webnovel

REGRET

Kata orang penyesalan selalu datang terlambat, kalau datangnya di depan namanya pendaftaran. Mungkin begitu pula yang saat ini dipikirkan oleh Jasmine. Wanita cantik itu menyesal karena telah mengkhianati suaminya. Bersetubuh dengan pria lain, bahkan menikmatinya.

"Aku sudah bersuami." Jasmine meneteskan air mata. Leonardo mengusapnya dengan punggung tangan. Jasmine menghindari kontak mata dengan Leonardo. Takut kembali luluh, terjatuh pada lubang dan dosa yang sama.

"Kau mau melanjutkannya atau tidak?" Leonardo menjadi geram karena Jasmine enggan menatap matanya, lagi pula benar-benar menyebalkan rasanya bila harus berhenti di tengah jalan.

"Selesaikan, Leon. Setelah itu jangan ganggu aku lagi. Anggap saja semua ini tak pernah terjadi. Ini benar-benar sebuah kesalahan besar." Jasmine menggigit bibirnya menahan rasa bersalah, rasanya semakin sesak.

"Baiklah! Aku akan menyelesaikannya." Leonardo kembali bergerak, memaju mundurkan pinggulnya, menggesek dalam tubuh Jasmine.

"Argh ...." rancau Jasmine.

Setelah benar-benar melepaskan hasrat dan nafsunya pada tubuh Jasmine, Leonardo melepaskan penyatuan mereka. Dengan terengah-engah ia merebahkan diri di samping tubuh Jasmine. Jasmine merasakan area kewanitaannya begitu perih dan panas. Leonardo menggila pada saat-saat terakhir adegan seks mereka.

Apa yang telah kulakukan? Jasmine memiringkan tubuhnya, air mata mulai menetes. Wanita itu terus mengigit bibirnya, menahan isak tangis agar tidak terdengar oleh Leonardo. Tangannya meremas erat ujung bedcover.

Leonardo merasa sebal mendapati ada wanita yang menangis di atas ranjangnya, bahkan di saat mereka sedang bercinta. Baru kali ini Leonardo merasakan ketidak puasan saat bercinta.

"Berhenti menangis! Aku benci mendengar suara tangisan!" Leonardo memutar tubuh Jasmine.

Pandangan mereka bertemu, wajahnya yang bersimba air mata membuat Leonardo sebal namun juga sekaligus ingin melindunginya. Kenapa ia menjadi begitu lemah saat melihat wanita ini menangis. Yang bahkan telah menolak mentah-mentah tawaran Leonardo untuk menjadi wanitanya. Singa itu tak pernah memberi ampun pada orang yang menolak tunduk padanya. Kenapa terhadap Jasmine, Leonardo punya empati yang berbeda?

"Maaf, aku tak bisa menahannya," jawab Jasmine dengan polos.

"Jangan meminta maaf!"

"Kau bilang tak suka mendengar suara tangisanku?!"

"Maka dari itu tenangkan dirimu, kau benar-benar membuatku gila!!" Leonardo menggaruk kasar kepalanya dan bangkit berdiri. Mencari kimono tidur agar tak terlihat polos.

Jasmine menarik juga selimut semakin tinggi, menutupi tubuhnya. Sampai detik ini Leonardo belum memberikan pakaian dan mengizinkannya pulang.

"Leon," panggil Jasmine.

"Apa lagi?!" bentak Leon.

"Aku lapar." Jasmine mengiba, setelah melakukan hubungan intim cukup lama dan juga menangis, kini perutnya sangat lapar.

"Kau mau makan? Aku akan minta pelayan membuatkanmu sup hangat." Leonardo bergegas menelepon bagian dapur.

"Leon," panggil Jasmine lagi.

"Heung?" tanya Leonardo sembari menyulut rokoknya. Uap putih mengepul tinggi.

"Apa tidak ada baju yang bisa ku pakai?" tanya Jasmine.

"Aku lupa meminta Kesya membelikanmu pakaian. Lagi pula kau lebih cantik saat tidak memakai apapun." Leonardo menyeringai, kegilaannya muncul kembali.

"Ck, iblis mesum." Jasmine mencibirkan bibirnya.

Leonardo meniupkan asap rokok ke langit-langit ruangan, setelah beberapa hisapan dalam ia mematikan bara. Menekan puntungnya pada asbak kaca. Leonardo kembali berjalan mendekati Jasmine. Pria itu duduk di samping Jasmine, mengecup pundaknya.

"Tidurlah setelah makan, aku akan mengantarmu pulang besok pagi," kata Leonardo, Jasmine mengangguk karena tak punya pilihan.

Makanan hangat tiba, Jasmine makan dengan lahap seperti biasanya. Leonardo tersenyum saat melihat wanita itu menghabiskan makanannya. Seperti budak jaman penjajahan yang makan sehari hanya satu kali mendapatkan jatah makanannya.

"Habis!!"

Ah, ternyata makan makanan enak memang membuat hati menjadi jauh lebih baik.

Leonardo masih heran melihat nafsu makan Jasmine yang lumayan besar. Setelah keduanya selesai menghabiskan makan malam, Carl membereskan sisanya.

"Leon!!" seru Jasmine.

"Ck, Apa lagi sih?" Leonardo berdecak sebal, ia sedang membaca laporan perusahaan hari ini dari tablet pintarnya. Walaupun bajingan, Leonardo tak pernah mengabaikan tugas dan tanggung jawabnya. Ia sangat berdedikasi dalam hal pekerjaan.

