96 CONFESS

Malam harinya, Jasmine dan Leonardo bertandang ke apartemen Rosie. Mereka berencana untuk mengatakan hal yang sebenarnya pada sang ibu. Jasmine sudah memasukki minggu ke 11 kehamilannya, tentu saja akan sangat aneh bila sedikit pun perutnya tidak berubah.

"Kak Jasmine!!" seru Ameera begitu pintu terbuka, gadis itu langsung menghambur dalam pelukkan sang kakak.

"Halo, Mera, kau sudah mengerjakan PR dan belajar?" tanya Jasmine sembari menggiring adiknya masuk.

"Sudah." Ameera mengangguk, ia bermanja-manja dengan kakaknya Jasmine. Sudah lama mereka tak bertemu, rindunya membuncah. "Halo, Kak Leo!" Ameera juga tak lupa menyapa iparnya.

"Hallo, Mera, bagaimana harimu?" tanya Leonardo memulai obrolan ringan.

"Sedikit menyebalkan, Kak. Tapi tetap bahagia, aku punya banyak teman-teman yang cantik." Ameera memang masih merasa kesal bila teringat kejadian siang tadi. Bila teringat Victor membela gadis pelayan seperti Erren. Ameera cemburu, lantaran ia juga menginginkan sosok seperti Leonardo sebagai pendamping hidupnya kelak, dan Victor bisa jadi kandidat yang luar biasa. Sayang sekali, lelaki itu lebih memilih bersama dengan Erren.

"Ayo masuk, Nak. Mera biarkan kakakmu duduk dulu, jangan membiarkan mereka berdiri di depan pintu donk!" Rosie menyuruh ketiga anaknya bergegas duduk, menyamankan diri mereka di atas sofa empuk berwarna merah.

"Siap, Bu!!" Jasmine tersenyum.

"Ayo, Kak, kita duduk." Ameera mempersilahkan Leonardo.

"Leon, Ibu teruskan memasak dulu, ya." Rosie berpamitan pada menantunya, ia kembali sibuk berkutat dengan berbagai macam peralatan dapur. Alih-alih makan malam di restoran, Rosie sengaja memasak sendiri karena anaknya sedang hamil.

"Silahkan, Bu." Leonardo menimpali dengan sopan.

"Ibu masak apa?" Jasmine datang mendekat ke arah dapur, bau masakan membuatnya tertarik.

"Sayur bayam bening, ayam goreng pandan, dan sambal tomat. Kesukaanmu, bukan?"

"Wah nikmat sekali." Air liur Jasmine hampir menetes.

"Ibu juga mengukus kakap laut, katanya makanan laut baik untuk otak janin. Biar cucu Ibu pintar," kata Rosie sambil mengaduk sayur bening, wajah Jasmine seketika itu juga menegang. Rosie begitu memperhatikan kandungannya, padahal janin itu sudah tidak ada lagi di dalam rahimnya. Jasmine sudah membunuhnya dulu.

"Jasmine bantuin, Bu." Jasmine merasa bersalah kepada ibunya.

"Jangan, Jas, kau baru hamil muda, jangan banyak berdiri, duduk saja, temani suamimu, ya!" Rosie mengelus perut Jasmine, membuat perasaan Jasmine semakin tertekan.

"Jasmine pengen bantu, Bu."

"Sudah sana cepetan!! Jangan biarkan Leon duduk sendiri. Ada Ameera yang bisa bantuin Ibu." Rosie menepuk pundak Jasmine.

"Ya, Bu." Tak ingin membantah ibunya Jasmine mengangguk dan berjalan malas kembali ke samping suaminya.

"Ayo Ameera bantuin ibu, Nak!" Rosie memanggil anak bungsunya.

"Iya, Bu." Ameera bergegas menuju ke dapur, membantu Rosie memasak.

"Aku bingung, bagaimana harus mengatakannya ke Ibu, Leon." Jasmine berkasak kusuk dengan suaminya, sesekali pandangan matanya melirik ke arah punggung Rosie. Ia tak bisa membohonginya terus, namun juga berat bila harus mengutarakan kebenaran ini. Ibunya itu benar-benar bahagia saat mengetahui bahwa ia akan segera menimang cucu. Bahagia karena akan menjadi seorang nenek. Sudah pasti ia akan sangat kecewa bila mengetahui bahwa sebenarnya Jasmine sudah lama keguguran. Jasmine sendiri yang menggugurkannya.

"Kita bicara pelan-pelan saja, Baby. Bagaimana pun kita harus tetap memberitahukan hal ini." Leonardo mengelus punggung tangan Jasmine. Takut masalahnya akan bertambah runyam bila terus disembunyikan.

Tak lama berkutat dengan batinnya, panggilan makan malam pun datang. Rosie dan Ameera menata berbagai macam hidangan beserta piring di atas meja makan.

"Makan malam sudah siap!!" Ameera berseru.

"Kemari, Nak Leon, Jasmine. Ayo kita makan!" Rosie ikut memanggil keduanya.

