webnovel

RAPIDE

Padahal Leonardo selalu berpikir bahwa Jasmine hanya lah sebuah mainan, tapi kenapa? Kenapa Leonardo bahkan tak rela bila pria lain melihat tubuh mainannya itu?

"Panggilkan aku dokter, Kesya!!" Leonardo meminta Kesya membawa dokter wanita segera.

"Ba—baik, Tuan!!"

"SEGERA!!!" teriak Leonardo.

Leonardo bergegas menghampiri tubuh Jasmine yang terkulai lemas di atas sofa. Panik, takut, dan khawatir membaur menjadi satu.

"Baby, bangun!!" seru Leonardo.

Tak ada pergerakan berarti dari tubuh lemas itu, berapa kali pun Leonardo mencoba untuk mengguncangkannya, Jasmine tetap tidak sadarkan diri.

"Rapide, Kesya!!! RAPIDE!!!"  seru Leonardo pada ponselnya, menghubungi Kesya. (cepat).

"Tuan Leon, dokter datang!" Kesya menghambur masuk, membawa seorang dokter wanita separuh baya. Dokter jaga yang bertugas di poliklinik perusahaan itu cepat-cepat masuk ke dalam.

"A—ada yang bisa saya bantu , Tuan Leon," gagapnya sambil mengatur napas.

"Cek kondisinya?! Segera!!" Leonardo bangkit dari sisi Jasmine agar dokter mudah memeriksa kondisinya.

Dokter itu terperanjat saat mendapati banyaknya kiss mark pada tubuh Jasmine. Apa wanita ini kehabisan tenaga saat bermain cinta dengan atasannya?

"Jangan diam saja!! Cepat periksa!!" bentak Leonardo tidak sabar.

"Baik, Tuan." Dokter itu mulai memeriksa Jasmine, ia mengeluarkan peralatan dari dalam tasnya. Mengambil sekantong cairan infus dan juga memepersiapkan jarum. Dengan cekatan dokter umum itu menusukkan jarum infus pada pembuluh darah Jasmine. Wajah Jasmine sempat mengeryit karena rasa sakit.

Cairan mulai mengalir dari kantong infus melalui selang panjang dan masuk ke dalam tubuh Jasmine. Wajah Jasmine perlahan-lahan kembali berwarna, tak lagi pucat pasi. Setelah menyeka keringat dingin dari dahi wanita itu, sang dokter mengecek lagi kalau-kalau ada luka lainnya. Dokter itu bangkit, lalu melapor pada atasannya.

"Tak ada yang serius, Tuan Leon. Nona ini hanya terlalu lelah dan kekurangan cairan. Setelah cairan infusnya habis dia pasti akan membaik. Lalu ada luka pada tumit kakinya. Sepertinya dia naik kemari dari tangga darurat. Mungkin karena itu juga tubuhnya terforsir dan kelelahan." Dokter itu menunjuk luka lecet pada tumit Jasmine, ia sudah membersihkan dan mengoleskan salep luka.

"Apa?! Naik tangga ke lantai 17?!" Leonardo terperanga, begitu besarnya perjuangan Jasmine hanya untuk menemuinya, dan semua itu hanya untuk memutuskan hubungan dengan dirinya? Sebenci itukah Jasmine?

"Kenapa dia tidak naik lift?!" Leonardo melotot galak pada Kesya. Wanita berdarah asing itu ketakutan saat tidak punya jawaban untuk atasannya.

"Hanya pegawai yang punya akses lift, Tuan." Kesya mencoba menjawab.

"Kenapa tidak menemui resepsionis? Kenapa tidak menyuruh mereka meneleponku?!!?" Leonardo semakin geram.

"Mereka pasti melarang menemui Anda karena belum membuat janji temu." Kesya mengutarakan prosedur untuk menemui Leonardo.

"Ugh!! Kenapa mereka bodoh sekali?! Pecat mereka semua, Kesya!! Pecat resepsionis yang bertugas hari ini!!" Suara Leonardo menggelegar sampai langit-langit ruangan.

"Baik, Tuan Leon" Kesya bergegas pergi. Amarah Leonardo terlalu memuncak, tak ada alasan untuk menyangkal perintahnya. Walau pun bukan salah dari para staff resepsionis karena mereka hanya menjalankan tugas, tetap saja Kesya terpaksa harus memecat mereka.

"Kau juga pergilah!!" Leonardo mengusir dokternya.

"Baik, Tuan, saya permisi."

"Kato, siapkan mobi! Kita pulang." Leonardo mengelus rambut Jasmine. Wajah wanita itu terlihat tenang dan polos.

"Baik, Tuan."

Leonardo mengelus pucuk kepala Jasmine dengan lembut. Mengecup pelan bibirnya yang mulai kembali ranum. Jasmine melengguh pelan. Leonardo tersenyum kecil, merasa aneh dengan dirinya sendiri. Kenapa kini hatinya berdesir karena seorang wanita, yang bahkan terlihat sangat membencinya?

ooooOoooo

Di lain tempat, Rafael terlihat memasuki sebuah ruangan rahasia di balik lemari pakaian miliknya. Ruangan sempit dengan luas 1,5 x 2 meter, memanjang di antara kamar tidur dan kamar mandi dalam. Selama ini Jasmine tak pernah menyadari keberadaan ruangan itu. Seperti tipuan mata, dari sisi kamar hanyalah lemari, dari sisi lain hanyalah kamar mandi.

Tak banyak barang, hanya loker dengan beberapa tas koper baja berisikan peluru-peluru dan juga tas untuk berpergian. Rafael melihat dua buah kalung rantai yang menggantung pada pintu loker. Rantai tanda pengenal milik para tentara. Mereka akan meninggalkan rantai itu bila meninggal di medan perang sebagai tanda identifikasi mayat.

Satu berinisial L, yang satu berinisial S, semuanya punya lambang omega. Sedikit usang dan gosong karena terkena ledakan. Rafael mengambil kedua kalung itu dari makamnya dan juga makam kakaknya sendiri. Makam yang berisikan onggokkan tubuh gosong milik orang lain.

"Aku selalu berharap bisa menyerahkan kalung ini kembali padamu, Kak," gumam Rafael.

Rafael melirik arloji, pukul 4 sore, sebentar lagi Jasmine akan pulang ke rumah. Rafael tak boleh ketahuan. Dia harus segera bertindak. Cepat-cepat Rafael menukar isi di dalam botol vitamin dengan pil pencegah kehamilan pemberian Regina.

"Maaf, tunggulah sampai aku selesai membalaskan dendam Kakak. Aku akan belajar menjadi pria yang baik bagimu, Jas." Rafael meletakkan botol obat kembali ke dalam loker.

Rafael menyandang back pack, menuliskan sticky note dan menempelkannya pada pintu lemari es.

___________

To: Jasmine

Aku akan menggambar ke luar kota. Mungkin sepuluh hari. Tak perlu menghubungiku, Jas. Aku takut tak bisa menjawabnya saat sibuk menggambar. Oh, ya, Jangan lupa minum vitaminnya.

Rafael.

___________

Rafael bergegas pergi dengan motornya begitu memastikan surat untuk Jasmine terlihat jelas. Rafael tak pernah berpamitan secara langsung kepada Jasmine saat ia akan membunuh seseorang.

ooooOoooo

Follow Ig @dee.Meliana

Vote

Comment

Makasih

💋💋💋

Next chapter