54 RELIEVED

Seorang wanita tua memandang cemas ke arah putrinya yang masih tidur terlelap di atas ranjang rumah sakit. Rambut panjangnya yang telah memutih tergelung rapi, tanpa hiasan rambut apapun. Tubuhnya kurus dan wajahnya terdapat cukup banyak kerutan halus tanda penuaan. Dahi wanita tua itu mengeryit menahan rasa sedih dan juga kecewa. Kecewa karena Jasmine, sang putri memutuskan hal sembrono yang berujung pada maut. Dalam kekalutannya, ia memilih untuk mengugurkan janin —yang bertumbuh dalam kandungannya saat ini.

Selain sang ibu, adik Jasmine, Ameera juga datang. Gadis remaja biasa berumur tujuh belas tahun itu tampak terkesima dengan semua kemewahan yang ada di dalam ruang rawat inap kakaknya. Ekor mata gadis itu jelalatan, terus berputar menyapu tiap-tiap inci ruangan. Sesekali senyum manis terbit dari bibirnya yang tipis. Berbeda dari Jasmine, Ameera suka memanjangkan rambutnya yang hitam dan sedikit bergelombang.

"Ibu...," lirih Jasmine. Wanita itu terkejut mendapati sosok ibunya begitu membuka mata.

"Jasmine, kau sudah bangun? Mana yang sakit, Nak?" Tergopoh, tubuh renta itu bangkit dari kursi dan mengelus lengan Jasmine.

"Kak Jasmine!!" Ameera berseru dan juga beranjak dari sofa ke samping ranjang kakaknya.

"Maafin Jasmine, Ibu. Jasmine pasti membuat Ibu kecewa." Air mata turun dari sudut mata Jasmine.

Tak kuasa menahan sedih, kesal, dan kekecewaan. Ibu itu memukul pundak Jasmine sambil menangis, "Kenapa kau tega sekali? Bagaimana pun anak itu adalah darah dagingmu!! Kenapa kau tega akan mengakhiri hidupnya dan hidupmu?? Tak sekalian saja kau akhiri hidup ibumu ini?"

"Ibu, Jangan ibu, Kak Jasmine baru saja siuman. Dia juga pasti masih terguncang." Ameera menghentikan amarah ibunya, mencegah wanita tua itu memukul sang kakak.

"Minggir, Mera! Ibu kesal sekali!! Kenapa pikiran dan hatimu sesempit itu, Jasmine?!! Apa salah anak itu sampai kau mau membunuhnya?" Dengan segenap tenaga ia mendorong si bungsu dan kembali melontarkan amarah pada anaknya yang lain.

"Jasmine tak pernah menginginkannya Ibu, Jasmine takut, Bu. Bukan ini yang Jasmine harapkan!" Air mata turun merembes dari mata bulat Jasmine.

"Tetap saja!! Anak itu tidak bersalah!! Dia juga tidak meminta hadir di dalam rahimmu, dia tidak meminta hadir di dalam kehidupanmu!! Kalau kau tidak mau kau bisa memberikannya ke Ibu begitu dia lahir, tak perlu sampai membunuhnya!! Dasar anak nakal!! Kau hampir menjadi seorang pembunuh!!" Ibu Jasmine kembali menghujani Jasmine dengan pukulan pelan.

"Ibu!" cegah Ameera.

Wanita tua itu terduduk lemas dan kembali menangis. Ia menangkup wajahnya dengan tangkupan tangan. Ameera memeluk sang ibu, membiarkannya menangis sampai tenang. Jasmine ikut terisak, ia juga tak pernah menyangka kalau ibunya akan lebih marah bila Jasmine membunuh anaknya, Jasmine kira ibunya akan menolak dan malu bila Jasmine sampai hamil di luar nikah.

