webnovel

NEW MISSION

Kembali ke beberapa jam yang lalu.

Sore itu hujun turun tidak deras, hanya gerimis kecil disertai angin dingin. Rafael hendak pergi ke kota sebelah, menjalankan misi barunya. Membunuh seorang ahli waris dari sebuah perusahaan besar, istri pertama mendapatkan anak perempuan sedangan istri kedua mendapatkan anak laki-laki. Istri pertama ingin menyingkirkan sang ahli waris akhirnya menyewa jasa seorang pembunuh bayaran, wanita picik itu bersedia membayar mahal.

Rafael menembus kerumunan manusia yang sibuk berlalu lalang di dalam stasiun kereta api. Ia membetulkan topi dan backpack. Baru saja turun dari motor, Rafael sudah mendapati ada yang tidak beres dengan nalurinya. Beberapa orang terlihat mengikutinya diam-diam dari belakang.

Rafael mengaktifkan komunikasi jarak jauh, menghubungi Albert dan Regina. "Beberapa hari ini aku merasa ada orang yang mengikutiku." Rafael berbicara sembari berjalan seakan tak terjadi apapun. Rafael selalu bisa menghindar, namun kali ini situasinya lain. Ia akan menaiki MRT, itu berarti mereka akan tahu kemana tujuan Rafael. Padahal tak boleh ada sedikit pun informasi yang bocor atau mereka akan tertangkap.

"Siapa? Apa kau membuat seseorang marah?" tanya Albert.

"Setahuku hanya kau, G," jawab Rafael, Regina langsung terbahak.

"Sialan. Lalu harus bagaimana? Setengah jam lagi keretanya datang." Albert menghadap ke layar monitor yang berjajar-jajar, merentas cepat cctv milik stasiun, memang tampak ada dua orang berkaca mata hitam yang mengikuti Rafael. Regina melihat video cctv dari layar ponselnya, Albert sengaja mengirimkan visual pada Regina.

"Bereskan mereka, kita tak boleh terlambat dari jadwal." Rafael bangkit, mengeluarkan jam tangan digital dari saku celana dan memakainya.

"Uruslah, V." Albert memberikan perintah.

"Kenapa aku? Aku hanya seorang wanita. Harusnya kau G." Regina menjahit perut seekor anjing dutchhound yang baru saja melahirkan secara cecar, 7 ekor anak. Regina menepuk pundak suster dan dokter magang, memberi kode agar mereka menyelesaikan sisanya. Keduanya menganagguk paham.

"Tanganku terlalu berharga untuk bertarung kau tahu!! Ini tangan dewa! Lagi pula aku tak ahli dalam bertarung." Albert memang seorang hacker, coding, programing, merentas adalah keahliannya.

"Tentara mana yang tak bisa bertarung?" cibir Regina, ia melepaskan jas dokter dan menggantinya dengan jeans hitam, tank top hitam, juga sepatu boot datar berwarna hitam. Jeans ketat dan tank top membuat lekukan tubuhnya terlihat indah.

"Aku!! Tapi aku ahlinya bertarung di atas ranjang, Darling. Bukankan kau pernah mencobanya?" Albert terkikih.

"Puft ... hanya 8 centi, dulu aku hanya berpura-pura saat organsme." Regina menguncir naik rambut pirangnya ala pony tail, ia menghina ukuran Mr P milik Albert.

"You bitch!"

"Hei Guys, fokus!!" Rafael menghentikan perdebatan kedua rekan satu timnya.

"Kirim aku posisinya! Aku akan menggantikan pengecut ini, biarkan sang wanita lemah ini bekerja." Regina mengambil beberapa obat dari dalam laci ruang bawah tanah.

"Wanita beracun!" Albert mengirim lokasi kedua pria yang mengikuti Rafael.

"Bersyukurlah aku tak meracunimu dulu!" Regina menyahut jaket kulit hitam dan kunci motor.

"Lima belas menit lagi, Guys!!" Rafael sedikit geram, tak bisakah mereka menyelesaikan urusan itu nanti?

" I'm on the way, S. Giring mereka ke toilet." Regina memutar gas motornya, motor sport hitam itu menderu dan melesat cepat ke jalanan.

