webnovel

LITTLE ERIC

Pesta kembang api berlangsung spektakuler dan meriah. Disambut dengan hiruk pikuk semua tamu undangan yang terkesima, mereka berdecak kagum, tak henti-hentinya memuji perhelatan pernikahan yang luar biasa ini.

"Leon, ayo kita keluar." Jasmine meminta Leonardo untuk ikut melihat kembang api di haluan kapal.

"Duluan saja, Baby. Aku menyusul." Leonardo mengeluarkan benda tipis dari saku celananya, lagi-lagi fokusnya beralih ke arah ponsel.

"Baiklah," dengus Jasmine sebal karena sikap acuh suaminya, namun ia tetap keukeh menuju ke arah haluan kapal untuk melihat kembang api. Saat melintas ekor mata Jasmine tak sengaja melirik Hilda, penyayi soprano dengan wajah cantik itu juga sedang memainkan ponselnya sambil tersenyum manis.

Hati Jasmine merasa gundah, ia kembali menengok ke arah suaminya yang juga sedang tersenyum sambil menatap ponsel. Apa keduanya sedang bercakap?

Jasmine cepat-cepat menepisnya dan bergegas menuju ke haluan kapal. Tidak mungkin Leonardo akan mengkhianatinya dihari pernikahan mereka. Mungkin hanyalah sebuah kebetulan mereka terlihat sama-sama sedang menggenggam ponsel.

"Jasmine! Kemarilah!!" Sisca langsung menarik Jasmine ke pinggir kapal. Melihat kembang api dari spot terbaik.

"Indah sekali." Jasmine merona bahagia.

"Kau sudah bersiap untuk malam pertama?" tanya Sisca.

"Eh? Bersiap untuk apa?" Wajah Jasmine menghangat.

"Ayolah, Jas. Kau seperti tidak tahu apa yang pria butuhkan." Sisca terkikih.

"Aku sedang hamil, Sis, mana mungkin kami melakukannya." Bisik Jasmine di dekat telinga Sisca.

"What?!! Kau hamil? Hemp ...!"

"Jangan keras-keras!!" Jasmine membekap mulut sahabatnya yang kelewat ember malam ini.

"Pantas saja kalian terburu nafsu melangsungkan pernikahan, ternyata Tuan Leonardo tok cer juga." Sisca menyunggingkan bibirnya menggoda Jasmine.

"Ya, begitulah, kalau bukan karena anak ini aku juga tak akan menikahinya," ucap Jasmine.

"Heh?? Serius? Ck, jangan bohong!! Kau terlihat bahagia saat pemberkatan nikah tadi! Kau pasti sudah jatuh cinta pada Tuan Leon. Kau jatuh pada pesonanya bukan?!" Sisca mentowel pipi Jasmine. Wajah Jasmine menghangat, bahkan Sisca pun bisa melihat bahwa ia telah jatuh hati pada Leonardo. Kenapa malah perasaannya sendiri justru menolak untuk percaya?!

"Lalu apa yang harus aku lakukan, Sis? Aku bingung karena telah menolak cinta Leon berkali-kali, aku banyak mengecewakan perasaannya. Aku sendiri sudah tak tahu lagi apa dia masih mencintaiku atau tidak. Aku kira dia hanya bertahan denganku demi bayi ini, demi anak kami." Jasmine dengan berat menelan ludahnya, ia merasa bersalah karena pernah berusaha menggugurkan anak di dalam kandungannya. Tak mungkin Leonardo tak kecewa, dan bahkan bisa saja perasaan Leonardo berubah.

"Ya tinggal buat dia jatuh cinta lagi! Gampangkan! Jangan bingunglah!" Sisca menepuk punggung Jasmine.

"Caranya?"

"Kenapa Tuan Leon jatuh cinta padamu?" tanya Sisca.

"Si Mesum itu suka dada dan bokongku yang montok!" Jasmine terkekeh, begitu pula Sisca.

"Benar-benar, pria memang seperti itu. Kau harus membuatnya jatuh cinta lewat mata, baru kembali menggaet hatinya." Sisca tergelak.

"Ada tips?"

"Kau pamerkan saja paha dan pundakmu nanti. Pamerkan wajah polos dengan pose nakal. Tiap pria pasti menyukainya. Kau acak sedikit rambutmu seperti ini, ia pasti langsung luluh." Sisca mempraktekkan gerakan-gerakan nakal sambil menyisir serampangan rambut ikalnya.

