87 MOON LIGHT

Sebenarnya apa yang ada dalam benak Leonardo? Apa ia puas bisa menyiksa istrinya seperti ini?

Sebenarnya pria itu teramat sangat mencintai istrinya, Jasmine. Kesedihan akan penolakan dan kehilangan membuat pria yang kejam berubah semakin kejam. Ia ingin Jasmine merasakan sakit yang sama, penolakan dan kehilangan yang sama. Penolakan seorang suami dan kehilangan bayi setelah ia mulai mencintai anak itu.

Lantas, setelah menghukum Jasmine seperti ini, apa Leonardo tidak khawatir Jasmine akan meninggalkannya? Tentu saja tidak, Leonardo punya perjanjian nikah bersama Jasmine, bila Jasmine kehilangan bayi mereka maka selamanya Jasmine akan menjadi milik Leonardo, tak akan pernah bisa pergi meski ia memutuskan untuk mati sekali pun.

Lalu, apa yang ada dalam benak Jasmine?

Jasmine memang mulai mencintai Leonardo, tak dapat dipungkiri bahwa ia juga ingin merasakan rasanya dicintai dengan sepenuh hati. Nyatanya memang almarhum suaminya tak pernah mencintai Jasmine dengan tulus.

Jasmine merasa Leonardo bisa memberikan apapun yang selama ini tak bisa diberikan oleh Rafael. Tak hanya cinta maupun kekayaan, ia bahkan bisa mengembalikan senyuman di wajah adik dan ibunya. Jasmine yang memilih untuk belajar menerima, jatuh cinta pada sosok Leonardo yang kuat dan bisa diandalkan.

Seiring berjalannya waktu, Jasmine pun mulai mencintai keberadaan anak mereka. Yang dulunya begitu benci berubah menjadi begitu sayang, naluri keibuannya berkembang pesat seiring dengan rasa cintanya pada Leonardo.

Bukan Jasmine bila ia tak punya tekat. Wanita itu bertekat untuk kembali mendapatkan cinta Leonardo, ia tak akan berpisah dalam waktu sembilan bulan. Ia akan meneruskan biduk rumah tangga mereka. Membangun keluarga harmonis yang bahagia.

Namun, impian Jasmine seakan kandas saat Leonardo bermesraan dengan wanita lain tepat di depan matanya. Dan semakin kandas saat sore ini, ia mengetahui, bahwa ternyata kehamilannya adalah sebuah kebohongan. Sebuah kebohongan yang dibuat agar Leonardo tetap bisa menikahinya. Perjanjian itu adalah jebakan agar Jasmine bisa menjadi milik pria kejam itu seutuhnya.

Ada apa, Bu? Apa yang terjadi dengan bayiku?" Jasmine mencengkram erat lengan Vanessa. Wanita itu menatap iba pada Jasmine. Ia tak berani mengutarakan apa yang telah ia alami.

"Bayiku?? Apa yang terjadi padanya?" Air mata Jasmine kembali luruh, secepat laju debaran jantungnya saat ini.

"Dia tidak ada, Nak." Vanessa akhirnya berucap juga.

"Apa maksudmu tidak ada, Bu?? A—apa dia meninggal dalam kandungan?!" Jasmine menutup mulutnya.

"Tidak, dia tidak pernah ada. Kau tidak hamil." Vanessa menatap Jasmine lebih dalam lagi, memberitahukan kebenaran akan kandungannya.

"Tidak, Bu. Tidak mungkin. Jelas-jelas aku hamil, aku mual muntah tiap pagi, Alexiana bulang aku hamil. Aku yakin aku pasti hamil." Jasmine menggoncangkan bahu Vanessa.

"Nak, sabar Nak. Ini memang berat, tapi sungguh, tidak ada bayi di dalam rahimmu." Vanessa menepuk pundak Jasmine.

"Mungkin Ibu salah, mungkin Ibu kurang teliti. Coba periksa lagi, tolong periksa lagi... huhuhu .... tolong, Bu. Aku tak mungkin kehilangan anakku." Jasmine merenggek dengan penuh air mata, mengelus perutnya agar Vanessa mau memeriksanya lagi.

"Diperiksa ribuan kali hasilnya sama, Nak. Tak ada janin yang sedang tumbuh dalam rahim itu. Dan ...." Vanessa tercekat.