"So sexy, kenapa aku dulu memutuskanmu, Baby?" kata Albert lirih.

"Hei!! Aku lah yang memutuskanmu, bukan kau yang memutuskanku!!" sahut Regina. Albert terjatuh dari singgasana dewanya, lupa mematikan microphone.

Rafael bangkit, mulai melakukan hal yang biasa manusia normal lakukan saat menunggu kereta. Membeli kopi, lalu melihat-lihat jadwal keberangkatan seakan sedang mencari kode keretanya. Semua kegiatannya berakhir menuju ke kamar mandi. Kedua orang itu juga sama, mereka masuk ke kamar mandi agar tak lagi kehilangan jejak Rafael. Ketiganya berjajar untuk kencing pada bidet. Rafael menyelesaikan ritual kencing, dan membasuh tangannya. Tepat saat ia keluar dari pintu, Regina masuk ke dalam. Rafael mendorong tanda segitiga kuning ke depan pintu, TOILET DALAM PERBAIKAN.

"Hallo, Boys!!" seru Regina, seringanya terlihat penuh kebahagiaan.

"Minggir, Nona! Kami ada urusan."

"Kenapa kalian mengikuti pria itu?" tanya Regina, ia semakin mendekat, kedua pria itu bingung. Mereka mulai curiga dengan prilaku Regina.

"Kami tak ada waktu untuk basa-basi, minggir!" Salah satu pria kekar itu mendorong Regina.

"Ck, aku benci pria yang kasar!!" Regina berdecis, ia mengeluarkan bubuk putih, menaruhnya pada telapak tangan.

Regina menendang punggung pria pertama sampai terjatuh lalu memutar tendangannya dan mengenai wajah pria ke dua. Saat mereka terjatuh kesakitan Regina menebar bubuk putih itu, meniupkannya. Kedua pria itu menghirupnya, keduanya langsung merasa aneh. Pikiran mereka melayang, berputar-putar, seakan ada ribuan kupu-kupu dan juga pelangi yang indah. Mereka juga terbuai dengan bayangan-bayangan keindahan, tergantung bagaimana otak mereka merespon kenikmatan dari racun buatan Regina.

"Hei, siapa yang menyuruh kalian? Kenapa mengikuti pria itu?" Regina berjongkok di samping mereka, keduanya sedang terbang menikmati buaian narkoba yang ditiupkan Regina.

"Tu-Tuan Wija ... ya." Setelah mengucapkan hal itu, mulut keduanya mengeluarkan busa. Regina memincingkan bibirnya sebal, sepertinya dosisnya terlalu banyak, jadi belum sempat menjawab keduanya sudah mati karena overdosis.

"Ck, dasar tak berguna." Regina mencuci tangan, ia sempat melemparkan beberapa bungkus bubuk putih pada kantong jaket sang mayat, membuatnya seolah-olah meninggal karena berebut narkoba dan memakainya sampai overdosis.

"Sudah beres, S," lapor Regina pada airpod yang terhubung dengan kedua rekannya.

"Aku sudah menaiki kereta."

"Sip, aku juga sudah menghapus rekaman cctv keberadaanmu di stasiun, V."

"Siapa yang menyuruh mereka, V?" tanya Rafael.

"Entahlah, mereka mati sebelum menjawabnya, tapi kalau tidak salah, ia menyebut nama Wijaya." Regina kembali menaiki motornya.

"Bisa kau cari tahu, G?" tanya Rafael.

"Tentu saja." Albert mengangguk.

"Baiklah, aku tutup dulu. Akan aku hubungi begitu aku sampai di sana." Rafael menutup panggilannya. Membaur bersama dengan penumpang lainnya. Rafael duduk di samping seorang gadis kecil dan ibunya. Gadis itu tersenyum pada Rafael, dengan wajah datar Rafael membalas senyumannya.

"Good Luck, S." Albert dan Regina berdoa untuk Rafael.

ooooOoooo

Wah Rafael sebentar lagi tahu siapa saingan cintanya

vote Bellecious

komentar yang banyak

biar Belle bahagia

💋💋💋

Next chapter