"Baju, aku mau baju!!" renggek Jasmine, ia mulai memukul-mukul bantal dengan gemas.

"Ambil sendiri di lemari, yah ... kalau kau bisa, sih." Kikih Leonardo pada kalimat terakhirnya. Jasmine yang tidak tahu apa maksudnya bergegas bangkit, melilitkan handuk lantas menuju ruang ganti. Mencoba membuka semua lemari yang ada, namun bergeser seinci pun tidak. Semua pintu lemari hanya bisa dibuka oleh sidik jari Leonardo.

"Kenapa pakai dikunci segala sih?!!" Jasmine mengeryitkan alisnya sebal. Jasmine tak tahu bahwa tiap harga pakaian Leonardo punya nilai yang fantastis. Tak ada satu pun yang punya nilai di bawah enam digit angka enol dibelakangnya.

Wanita itu akhirnya menyerah, sepertinya Leonardo sengaja membiarkannya berpenampilan seperti saat ini. Entah karena iseng, dendam, atau memang pria itu kelewat mesum.

Iblis laknat! geram Jasmine dalam hati.

Jasmine melangkah gontai menuju ke kamar mandi. Ia kembali membersihkan diri, sekujur tubuhnya basah karena keringat bekas luapan nafsu mereka sore tadi. Jasmine menundukkan kepalanya ditengah guyuran shower, anggap saja sebagai ganti air hujan yang akan membasuh penyesalannya, meluruhkan segala kesesakkan dalam hatinya. Menghapus rasa kotor dan juga dosa yang ia perbuat.

Maaf, sekali lagi maaf, El. pikir Jasmine.

ooooOoooo

Pukul 21.30, Jasmine melirik ke arah jam dinding digital. Cukup malam, namun matanya belum bisa terpejam. Leonardo sudah memberikan Jasmine kemeja lengan panjang dan celana boxer. Lebih baik dari pada telanjang bulat dan kedinginan.

Semakin malam dan wanita itu benar-benar gusar lantaran tak bisa memejamkan mata. Jasmine meraih ponsel pintarnya, tak ada pesan apapun dari Rafael. Ia lantas menghela napasnya panjang, lagi-lagi hatinya terasa sesak dan menyakitkan.

Satu-satunya pesan diterima Jasmine dari ibunya. Jasmine menengok ke arah Leonardo, pria itu telah tertidur pulas memunggungi Jasmine. Menampakkan tato tulisan VENCO pada punggungnya yang lebar.

Jasmine menekan tombol hijau memberikan panggilan. Beberapa kali nada sambung terdengar, lalu sebuah suara yang sangat ia rindukan terdengar.

"Halo, Nak. Ada apa menelepon Ibu malam-malam?" tanyanya dengan lembut. Mendengar suara sang ibu sungguh membuat hati Jasmine terasa begitu lega. Rasanya begitu tenang dan juga bahagia.

"Jasmine kangen, Bu. Apa Ibu sehat? Sudah minum obatnya?" tanya Jasmine lirih.

"Kenapa suaramu pelan sekali, Nak? Seperti sedang berbisik, sengau lagi. Apa kau habis menangis? Ada masalah dengan Rafael?" tanya wanita tua itu seakan tahu apa yang sedang Jasmine rasakan.

"Tidak, Bu. Jasmine baik-baik saja. Jasmine pelan-pelan karena tak mau membuatnya terbangun."

"Oh, suamimu sudah tidur?"

"Iya, Bu." Angguk Jasmine, dia berbohong.

"Jas, bertengkar itu hal yang wajar. Bumbunya rumah tangga. Tapi kalau ada masalah, dibicarakan baik-baik dengan suamimu, ya. Bagaimana pun kau sudah mengikat janji dengannya. Sebesar apa pun masalahmu, pasti tetap akan ada jalan keluar bila dibicarakan dari hati ke hati. Ingatlah bahwa dulu kau yang memilihnya sendiri, jadi kau harus bertanggung jawab pada pilihanmu." Namanya juga seorang ibu, nalurinya mengatakan bahwa Jasmine sedang menghadapi masalah dalam rumah tangganya.

"Baik, Bu. Jasmine akan bicara baik-baik dengan Rafael. Hiks...," isak Jasmine.

Wejangan panjang lebar itu membuat Jasmine tersadar bahwa ia berdosa karena telah mengkhianati suaminya sendiri. Harusnya Jasmine membicarakan hal ini baik-baik, menunggu apa alasan Rafael, bukannya malah melampiaskan kekesalannya dengan tidur bersama pria lain. Kini menyesal pun telah terlambat, Jasmine menodai sucinya ikatan pernikahan mereka berdua.

Leonardo menguping, ternyata pria itu belum benar-benar terlelap. Ia menatap punggung Jasmine yang kini juga membelakanginya. Mendengar nama Rafael disebut membuat hatinya panas. Leonardo menginginkan Jasmine, menginginkan wanita itu untuk menjadi miliknya seorang. Leonardo tak mau lagi membaginya. Tak mau lagi mengalah.

Tampaknya hasrat Leonardo mulai membuatnya tergila-gila pada wanita bernama Jasmine.

ooooOoooo

Up lagi!!!

Bantu koreksi typo ya. Kasih tanda di paragraf komen

💋💋💋💋💋

Vote

Akacih

Next chapter