1 JASMINE

"Let him kiss me with the kisses of his mouth! For your love is better than wine;"

Song of Solomon 1:2

___________

Siang ini hujan turun dengan deras, membuncahkan air pada seluruh kota. Tak hanya air, hujan juga membawa angin kencang dan hawa dingin. Jalanan sepanjang jalur utama macet , hujan juga membuat beberapa orang pengendara motor memilih untuk menepi sejenak. Rata-rata dari mereka tidak membawa mantel --padahal tahu hanya ada dua musim di negara ini, kemarau dan penghujan.

Pada sebuah kedai kopi di pinggir jalan itu. Seorang wanita muda terlihat asyik dengan pena dan kertas bekas bill tagihan kopi. Sesekali alisnya mengernyit, entah kenapa wajahnya yang cantik terlihat begitu tegang dan serius. Jemarinya bergerak lincah saat memencet tombol angka pada ponsel. Dengan aplikasi calculator ia menghitung jumlah nominal yang tertera pada tulisan tangan.

Bayar cicilan rumah, bayar Cicilan kendaraan, bayar tagihan listrik bulan ini, tagihan air, dan biaya makan, gumamnya dalam hati.

Hampir tak ada sisa, bahkan kurang bila aku harus mengantar ibu ke dokter. Wanita itu mengusap keningnya. Saat yang lain merasa kedinginan karena hujan deras, wanita Itu malah berkeringat.

Ya Tuhan apa yang harus aku lakukan? Aku bahkan sudah menjual cincinku hari ini. Satu - satunya benda berharga yang tersisa. Wanita itu masih kalud dalam pemikirannya.

Benar, saat ini ia tengah mengalami kesulitan keuangan. Gajinya sebagai seorang marketing bank tidaklah cukup untuk menutup semua kebutuhan hidup. Cicilan bank, tagihan listrik, belum biaya makan, tunjangan orang tua, dan kebutuhan mendesak lain.

Kopi disamping ponsel terlihat tak lagi mengepul. Uap air telah menghilang, suhu, aroma, dan rasanya pun tak lagi sama. Ia bergegas menenggaknya sampai habis, jam istirahat makan siang sudah hampir berakhir. la harus kembali ke kantor.

"Nona Jasmine, pesanan Anda." Seorang pelayan datang membawa sebuah kopi take away lalu meletakannya pada meja Jasmine. Americano panas, terbungkus sempurna dalam cangkir kertas dan kantong plastik lentur warna hijau. Mereka bilang plastik itu dari olahan singkong, jadi lebih go green. Jasmine tak peduli dengan plastik lembek itu, mau plastik itu ramah lingkungan atau tidak pun tetap tidak akan bisa mengubah fakta seputar kehidupannya yang kian hari kian menyedihkan.

"Thanks," ucapnya singkat dibarengi sebuah senyuman.

Jasmine berlari kecil menembus hujan, menyebrang pada zebra cross dan sampai pada sebuah bank swasta. Dengan cepat kakinya melangkah masuk, menimbulkan suara kemelotak yang cukup keras saat ujung heels beradu dengan lantai pualam.

Jam satu siang, jam - jam paling padat, area tunggu dipenuhi nasabah. Semua mengantri, kalau bisa ingin segera didahulukan. Transaksi keuangan yang umum terjadi pada sebuah kantor cabang. Setor, tarik tunai, kliring, print buku, sampai pengurusan kartu ATM yang terblokir. Jasmine juga tak punya waktu untuk melirik mereka. la harus segera menemui kepala departemen marketing funding. Atasnya.

Jasmin sudah berjanji akan menemui pimpinan itu nya setelah jam makan siang berakhir. Ada hal penting yang ingin pria tua itu sampaikan. Jasmine menyapa beberapa rekan kerja nya saat berpapasan pada koridor.

Setelah merapikan diri dan mengambil napas sepanjang mungkin, Jasmine memberanikan diri mengetuk pintu bertulis kan direktur pemasaran.

"Masuk!" Terdengar suara pria dari dalam ruangan.

Dengan ragu-ragu Jasmine masuk ke dalam ruangan, di sana seorang pria paruh baya duduk pada kursi menatap lekat layar monitor tablet pintar. Wajahnya yang bersahaja dan terlihat kalem sedikit menegang begitu melihat kedatangan Jasmine.

"Duduklah, Jasmine."

"Baik, Pak." Jasmine dengan perlahan-lahan duduk di depan meja kerja dari kayu oak mewah.

Pria itu menghentikan pekerjaannya, ia melepaskan kacamata dan mengalihkan pandangannya pada sosok Jasmine, dengan mata tuanya ia menatap lamat-lamat pada wanita cantik berpotongan sebahu. Rambut hitam itu terlihat lembab, basah karena air hujan.

"Ini, Pak kopi, masih panas, cocok pas hujan-hujan begini." Jasmine menyodorkan secangkir kopi americano panas ke atas meja, bosnya begitu menyukai kopi hitam pekat itu. Jasmine menganggap ini sebagai sebuah compliment supaya pria tua itu tidak terlalu keras padanya.

Legang, pria berdasi abu-abu itu enggan menjawab basa basi dari anak buahnya. Memilih untuk melipat tangan di depan dada, memikirkan kata-kata apa yang cocok untuk menghukum Jasmine.

"A-ada apa ya, Pak? Kenapa memanggil saya?" tanya Jasmine takut.

"Kamu masih berani bertanya ada apa? Harusnya kamu sudah tahu alasan ku memanggilmu kemarin!" Nada suara pria itu meninggi.

"Maaf, Pak." Jasmine menatap pria itu dengan pandangan sayu, seakan meminta belas kasihan.

"Sudah berapa lama kamu bekerja di sini, Jasmine?"