"Aku?? Mana bisa?" Jasmine menangkup wajahnya malu, bukan tabiatnya bergaya seperti itu.

"Dia sudah menjadi suamimu, Dodol! Buat apa malu?? Emang kau mau jadi istri yang tak dicintai?" Sisca mendengus kesal, kenaifan Jasmine tak kunjung sembuh.

Jasmine tahu betul rasa sakitnya hidup bersama dengan suami yang tidak mencintainya — apalagi begitu menyadari rahasia dan kenyataan bahwa Jasmine tak mengenal siapa suaminya sendiri. Hidup Jasmine langsung hancur, pahitnya cinta yang bertepuk sebelah tangan membuat ulu hatinya berdesir ngilu. Jasmine tak ingin kisah hidupnya terulang kembali. Setidaknya kalau memang ia memutuskan akan melanjutkan biduk rumah tangganya setelah anak ini lahir, ia harus membuat Leonardo kembali mencintainya.

"Tapi apa boleh saat hamil muda bercinta?" Jasmine menatap ingin tahu.

"Bolehlah, kenapa tidak? Yang penting itu pelan-pelan, tahu batasnya. Kalau lelah berhenti, santai, nikmati baik-baik. Setiap kali bercinta kan tak harus ganas dan liar. Slow dan penuh ritme juga asyik kok. Tak kalah nikmat." Sisca menyenggol lengan Jasmine.

"Ah, kau benar." Jasmine tersenyum.

"Kau harus bersiap untuk malam pertamamu, Jas. Bersihkan riasan dan juga tubuhmu. Pakai parfum yang manis dan sensual. Pakai gaun tidur terbaik. Dan ingat! Berposelah dengan nakal." Sisca mendorong bahu Jasmine ke arah Leonardo yang baru saja menyusulnya.

"Dasar gila!" Jasmine melotot ke arah Sisca yang tengah mengacungkan jempolnya memberi semangat.

"Kau sudah selesai?" tanya Jasmine pada suaminya.

"Sudah, kembalilah dulu ke kamar bila kau lelah, tak baik terkena angin malam. Aku akan menyusulmu nanti, ada beberapa hal yang harus aku kerjakan." Leonardo memberikan jasnya pada pundak Jasmine.

Pria itu lantas berbalik diikuti oleh Kato, Jasmine menghirup sisa aroma tubuh Leonardo yang melekat pada jas, pikiran Jasmine melayang pada bayangan tubuh kekar nan kokoh suaminya. Jasmine merasa malam ini adalah kesempatannya, ia harus bersiap-siap seperti wejangan Sisca.

"Aku menunggumu di kamar, Leon!" teriak Jasmine.

"Sure, Baby." Seringai Leonardo.

ooooOoooo

Beberapa saat yang lalu, di dek kapal. Ameera juga sibuk merekam seluruh ganbaran kembang api yang menyala terang di angkasa. Gadis itu membagikannya dalam bentuk siaran langsung pada media sosialnya.

"Hei, kau bisa terjatuh ke laut bila tak memperhatikan langkahmu!" seru seorang bocah lelaki, ia terlihat mengamati kelakuan aneh Ameera sambil memainkan pisau pada tangan kanannya. Pisau lipat itu terlihat menari indah pada tangan sang bocah.

"Hei, lebih berbahaya memainkan pisau seperti itu!" sergah Ameera setengah sewot, bocah itu mengganggu siaran langsungnya.

"Aku hanya memberi tahumu, Kak. Terserah kau mau menurutinya atau tidak." Bocah itu mengupas kulit apel dengan pisau lipatnya tanpa terputus.

"Siapa namamu? Aku Ameera! Kenapa kau duduk di luar alih-alih di dalam? Apa tidak dingin?" Ameera memutuskan untuk mengobrol dengan bocah lelaki itu. Jujur saja, Ameera merasa bosan karena tidak menemukan teman sepantaran. Dan bocah itu terlihat juga sama kesepiannya.

"Eric, namaku Eric. Kau mau apel?" tanyanya.

"Aku sudah kenyang, Eric. Berapa usiamu?" tolak Ameera, ia menanyakan hal yang lain.