"Apa?? Dan apa, Bu?!" Jasmine semakin meraung.

"Dan sepertinya kau pernah keguguran. Ada sobekan pada dinding rahim, sudah hampir pulih memang, tapi kau tetap belum boleh hamil selama enam bulan." Vanessa mengelus rambut hitam Jasmine, berusaha menenangkannya.

"Tidak!! Tidak mungkin!!" Jasmine menangkup wajahnya, ia menangis terisak-isak. Jadi selama ini ia tidak mengandung, selama ini kehamilannya adalah kehamilan palsu. Jasmine ternyata telah membunuh anaknya sendiri dulu dan Leonardo mengarang cerita supaya mereka tetap menikah.

Jasmine menyalahkan dirinya. Kenapa aku begitu naif dan bodoh?!!! Seharusnya aku tahu, dalam pendarahan sehebat itu anakku tak akan selamat. Seharusnya aku tahu, fleks-fleks darah itu bukanlah efek kecapekkan, itu adalah sisa hasil kuret. Seharusnya aku tahu, vitamin itu tidak mencegahku mual dan muntah, tapi untuk mengobati sobekan pada dinding rahimku karena efek obat pencegah kehamilan. Seharusnya aku tahu, Leon membenciku karena aku membunuh anaknya. Seharusnya aku tahu, dalam hal ini Leonlah yang paling terluka.

Tangis Jasmine pecah, suaranya menggema sampai ke langit-langit ruang periksa. Beruntung belum jam praktek, jadi belum ada pasien lainnya yang mengantri. Vanessa memberikan waktu bagi Jasmine untuk menenangkan diri. Ia tahu betapa beratnya kehilangan seorang anak.

Jasmine terisak, berita ini terlalu menyakitkan. Terlalu menyesakkan. Kapan segalanya akan membaik? Ia sudah kehilangan cinta suaminya, masakah kini ia harus kehilangan satu-satunya penyemangat hidupnya? Oasis di tengah gersangnya hari-hari Jasmine? Pendengar yang baik saat Jasmine berkeluh kesah? Satu-satunya yang ia dambakan belakangan ini, memeluk dan menimangnya adalah hal yang paling Jasmine tunggu.

Tidak, tidak mungkin!! Aku membunuhnya dengan tanganku sendiri. Jasmine melihat ke arah tangannya, seakan ada banyak darah yang melumuri tangan itu.

Aku membunuhnya, aku menyia-yiakan anak itu, seperti aku menyia-yiakan cinta Leon dulu. Pantas saja dia tak lagi mencintaiku, aku menyakitinya dan membunuh anaknya. Ya Tuhan, dia pasti terluka. Jasmine membayangkan betapa kecewanya Leonardo saat anak mereka menghilang dulu.

Jasmine sesunggukan, sungguh hatinya terasa sesak dan menderita. Kehilangan yang bertubi-tubi dan juga menyadari akan kesalahan dan hukuman Leonardo membuat Jasmine semakin merana.

"Sabar ya, Nak." Vanessa mengelus rambut Jasmine dengan lembut.

"Maafkan saya, Bu. Saya menangis di sini. Ibu bahkan tidak mengenal saya sebelumnya," tukas Jasmine sambil menghapus air matanya.

"Benar, tapi aku merasa begitu mengenalmu." Vanessa mengelus punggung tangan Jasmine, matanya terus terarah pada cincin batu peridot di jari manisnya.

"Jasmine, dengarkan ibu, Nak. Ada banyak hal yang kadang tidak berjalan sesuai dengan apa yang kita inginkan. Dan kita mati-matian tetap ingin mendapatkannya, sampai tanpa sadar malah melukai diri kita sendiri." Vanessa menggenggam tangan Jasmine. Jasmine tertunduk, ia menyimak ucapan wanita seumuran ibunya itu dengan tenang.

"Semua telah berlalu, Jasmine. Biarlah berlalu. Sekarang ... Cobalah mengulik tiap sudut di dalam hatimu, Nak. Apa yang ingin kau perjuangkan saat ini? Dan bagaimana cara agar semuanya kembali membaik? Pikirkan dengan tenang dengan kepala dingin, sehingga kejadian yang mengecewakan itu tak akan terulang kembali." Vanessa mengusap pipi Jasmine lembut.