"Ibu sudah kehilangan kakakmu sepuluh tahun lalu. Apa ibu juga harus kehilangan anak dan cucu lagi sekarang? Kau mau menyiksa ibu pelan-pelan, Jas? Kenapa tak kau bunuh saja ibu sekarang?" Ia memukul-mukul dadanya yang sesak. Menangisi nasib.

"Maaf, Bu. Jasmine bingung, Jasmine benar-benar tak bisa berpikir panjang saat itu." Jasmine mencoba bangkit dari ranjang, tapi masih terlalu lemas.

"Sudah-sudah, nanti penyakit Ibu kambuh lagi. Kak Jasmine juga masih butuh istirahat agar bayinya cepat pulih." Ameera menengahi keduanya.

Ameera membantu menyeka air mata sang ibu, wanita tua itu mengangguk. Jasmine juga menghapus air mata. Kelegaan memenuhi hati dan pikirannya. Begitu Ibunya bisa menerima kehamilan ini, berkilo-kilogram beban yang tadinya menggelayuti hati seakan terangkat, menjadi sangat ringan.

KLEK!

Fokus pandangan ketiganya langsung beralih saat pintu terbuka. Kato membukakan pintu untuk Leonardo.

"Daebak!! Ganteng banget!" seru Ameera yang langsung terpesona dengan ketampanan Leonardo. Hanya Jasmine yang alisnya mengeryit melihat kedatangan pria itu.

"Maaf saya tak ada di tempat saat Anda datang, Nyonya. Apa perjalanan kalian nyaman?" tanya Leonardo dengan sopan.

"Ti—tidak apa, Nak. Nyaman kok, mobilnya  bagus," jawab wanita tua itu gelagapan. Perbedaan status dengan Leonardo membuatnya tertekan.

"Nama saya Leonardo Wijaya. Anda bisa memanggil saya Leon mulai dari sekarang." Leonardo mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan.

"Rosie. Kau bisa memanggilku Ibu, Nak." Rosie menjabat tangan Leonardo.

"Baik, Bu." Senyum Leonardo, Rosie dan Ameera langsung tersipu. Ameera bahkan tak berhenti tercengang. Benarkah kakaknya berusaha membunuh bayi milik pria tampan dan sempurna di depan mereka ini? Kenapa? Demi apa?

"Ah, kau pasti Ameera, adik Jasmine. Jasmine sering bercerita tentangmu." Leonardo menyapa gadis manis yang masih tercengang itu.

"Kapan?" lirih Jasmine, ia hendak protes tapi Leonardo sudah mengedipkan mata sebagai kode agar tidak merusak suasana perkenalan dengan keluarga barunya.

"Benarkah? Kak Jasmine tidak cerita hal yang buruk tentangkukan?" Malu-malu Ameera menyisir anak rambut ke belakang telinga. Ia tak berani menatap wajah calon iparnya yang super tampan itu.

"Jasmine cerita kau selalu rankking satu di sekolahan. Dan bercita-cita ingin menjadi dokter." Leonardo mengelus pundak Jasmine. Jasmine melirik tak suka, bagaimana pria ini bisa tahu semua tentang keluarganya? Bahkan cita-cita Ameera. Betapa mengerikannya koneksi Leonardo, ia memang telah menyelidiki semua sampai ke detail paling kecil dalam kehidupan keluarga Darmanto.

"Iya, tapi kuliah jurusan kedokteran hanya angan-angan. Biayanya pasti sangat besar." Ameera menunduk lesu, sungguh ia harus mengubur cita-citanya. Apa yang ia harapkan dalam kondisi keluarga yang serba kekurangan. Kalau pun Ameera berhasil memperoleh beasiswa, ia belum tentu bisa membeli buku-buku dan bahan untuk ujian prakteknya kelak.

"Aku akan menyekolahkanmu, Mera, kau akan mendapatkan pendidikan terbaik. Kebetulan keluarga Wijaya punya yayasan amal dan pendidikkan. Kami punya universitas kedokteran yang dikelola oleh Kakakku, Alexiana. Aku bisa memintanya menerimamu lewat jalur khusus." Leonardo tersenyum, membuat Ameera langsung sumringah.