"Empat bulan, Pak." Jasmine menundukkan kepala, jemarinya saling bergelung untuk menyembunyikan rasa gusar.

"Empat bulan, dan dalam satu bulan terakhir kamu sama sekali tak mendapatkan nasabah satu pun! Kalau seperti ini terus, sepertinya awal bulan depan aku terpaksa memecatmu!" cerca pria itu. — Kurang satu minggu sebelum pergantian bulan.

"Jangan, Pak! Tolong berikan saya satu kesempatan lagi!" seru Jasmine mengiba.

"Kesempatan? Kamu minta kesempatan?? Bukankah kemarin aku sudah memberimu kesempatan?! Seorang pengusaha besar yang punya aset milyaran di bank ini! Tugasmu simpel, hanya memastikan dia menandatangani surat perpanjangan asetnya. Jangan sampai pria itu menarik asetnya dari bank ini! Lantas apa? Apa yang kamu lakukan? Bukannya mendapat tanda tangannya kamu malah menyiram wajah beliau dengan air!" geram pria itu, urat-urat lehernya menegang.

"Maaf, Pak, tapi dia sangat kasar dan arogan." Jasmine membela diri.

"Hei, Jasmine. Dia punya uang, sedangkan kamu tidak. Kau tahu bagaimana sistem dunia ini bekerja? Uang adalah segalanya!! Setidaknya kalau tak bisa memakai otakmu, pakai akal sehatmu. Kamu bisa berlutut atau mencium sepatunya bila perlu. Karena bukan dia yang membutuhkanmu! Kamu yang membutuhkan dirinya!!"

Jasmine menggenggam erat ujung roknya sampai kusut. Kepala departemennya tak tahu apa yang pria itu minta dari Jasmine. Seenaknya saja ia menyimpulkan segalanya semudah itu.

"Saya punya hanga diri," ujar Jasmine.

"Harga dirimu tak bisa membuat perutmu kenyang, Jasmine. Bukankah Ibumu juga masih sering keluar masuk rumah sakit? Akui saja kamu butuh uang bukan? Butuh pekerjaan ini."

"Anda benar, Pak. Saya butuh pekerjaan ini." Jasmine teringat ibunya di kampung halaman. Hati Jasmine terasa sesak, ia menitikkan air mata.

Pria di depannya itu menghela napas panjang, bangkit, dan mendekati Jasmine.

"Kamu memang benar anak dari almarhum sahabatku tapi semuanya tergantung kinerja juga, Jas. Kalau kinerja mu seperti ini terus, walaupun bukan aku pemimpinnya, perusahaan tetap akan memecatmu. Untuk apa memberikan gaji pada marketing yang tak bisa menghasilkan apapun?"

"Beri saya kesempatan, Pak. Saya akan mencari nasabah besar lainnya." Jasmine memohon sekali lagi.

"Tak ada gunanya, Jasmine. Lebih baik kamu meminta maaf pada Tuan Leonardo dan meminta beliau menanda tangani perpanjangan asetnya."

Jasmine menunduk, hatinya masih bergemuruh bila mengingat kejadian kemarin sore. Dan sekarang pimpinannya meminta Jasmine kembali bertemu pria kejam dan aneh itu lagi, bagaimana Jasmine bisa?

Suara guruh lagi-lagi membuat jendela-jendela kaca pada bangunan gedung bertingkat itu bergetar. Tetes-tetes air hujan melekat sempurna pada kaca. Jasmine hanya bisa melemaskan bahunya, pandangannya menerawang kosong pada tetesan air yang luruh itu.

"Keluarlah, Jas. Aku mau kamu dapatkan kontrak itu lagi bagaimana pun caranya!"

Jasmine pasrah, ia bangkit dari kursinya. Lalu saat hendak keluar dari ruangan, pimpinnannya berkata.

"Oh, ya. Ambil kembali kopinya. Saya tak suka minum kopi yang sudah dingin."

Jasmine mengangguk, dengan sedikit gemetaran wanita itu mengambil lagi kopi pemberiannya.

Koridor panjang menyambut Jasmine. Semua mata yang berpapasan heran melihat wajahnya yang sembab. Jasmine tak peduli, dengan cepat wanita itu menuruni anak tangga menuju pintu keluar. Berlari kecil. Ia harus pergi dari sana, mungkin menangis di tengah hujan akan membuat rasa sesak yang bergemuruh di dalam dadanya bisa sedikit menghilang.

BRUK!!!

Tiba-tiba tubuh mungilnya terpental karena menabrak seseorang. Dadanya yang keras terguyur oleh kopi hitam pekat. Kemeja putih polos itu ternoda. Para staff yang mendampingi pria itu tercengang. Mulut mereka mengangga.

"Dasar!! Di mana sih matamu?" cerca seorang wanita yang mendampingi pria itu.

"Maaf, maaf, Tuan. Saya tidak sengaja." Jasmine menelan ludahnya dengan berat. Tanpa mempedulikan bokongnya yang sakit atau kepalanya yang benjol, wanita itu bangkit dan mengambil sapu tangan dari dalam tasnya.

"Maaf, sekali lagi, maaf." Jemari Jasmine sibuk mengusap kemeja mahal itu.

"Wah, wah, sepertinya kita bertemu lagi, Nona Marketing." Pria itu menyeringai.

Mendengar suaranya, Jasmine mendadak pucat, dengan gerakan patah-patah ia mengangkat wajahnya. Berharap bahwa pria di hadapannya saat ini bukanlah pria yang sama dalam pikirannya. Jasmine menengadah. Betapa kacau hatinya saat ternyata harapannya lusut.

"Tu ... Tuan Leon," gagap Jasmine.

—ooooo—

Vote

Comment

Like

Follow

avataravatar
Next chapter