"Baik, Bu." Leonardo bangkit dan menggandeng tangan istrinya menuju ke meja makan. Dengan berat Jasmine melangkah, seakan meja itu adalah meja peradilan terhadap dosa-dosanya.

"Hmm, aromanya sedap sekali. Ini benar-benar masakan rumahan yang nikmat." Leonardo mencairkan suasana, lebih tepatnya mencoba membuat Jasmine merasa lebih tenang.

"Hanya masakan sederhana, Leon. Kesukaan Jasmine dan Ameera waktu masih kecil. Ayo cobalah, Ibu harap cocok dengan lidahmu." Rosie tersenyum sembari menyendokan nasi ke piring Leonardo.

"Pasti cocok Bu, ini jauh lebih mewah dan beragam dari pada masakan Jasmine." Leonardo terkekeh.

"Jahat!" Jasmine mencabikkan bibirnya.

"Kau memberi suamimu telur setiap hari lagi, Jas??" Rosie bergeleng.

"Kan Ibu tahu Jasmine tak bisa memasak." Jasmine menyendok sambal dan menaruhnya pada ujung nasi hangat. Dulu saat hidup bersama Rafael, justru Rafael yang lebih sering memasak. Menghidangkan makanan rumahan sederhana untuk Jasmine.

"Belajar, Jas. Membahagiakan suami tak hanya dari mata dan bibir, tapi juga perut." Rosie menasehati Jasmine. Bukan hanya pujian ataupun ungkapan sayang, atau dandanan bak permaisuri, perut juga perlu diperhatikan untuk menyenangkan hati suami.

"Iya, Bu. Siap!" Jasmine mengangguk.

Mereka menikmati makan malam yang hangat. Jasmine dengan lahap memakan masakan ibunya yang sudah lama tak terkecap, ia begitu merindukan rasa nikmat itu berbaur di dalam mulut. Belum habis santap makan malam itu, Ameera menyelanya.

"Kak Leo, apa Ameera boleh minta mobil?"

"Mera!!" Rosie kaget dengan permintaan si bungsu.

"Teman-teman Mera semua punya mobil, Bu. Hanya Mera yang diantar jemput oleh sopir. Mera juga mau mobil, Kak Leo, bolehkan?"

"Ameera!! Apa-apaan sih?! Jangan meminta yang enggak-enggak!" Jasmine menendang kaki Ameera di bawah meja. Gadis itu menahan pekikkannya.

"Benar, Mera. Jangan aneh-aneh!" tukas Rosie.

"Kenapa sih, Bu, Mera nggak boleh minta mobil pada Kak Leo? Kakakkan kaya raya, sebuah mobil tak akan membuatnya jatuh miskin," sahut Ameera.

"Ameera!!" bentak Jasmine.

"Sudahlah, Baby. Adikmu juga adikku. Aku akan membelikannya sebuah mobil." Leonardo tampak tak keberatan dengan permintaan Ameera.

"Tidak, Leon. Jangan. Ameera baru 17 tahun, dia bahkan belum bisa menyetir." Jasmine mencegah suaminya memanjakan sang adik.

"Kak Jasmine!! Ameera sudah bisa mengemudi!! Tinggal mencari SIM. Di kampung Ameera diam-diam belajar mengemudikan mobil pick up buntut milik Ayah, jadi bisa mengantar ibu ke dokter." Ameera menyergah ucapan kakaknya.

"Benarkah, Bu? Ameera bisa menyetir?" tanya Jasmine.

"Benar, Ameera bisa menyetir. Tapi tetap saja kau tak boleh meminta hal berlebihan pada iparmu, Mera," jawab Rosie.

"Itu bukan hal berlebihan kok, hanya mobil. Bagi Kak Leo tak akan ada artinya meski pun aku meminta 10 buah sekali pun," ucap Ameera.

"Sudahlah, Ibu, Jasmine. Biarkan Ameera mendapat apa yang dia mau. Aku akan membelikannya mobil besok." Leonardo kembali menengahi.

"Sungguh!! Asyiiikk!!! Terima kasih, Kak Leo!! Boleh Ameera pilih sendiri mobilnya?" sahut Ameera dengan mata berbinar.

"Boleh, kau mau mobil merk apa?" tanya Leonardo.

"Ferari, Kak. Yang merah menyala."

"Ya Tuhan Mera, itukan mahal." Jasmine terperanjat dengan permintaan adiknya. Mobil sport itu bisa berharga milyaran.

"Ayolah, Kak Leo!!" renggek Ameera.

"Baiklah, akan kubelikan untukmu. Tapi berjanjilah kau harus menjadi dokter yang handal!" Leonardo mengusap kepala Ameera.

"Tentu saja!! Terima kasih Kak Leo." Ameera mengangguk setuju.

"Good. Ayo kita makan lagi." Leonardo melanjutkan makan malamnya.

