webnovel

NAIVE

Jasmine mengerjapkan mata lentik miliknya beberapa kali. Di atas meja kerjanya terdapat sebuah buket bunga mawar merah segar yang begitu indah dan besar. Ada juga sekotak macaroon warna warni dengan hiasan pita.

Siapa? Siapa yang mengirimiku bunga dan hadiah?! pikir Jasmine heran, wanita itu bergegas menyahut kartu ucapan yang tergantung cantik pada pita macaroon.

____________

To : Jasmine

Mi volas vin, Jasmine.

From : Leonardo

____________

Hanya kata-kata singkat, tapi membuat hati Jasmine begitu panas dan geram. Bukannya menyerah ternyata pria busuk itu semakin gencar mendekatinya. Semakin tertantang untuk memilikinya, semakin menginginkan Jasmine. Seakan singa itu benar-benar sedang mengincar buruannya. Tak akan berhenti sampai buruannya menyerah kalah dan tunduk, lantas menikmatinya dengan rakus.

Membayangkan wajahnya saja sudah membuat tubuh Jasmine merinding apalagi saat mengingat kelakuannya kemarin.

"Hei, Jasmine!" Tiba-tiba atasannya memanggil. Membuat lamunan di dalam benak gadis itu membuyar seketika.

"Iya, Pak," sahut Jasmine.

Jasmine bergegas masuk ke dalam ruangan kerja direktur pemasaran, pria tua itu tersenyum dengan hangat. Membuat Jasmine sebal bukan kepalang. Bagaimana tidak, di belakang Jasmine tua bangka ini ternyata menjualnya pada Leonardo. Berpura-pura baik dengan memberikan seorang nasabah kaya raya. Ternyata begitu cara kerjanya, menyuruh marketing melayani nafsu bejat pria berkuasa agar mau menyimpan aset di bank.

"Bagaimana caramu meyakinkan Tuan Leon?" Wajahnya cerah, sedikit ada rasa penasaran.

"Dengan mengumpat padanya, Pak!" Jasmine sedikit meninggikan suaranya. Membuat wajah Samuel mengeryit heran. Bagaimana mungkin umpatan malah membuat Leonardo memperpanjang asetnya?

"Kau bilang apa?" Samuel mencoba mendengarkan alasan Jasmine kembali, siapa tahu pendengarannya bermasalah.

"Saya bilang kepadanya kalau dia itu bajingan dan iblis hidung belang." Jasmine tersenyum datar.

"HAH?!"

"Dan tolong jangan suru saya menemui pria itu lagi!! Saya sudah bersuami! Kalau tidak saya akan ekspose betapa bobroknya moral bapak dan juga Tuan Leonardo!!" seru Jasmine.

"Kurang ajar! Apa kau sudah gila? Kau kira bisa seenaknya sendiri menjelekkan nama Tuan Leon?" Samuel menggebrak mejanya, membuat wajah Jasmine sedikit berubah, nyalinya menciut.

"Te ... tentu saja!! Karena hal ini memang sudah keterlaluan," jawab Jasmine masih dengan gaya sok tegar.

"Huft ... wanita polos sepertimu memang tak tahu bagaimana sistem dunia!! Uang adalah segalanya, Jasmine. Tak hanya marketing di bank ini, seluruh wanita akan mengantri demi uang milik Leonardo." Samuel mendekati Jasmine.

"Itu urusan mereka." Jasmine mendelik galak.

"Dasar naif!! Memang apa yang suamimu bisa lakukan? Kau hidup berkekurangan, tiap hari pontang panting mencari uang demi sesuap nasi. Sebagai teman ayahmu aku hanya memberimu kesempatan! Kesempatan untuk mendapatkan perhatian Tuan Leon! Suamimu pasti juga tak akan marah bila kau menyuapnya dengan uang." Samuel kembali ke tempat duduknya.

"Dia bukan tipe seperti itu?"

"Oh, ya? Lalu kenapa dia tak mencari pekerjaan? Bukankah kalian kekurangan uang?  Kenapa kau masih bertahan demi pria tak bertanggung jawab?"

Jasmine terdiam, ucapan Samuel benar. Rafael memang pengangguran, tapi bukan berarti Jasmine bisa mengkhianatinya demi uang. Tidak, nuraninya tak akan sanggup.

"Keluarlah, cari nasabah lain. Kalau kau tak mau menghasilkan uang untuk dirimu, setidaknya hasilkan uang untuk perusahaan ini." Samuel memijit pelipisnya dan mengusir Jasmine. Kelakuan Jasmine membuat tekanan darah pria itu melejit.

"Baik, saya permisi." Jasmine masih menahan air mata saat keluar dari ruang kerja atasnya.

Jasmine mengusap matanya yang berair, menyekanya dengan punggung tangan. Dengan sepatu heels setinggi lima cm, wanita itu melangkah kembali menuju meja kerja. Beberapa wanita —rekan kerja— mengelilingi meja Jasmine. Mereka semua terperanga dengan bunga mawar merah yang sangat indah itu.

