webnovel

MARRIAGE AGREEMENT

Lagi-lagi Jasmine mencium aroma pengharum ruangan aerosol otomatis yang pekat. Aroma pine. Aroma itulah yang membangkitkan kembali kesadarannya. Setelah entah berapa lama jiwanya berkeliaran, terperangkap di zona antara hidup dan mati.

Kelopak mata sayu itu perlahan membuka, langsung tampak cahaya remang dari lampu tidur. Malam telah larut, lampu utama sudah di matikan. Cahaya redup itu membuat mata Jasmine mudah beradaptasi, tidak silau.

Di mana aku? Rumah sakit lagi? Jasmine melihat kantong cairan bening tergantung di atas kepalanya.

Jadi aku belum mati? batin Jasmine lagi.

Jasmine berusaha menggerakkan anggota tubuhnya. Mengecek apakah seluruh syarafnya masih berfungsi, mengecek apakah seluruh indranya masih mampu merasakan, dan yang terakhir, mengecek apakah masih ada janin di dalam perutnya.

Namun, sebuah tangan kokoh menahan tangannya. Pemiliknya tak bergerak, masih terlelap di pinggir ranjang sambil menggenggam tangan Jasmine. Bahu pria itu berkelung lelah setelah seharian memperjuangkan hidup dari wanita yang ia cintai.

Jasmine mengenali sosok itu, pria yang mengobrak abrik hatinya sampai hancur lebur. Pria itu menantinya dengan sabar sampai tertidur lelap.

"Ugh ... kau sudah bangun?" Sadar dengan pergerakan dan desah napas Jasmine yang berat membuat Leonardo terbangun.

"Kenapa? Kenapa kau tak mau melepaskanku?" Jasmine membuang muka, enggan menatap wajah tampan Leonardo. Kembali terngiang kenangan akan suara samar milik Leonardo yang begitu mengkhawatirkan keadaannya. Suara yang terus memanggil namanya. Jasmine mulai takut, takut akan luluh pada pemilik suara itu.

"Huft ... baru saja terbangun dari kematian dan kau langsung menanyakan hal itu! Apa tak ada hal lain yang kau inginkan?" Dengus Leonardo. Ia lantas bangkit, menuang segelas air untuk membasahi kerongkongan Jasmine.

Wanita itu merebut gelas dengan tak sabaran dan langsung menenggaknya, air tawar yang dingin membuatnya jauh merasa lebih segar.

"Lagi?" tanya Leonardo sambil mengusap lelehan air dari bibir Jasmine. Jasmine mengangguk.

Leon membawa lagi segelas air, membantu Jasmine meminumnya. Setelah puas mengisi tubuhnya dengan cairan Jasmine mulai membuka mulut. Bertanya pada Leonardo.

"Apa yang terjadi padaku?"

"Benarkah kau ingin mengetahuinya?" Leonardo tersenyum, ia mengelus rambut Jasmine. Jasmine menelan ludahnya dengan berat, apa ia sudah kehilangan janinnya? Kehilangan nyawa kecil itu? Jasmine tercekat, ia tak bisa menjawab umpan balik dari Leonardo.

Leonardo bangkit untuk merenggangkan tubuhnya, meliukkan badan ke kanan dan kiri. Melenturkan otot-ototnya yang kaku karena tidur dalam posisi yang salah.

"Aku capek sekali. Juga mengantuk! Hoam ...!" Tanpa persetujuan Jasmine pria itu merangsek naik ke atas ranjang. Membuat Jasmine terperangah.

"Leon kau mau apa?"

"Tidur, bergeserlah sedikit, Baby! Berikan aku tempat untuk berbaring." Pinta Leonardo.

"Apa kau bodoh? Bagaimana mungkin ranjang kecil ini muat untuk dua orang?" Permaintaan Leonardo disambut dengan dengus kekesalan oleh Jasmine. Tak masuk akal memang permintaan Leonardo ini, tak kala ada ranjang untuk penunggu yang nyaman atau pun sofa besar yang empuk dalam ruangan VVIP, entah kenapa ia malah memilih tidur berdempetan di ranjang sempit itu bersama dengan Jasmine?!

"Wah, semangatmu kembali, Baby!!" Leonardo terkikih, ia tetap nekat tidur di samping Jasmine.

"Sempit, Leon!! Jangan mendesakku, aku bisa jatuh!" Jasmine mendorong dada Leonardo.

"Tenang, ada besi pembatas." Leonardo menaikkan besi pembatas pada tepian ranjang. Besi itu memang mencegah pasien terjatuh saat tidak ada yang menjaganya.

"Tapi ini ranjang untuk satu orang! Mana bisa muat untuk kita berdua?!" Protes Jasmine lebih keras.

"Di satu jog mobil saja cukup! Kenapa ranjang ini tidak cukup?" Leonardo menyeringai, Jasmine melotot galak padanya.