"Kau jangan terlalu memanjakannya!" Jasmine berbisik kesal di telinga sang suami.

"Tak apa, adikmu, adikku juga. Apa salahnya aku memanjakannya?" Leonardo mengelus punggung tangan Jasmine.

"Itu mobil yang mahal," sergah Jasmine.

"Uang bukan masalah bagiku," bisik Leonardo sembari mengecup pipi Jasmine.

Jasmine hanya bisa terdiam dengan berat hati, ia tahu bahwa uang bukan masalah untuk Leonardo. Tapi bagimana dengan Ameera? Gadis itu terlalu manja akhir-akhir ini, jangan sampai ia terlalu menyepelekan uang karena bisa mendapatkan apapun dengan mudah lewat kakak iparnya.

"Oh ya. Kalian ingin bicara apa ke Ibu? Katanya tadi ada hal penting yang ingin diutarakan?" Rosie menenggak segelas air putih sebelum merubah fokus mata kepada putra putrinya itu.

"E ... itu, ehm ...." Hanya gumaman yang keluar dari bibir mungil Jasmine. Sesekali ia menggigit bibir yang gemetaran.

"Jangan buat Ibu bingung, Jas." Rosie menatap heran keduanya secara bergantian.

Wajah Leonardo juga terlihat tegang, bukan karena tak bisa mengatakannya, pria itu sungguh takut menyakiti perasaan Rosie. Ia sungguh takut melihat wajah kecewa yang akan Rosie buat bila mengetahu kenyataan pahit ini.

Namun, mau tak mau ia harus mengatakannya.

Leonardo bergegas mengambil napas sepanjang mungkin. Dengan tenang pria itu menggenggam tangan Jasmine dan berkata dengan lembut.

"Kami ingin meminta maaf, Bu," tutur Leonardo.

"Atas apa? Kalian tak berbuat kesalahan." Alis Rosie mengeryit kebingungan.

"Kami bersalah, Bu. Terutama Jasmine. Jasmine sangat menyesal, Bu." Jasmine menitikkan air matanya, membuat Rosie semakin kebingungan. Ameera juga menghentikan makan malamnya memilih untuk fokus pada pembicaraan ibu dan kedua kakaknya itu.

"Jangan bilang kalau ..." Rosie tercekat.

"Maaf, Bu. Jasmine sebenarnya tidak hamil. Jasmine keguguran saat mengkomsumsi obat pencegah kehamilan itu." Jasmine tertunduk, lidahnya kelu, air mata mengucur dengan deras.

"Ta ... tapi ... tapi, bagaimana bisa?? Dokter bilang kau hamil?? Dokter bilang janinnya selamat!" Rosie berteriak kalap, dokter saja mengatakan bahwa Jasmine masih mengandung, kenapa sekarang berubah?? Ya Tuhan, candaan apa lagi yang dibuat para anak muda ini? Bagaimana bisa mereka mempermainkan perasaan para orang tua? Menghancurkannya menjadi kepingan-kepingan kecil?

"Maaf, Bu. Itu salah Leon. Maaf, Leon memalsukan kondisi kehamilan Jasmine agar dia tetap mau menikah dengan Leon, Bu." Leonardo menggenggam lebih erat tangan Jasmine.

"I ... ini bohongkan? Bohongkan, Nak?! Kalian hanya bercandakan?" Rosie menangis, ia menggoncangkan lengan Jasmine. Jasmine ikut menangis begitu pula Ameera. Leonardo merangkul punggung Jasmine agar tetap tegar.

"Sekali lagi maafkan Jasmine, Bu. Jasmine telah membunuh anak itu. Maafkan kebodohan Jasmine ya." Jasmine bersimpu di depan kaki ibunya, Jasmine tahu Rosie pasti akan sangat kecewa, wanita itu sungguh mencintai apa yang tumbuh di dalam diri anaknya, dan ternyata semua itu hanyalah sebuah kepalsuan belaka. Jasmine dan Leonardo membohonginya. Bagaimana bisa Jasmine menyuruh Rosie tidak sedih dan kecewa?! Bagaimana bisa?!

"Hah ... hah ... dada Ibu, aduh, dada Ibu sakit..." Rosie tersenggal beberapa kali sambil memegang dada sebelah kirinya. Wajahnya pucat pasi, napasnya berat, dan dadanya sesak.

"Ibu!! Ibu!! Ibu kenapa??" Jasmine panik, Leonardo panik, Ameera panik. Tiba-tiba saja wanita paruh baya itu pingsan tak sadarkan diri sambil memegang dadanya. Cepat-cepat Leonardo menangkap tubuh renta itu sebelum terantuk lantai.

"Ibu ... bangun!! Ibu!!" jerit Jasmine ketakutan.

oooooOooooo

Hiks. Kasihan Rosie, padahal berharap mau cucu.

🤧🤧🤧🤧

Untung aja Jasmine udah mau honey moon buat bikinin dia satu lusin cucu. Ahahahhaha...

avataravatar
Next chapter