"Hei, Jas. Benarkan ini semua dari Tuan Leon?" cerca mereka begitu Jasmine membelah kerumunan.

"Ambil saja kalau kalian suka." Jasmine menawarkan macaroon pemberian Leonardo pada rekan kerjanya. Tak baik membuang makanan, apalagi kudapan manis itu terlihat begitu cantik dan legit.

"Wah, ini enak sekali. Sungguh kau tak mau memakannya, Jas?" celetuk mereka, Jasmine mengangguk.

Setelah mendapatkan macaroon dari Jasmine, mereka semua kembali ke tempat duduk masing-masing, menikmati kudapan sambil melanjutkan aktifitas. Hanya Sisca, bagian marketing kredit yang masih tinggal, wanita berusia 25 tahun itu duduk di atas meja kerja Jasmine. Tak peduli tiap mata lelaki memandang rok spannya yang tertarik ke atas. Memperhatikan pahanya yang mulus.

"Kau benar-benar wanita yang hebat, kami sudah lama mengenal Tuan Leon. Tapi dia bahkan sama sekali tak memberikan perhatian pada kami sama seperti kepadamu." Sisca mencomot sebuah macaroon berwarna pink fusia. Sesekali tangannya bermain pada kelopak bunga.

"Kau juga pernah tidur dengannya?" tanya Jasmine dengan pandangan ingin tahu. Benarkah wanita-wanita ini memang rela antri demi pesona Leonardo.

"Aku belum pernah, tapi Kikan sudah. Dia sangat mengidolakan Tuan Leon. Pria baik dan kaya raya, siapa yang tak jatuh cinta?" jawab Sisca, Jasmine ber huft pelan, mereka belum tahu betapa kejamnya Leonardo. Lelaki bermuka dua.

Sisca, wanita berambut merah itu sedikit mencondongkan tubuhnya untuk berbisik di telinga Jasmine. "Kikan bilang Tuan Leon sangat hebat dalam bercinta."

Wajah Jasmine merona kemerahan. Teringat kejadian di dalam toilet. Benar saja, tangan Leonardo sangat pintar bermain dan menyenangkan tubuh seorang wanita.

"Ah, aku juga menginginkannya. Bagaimana ya rasanya berada di bawah tubuhnya yang kekar sambil menikmati desahan napasnya yang panas? Ugh, memikirkannya saja sudah membuatku basah." Sisca terkikih sendiri saat berhalusinasi akan sosok Leonardo.

"Bukankah kau punya suami? Kikan juga, apa kalian tidak takut suami kalian tahu?" Jasmine tak habis pikir. Kenapa mereka dengan mudahnya berkhianat?

"Huft, Jasmine ... Jasmine. Kenapa kau polos sekali?! Tentu saja para suami kita tidak tahu, lebih tepatnya menutup mata, pura-pura tidak tahu. Lagi pula, Tuan Leonardo memberikan sejumlah uang bila ia puas. Kau tahu, jumlah uangnya tak main-main, Kikan bahkan bisa membeli mobil dengan uang itu."

"Sungguh??" Mata Jasmine membulat tak percaya.

"Lagipula, Suami Kikan hanya seorang karyawan swasta biasa. Dengan dua orang anak, mereka pasti harus mengirit kebutuhan hidup. Tak dipungkiri dengan uang pemberian Leonardo, Kikan dan keluarganya bisa hidup lebih nyaman." Sisca memasukkan suapan macaron terakhir ke dalam mulut.

"Suaminya tak bertanya dari mana uang itu datang? Apa dia tidak tahu?"

"Menurutmu suaminya tidak tahu? Tentu saja dia tahu. Tapi apa yang bisa dia lakukan? Bukankah hidupnya jauh lebih nyaman karena sambilan istrinya. Uang membungkam segalanya Jasmine. Uang itu segalanya." Sisca bangkit dari meja Jasmine.

"Itu mengerikan." Jasmine ikut bangkit membereskan tasnya.

"Begitulah dunia belakangan ini, Jas. KEJAM!! So, Jangan naif, dan cepatlah belajar." Sisca menepuk pundak Jasmine sebelum berlalu pergi.

Jasmine membereskan tasnya, tak lagi memikirkan ucapan Sisac. Memilih fokus pada pekerjaannya. Sebagai seorang marketing bank ia harus berkeliling kota mencari nasabah. Menawarkan produk-produk bank. Mulai dari simpanan berjangka, obligasi, simpanan junior, tabungan hari tua, sampai program-program lain dengan hadiah poin dan undian berhadiah.

Jasmine sudah membuat janji dengan seorang wanita tua yang tinggal tidak jauh dari rumahnya. Beberapa kali berbincang dan wanita itu tertarik untuk menemuinya.

OK semangat, Jas!! Tunjukan pada mereka uang bisa dicari secara halal! pikir Jasmine.

ooooOoooo

vote

comment

give me love and hug 💋💋

Next chapter