"Sudah diamlah dan kembali tidur. Aku mengantuk!" Leonardo tak peduli, ia memutar tubuh Jasmine dan memeluknya dari belakang. Jasmine meronta beberapa saat, begitu tahu bahwa perbutannya itu seakan percuma, akhirnya Jasmine memilih untuk menyimpan tenaganya.

Hembusan napas Leonardo terasa hangat pada tengkuk Jasmine. Napasnya yang teratur dibarengi dengan gerakan dada dan otot perut yang naik turun. Menyentuh punggung Jasmine secara berkala. Penuh ritme yang sama. Menimbulkan spektrum perasaan yang berbeda saat ini.

"Aku suka aroma manis milikmu," bisik Leonardo, hidungnya menempel pada kulit leher Jasmine. Menghirup dalam-dalam keringat yang bercampur dengan pheromon, menimbulkan aroma manis yang menggugah hasrat.

"Leon," lirih Jasmine. Suaranya terdengar bergetar pelan karena sensasi itu.

Tangan Leonardo mengelus masuk ke dalam piyama rumah sakit, meraba lembut perut Jasmine yang masih rata.

"Maaf sekali, Jas. Janin ini berhasil selamat. Nyatanya daya hidup dan perjuangannya sama besarnya denganku." Leonardo mengencangkan pelukkannya.

Jasmine tercekat tak percaya. Benarkah dia masih mengandung anak Leonardo? Janin kecil itu berhasil selamat? Jasmine memang kecewa tapi entah kenapa juga terbesit sedikit rasa syukur dalam hati kecilnya. Mungkin Jasmine lega karena ia tak menjadi seorang pembunuh. Atau karena jiwa keibuannya sedikit demi sedikit mulai muncul?

"A—aku, aku ...," gagap Jasmine, ia kehabisan kata-kata untuk menjawab Leonardo. Ketahuan ingin menggugurkan kandungan itu membuat Jasmine takut sekaligus merasa bersalah.

"Ssstt ... aku tidak marah padamu, tidak juga kecewa. Saat kau meregang nyawa dihadapanku siang tadi, aku baru menyadari betapa aku mencintaimu. Aku tak ingin kehilanganmu, Jasmine. Kalau memang kau ingin bebas, aku akan membebaskanmu. Kalau kau ingin pergi, aku akan membiarkanmu pergi. Asal jangan mencoba mati lagi dihadapanku," tutur Leonardo, tangannya mengelus lembut lengan Jasmine.

"Kau akan membebaskanku?" Mata Jasmine membulat tak percaya.

"Benar. Tapi ada syaratnya."

"Apa? Apa syaratnya?" tanya Jasmine cepat.

Ck, wanita ini begitu tak sabar ingin pergi dariku rupanya? batin Leonardo.

"Menikahlah denganku terlebih dahulu, Jas. Aku tak ingin anakku lahir tanpa orang tua yang utuh. Setelah anak itu lahir kau boleh memutuskan apakah kau akan pergi atau menetap sebagai istriku." Leonardo memberi pilihan yang sangat masuk akal bagi keduanya saat ini.

"Sungguh kau akan melepaskanku begitu anak ini lahir?" Jasmine memastikan lagi.

"Iya, aku bahkan akan memberimu uang kompensasi karena telah melahirkan anak untukku." Leonardo mengelus perut Jasmine.

"Uang?"

"Ya, uang yang banyak, yang akan membuatmu kaya. Bahkan bila kau menganggur seumur hidupmu. Tapi ...."

"Tapi?"

"Tapi bila kau mencoba untuk membunuh atau kehilangan bayi ini lagi!! Aku pastikan kau akan menjadi budak seks-ku seumur hidupmu, Baby!!" Leonardo menahan tubuh dengan siku lengannya. Menatap tajam ke arah Jasmine. Jasmine menatap jeri ke dua mata elang itu. Untuk sesaat bukan amarah yang tersirat, namun kesedihan dan kekecewaan.

"Apa ini sebuah perjanjian?"

"Benar, kontrak pernikahan secara tidak langsung!" Leonardo mengelus pucuk kepala Jasmine sebelum merebahkan kepala.

"Ah, sudahlah. Tidur saja, aku sudah menyuruh orang untuk menjemput ibu dan adikmu malam ini. Aku akan melamarmu besok. Makin cepat kita menikah akan makin baik."

"Kau menjemput Ibuku? Kenapa tak bertanya kepadaku terlebih dahulu?" Jasmine terperanjat.

"Kau diantara hidup dan mati saat itu," sahut Leonardo.

"Bagaimana kalau ibuku marah?" Jasmine menggigit bibirnya. Menahan rasa takut dan malu. Apa jadinya bila ibunya tahu bahwa Jasmine mengandung anak di luar nikah? Pasti ibu akan sangat kecewa padanya.

Leonardo tak menjawab gumaman Jasmine. Ia memeluk lagi tubuh Jasmine, lantas memejamkan mata dan mulai tertidur.

ooooOoooo

Uwwwuuuu 💋💋🙈🙈🙈

Next chapter