Bocah berkulit sawo matang itu menoleh ke arah Ameera. Ameera terkesiap karena mata bocah itu biru padahal kulitnya gelap. Mata biru itu berkilat mempesona saat terterpa sinar bulan. Wajahnya sepintas seperti bukan dari Indo, namun kesan Timur Tengahnya juga tidak terlalu kental.

"Usia asli atau palsu?"

"Heh?" Ameera ingin tahu maksud bocah itu.

"Asli hampir 11 tahun, palsu hampir 14 tahun." Ia menggigit sepotong apel dan menghabiskannya dengan cepat.

"Kenapa harus ada usia palsu?" tanya Ameera bingung. Pasalnya anak itu memang berperawakan cukup tinggi untuk bocah seusianya. Bisa dibilang Ameera pasti akan percaya bila ia mengatakan umurnya 14 tahun saat ini.

"Agar Ayah mau mengajakku pergi dari tempat menjijikan itu. Dia bilang tak akan mengajakku bila usiaku belum 12 tahun. Jadi aku berbohong, aku bilang usiaku 12,5 tahun lalu." Eric kembali memakan apelnya. Ameera semakin kebingungan dengan penuturan Eric.

"Memang siapa Ayahmu?" Ameera semakin tertarik untuk mengenal si kecil Eric.

"Itu, dia Ayahku." Eric menunjuk ke arah Mike yang sedang mendorong kursi roda Alexandro keluar dari ballroom.

"Pengawal Tuan Wijaya?" Angguk Ameera mengenal pria itu.

"Aku lapar, apa kau punya makanan?" tanya Eric. "Ayah menyuruhku diam di sini sampai pestanya selesai, setelah itu baru aku boleh makan." Lanjut Eric.

"Ya Tuhan. Itu berarti kau sudah berada di sini sejak sore tadi? Apa kau tidak kedinginan?!" Ameera bergegas melepaskan coat yang menyelimuti gaun pestanya, gadis itu memberikannya kepada Eric.

"Tidak, di negaraku dulu, malam terasa jauh lebih dingin."

"Sudah pakai saja! Dan tunggu di sini, aku akan membawakan makanan untukmu." Ameera bangkit, ia berlari mencari makanan apa saja yang bisa ia bawa untuk teman barunya itu.

"Lihat anak desa kampungan itu! Dia rakus sekali, mengais-ais sisa makanan." Melani di dampingi Karina dan Alexiana melihat ke arah Ameera yang terlihat sibuk mengumpulkan makanan.

"Ibu, berhentilah menjelekkan adik dari menantumu sendiri." Alexiana menyuruh ibunya berhenti mengoceh sembarangan. Tak enak bila Jasmine atau Rosie mendengarnya.

"Tapi Ibu benar, Alexi. Tak seharusnya seorang gadis mengais sisa makanan." Karina membela ibunya, jujur saja, hati Karina masih terbakar rasa cemburu. Alexiana akhirnya memilih untuk diam.

Ameera bergegas kembali ke buritan kapal, tempat si kecil Eric menunggu ayahnya bertugas. Cepat-cepat Ameera mengeluarkan kudapan manis yang bisa ia raih dari meja.

"Maaf, ya, hanya makanan sisa, tapi setidaknya bisa mengganjal perutmu." Ameera menatap iba ke arah Eric.

"Ini enak sekali. Ini bukan makanan sisa, Kak. Bagiku ini makanan mewah." Eric melahap makanan pemberian Ameera tanpa jeda, sangat lahap sampai mulutnya menggebung penuh dengan makanan.

"Hei, pelan-pelan saja." Ameera menyerahkan sebotol air mineral agar Eric tidak tersedak sesak.

"Terima kasih, Kak. Berkatmu aku tidak kelaparan. Ayah hanya memberiku sebutir apel saat ia sempat keluar," ucap Eric.

"Sama-sama. Aku harap Ayahmu segera kembali dan mengajakmu makan." Ameera tersenyum dan mengelus pucuk kepala Eric. Bocah itu tercengang, seakan tak pernah mengerti apa arti belaian hangat itu.

ooooOoooo

Wuhuuu!!! Jasmine lagi ngatur strategi biar bisa hupla hupla sama Leonardo 🤣🤣🤣🤣🤣🤣 kasihan tokoh utama kita rindu dibelai 😝😝😝😝

Jangan lupa ya di vote sama komen 🥰🥰🥰💋💋💋

Next chapter