan air matanya.

"Maaf," pintanya.

"Tak apa." Rafael menurunkan topi baseball lebih dalam agar wajahnya tidak terlihat, lalu berlalu kembali.

Wanita itu sempat tertegun beberapa saat kemudian menoleh namun Rafael sudah tidak ada di sana. Menghilang pada tikungan jalan.

"Suara itu, El??!" Mata hitamnya yang bulat membulat sempurna saat mengenali suara yang pernah memenuhi hari-harinya dulu. Suara yang pernah teramat sangat ia rindukan.

ooooOoooo

Jasmine bertemu Elll??? Sungguhkah????

Oh No!! leonku bagaimana??? 🥺🥺🥺🥺🥺

avataravatar
Next chapter