"Benarkah?? Benarkan Mera boleh bersekolah??? Sungguh?? Ibu, sungguhkah Mera boleh masuk jurusan kedokteran?" Ameera terlalu girang, ia terlalu bahagia sampai memeluk sang ibu sangat erat.

"Tidak perlu, Nak. Kami tidak ingin menjadi beban." Rosie menolak halus tawaran Leonardo, membuat kekecewaan langsung terbit di wajah putri bungsunya.

"Tentu saja ini bukan beban, Bu. Kita akan menjadi keluarga," jawab Leonardo. Wajah Ameera kembali berseri. Melihat hal itu membuat hati Jasmine ambles. Segala yang tak bisa ia lakukan sebelumnya bisa dengan mudah dilakukan oleh Leonardo. Bahkan Jasmine tak pernah melihat Ameera tersenyum selebar itu selama sepuluh tahun belakangan. Semenjak Ibunya jatuh sakit dan Ayahnya meninggal, semenjak itu pula keceriaan perlahan-lahan hilang dari hidup Jasmine dan Ameera karena harus menyangga beban hidup yang berat.

"Kalian pasti lelah, aku telah menyuruh orang mempersiapkan apartemen untuk kalian. Semoga kalian suka. Secepatnya aku akan mengurus perpindahan sekolah Ameera dan kalian bisa tinggal di ibu kota." Leonardo menyentikkan jarinya dan Kesya masuk.

"Tak perlu repot, Leon. Ibu dan Mera bisa tinggal di rumah lamaku." Jasmine menarik ujung lengan jas Leonardo.

"Jasmine benar, Nak. Ibu dan Mera bisa tinggal di sana." Angguk Rosie, Ameera juga membenarkan keputusan sang ibu dan kakak.

"Tidak, rumah itu terlalu kecil. Memalukan bila membayangkan calon mertuaku akan menempati rumah itu." Leonardo tersenyum dan mengelus punggung tangan Jasmine.

"Silahkan, Nyonya." Kesya mempersilahkan keduanya jalan di depan.

"Antar mereka dengan baik, Kesya."

"Jes, Tuan Leon."

Sepeninggalan Rosie dan Ameera, tinggal Jasmine dan Leonardo di dalam kamar. Leonardo melepaskan dasi dan juga jasnya. Melemparkan benda-benda itu sembarangan.

"Kau sudah makan?" tanya Leonardo.

"Aku baru saja bangun." Jasmine memalingkan wajahnya.

"Mengandung sepertinya membuatmu menjadi pemalas, Nyonya Wijaya." Leonardo terkikih, ia melirik arlojinya. Hampir jam 12 siang.

"Ti ... tidak kok, ini gara-gara kau nekat tidur bersamaku di ranjang sempit ini, jadi aku tidak bisa tidur semalaman," sahut Jasmine, wajahnya memerah.

"Cih, dasar pembohong. Kemarin kau tidur sangat pulas dalam dekapanku sampai mendengkur." Ledek Leonardo, wajah Jasmine semakin menghangat, memang ia sama sekali tak ingat tentang kejadian semalam. Jasmine terlalu lelah dan tertidur. Benarkah ia tidur sampai mendengkur??

"Ti ... tidak mungkin!" Jasmine mengelak.

"Apa perlu aku mengingatkanmu lagi?" Leonardo merangsek naik ke atas ranjang. Mata Jasmine langsung membulat, Leonardo benar-benar berada di atas tubuhnya saat ini.

"Leon, ka—kau mau apa?" gagap Jasmine.

"Mengingatkanmu," bisik Leonardo.

oooooOooooo

Vote Please

Biar semangat

Komennya jangan lupa. ♥️♥️♥️♥️

avataravatar
Next chapter