"Kau benar, Bu. Aku pergi, aku harus pulang. Sebagai istri aku harus ada di rumah saat suamiku pulang nanti. Terima kasih sudah memeriksaku, Bu. Terimakasih sudah mengingatkanku bahwa aku masih punya kesempatan untuk memperbaiki hidupku." Jasmine tersenyum, walaupun masih sedikit terpaksa.

"Kau wanita yang baik, suamimu pasti sangat beruntung, ck, dia mengingatkanku pada seseorang," gumam Vanessa sembari bangkit dari tempatnya duduk. Ia beralih untuk mengambilkan air minum agar Jasmine tenang.

"Oh ya, Bu. Aku lupa membawa dompet, aku akan kembali segera untuk membayarmu. Apa jam ini bisa menjadi jaminan?" Jasmine bangkit dari ranjang, ia melepaskan jam tangannya namun Vanessa menolaknya.

"Jangan, Nak. Kemarilah saja bila ada waktu untuk menemani orang tua ini berbincang." Vanessa tersenyum hangat.

"Baik, Bu." Jasmine sedikit menunduk, ia membetulkan diri dan mengusap lagi wajahnya yang sembab. Setelah dirasa cukup, wanita itu pamit undur diri.

"Hati-hati, Ya. Bersemangatlah, kalian masih muda, masih bisa punya satu lusin anak. Aku telah memberimu resep, minumlah agar rahimmu tetap sehat dan siap untuk hamil lagi."

"Baik, Bu. Kenapa kau begitu baik padaku?"

"Karena kau mengingatkanku pada sosok diriku dulu. Aku tidak beruntung dengan masalah percintaan dan keluarga, aku harap kau lebih beruntung dariku." Vanessa menepuk pundak Jasmine sebelum melepasnya pergi.

Jasmine keluar dari klinik, ia melihat langit yang mulai berubah menjadi gelap. Sepertinya matahari telah sempurna tumbang, kini giliran bulan dan bintang yang merajai langit malam. Suara dari beberapa rumah ibadah di sekitar sana terdengar bersahutan, menandakan sudah hampir pukul enam malam. Jasmine harus bergegas kembali ke rumahnya. Suaminya pasti sudah menunggu Jasmine.

Sekali lagi, Jasmine menapakkan kakinya untuk menyelusuri terotoar jalan. Ia akan kembali ke kediaman Wijaya. Meminta maaf pada Leonardo dan membicarakan kelanjutan hubungan mereka, keputusan terbaik apa yang akan keduanya setujui atas pernikahan ini.

"Sakit sekali," keluh Jasmine, tumit kakinya lecet parah. Ia mulai kesusahan saat melangkah. Rasa lelah membuatnya hampir kehabisan tenaga, namun tekat kuat tetap membuatnya melangkah.

"Ach!!" Jasmine terpekik, ia terjatuh karena tersandung kaki sendiri.

"Awas!!" Seseorang menangkapnya. Menyahut pinggang Jasmine di saat yang tepat sebelum wanita itu benar-benar terjatuh menghantam kerasnya aspal jalanan.

Dalam bayangan sinar bulan, Jasmine bisa melihat wajahnya dengan jelas.

Rambut hitam legamnya basah setelah berlari cukup lama. Keringat memenuhi wajah tampannya. Wajahnya terlihat begitu panik dan ketakutan. Matanya yang tajam terlihat merah dan sembab. Kegelisahan di dalam hatinya memacu jantung untuk berdegup cepat. Jasmine bisa mendengarnya, suara dari jantungnya, juga hembusan napasnya yang berat dan panas. Bahu kokohnya naik turun tak beraturan, sedangkan lengannya yang kekar menyangga tubuh Jasmine erat.

"Leon!" Mata Jasmine berkaca-kaca.

oooooOoooo

Jangan lupa sebentar lagi give away di undi. Ayuk cepetan ksih RE VIE W bintang lima yang banyak buat MIVOLASVIN, siapa tahu kamu yang menang gaes!!

Di umumin di Igeh Belle ya, di @dee.meliana 😘😘😘😘

avataravatar
Next chapter