webnovel

A SINNER

Lengguhan kenikmatan ...

Aroma tubuh yang manis ...

Hentakan kasar yang penuh gairah ...

Hentakan yang membawa terbang, merasakan surga yang indah ...

Bayangan wajah tampan Leonardo saat mendesah penuh irama tak mau menyingkir dari benaknya.

"Tidaaakkk!!!" jerit Jasmine, membuat semua orang langsung melotot heran ke arahnya. Namun wanita itu tak peduli, ia tetap menelusuri jalanan menuju ke halte bus. Hendak mengambil uang milik nasabahnya. Jasmine malas berpergian dengan mobil kantor, bukannya bodoh karena tidak memanfaatkan fasilitas kantor. Memang lebih nyaman bila berada di dalam mobil ber AC, tapi kemacetan pasti membuatnya frustasi. Lebih baik naik kendaraan umum, walaupun sedikit berdesakkan tapi cepat sampai ke tempat tujuan.

Lupakan bayangan itu Jasmine, kau harus melupakannya!! Jangan jadi pendosa! Kau punya suami!! pikir Jasmine, ia mengerutuki dirinya sendiri. Kenapa imannya begitu lemah semalam sampai bisa memberikan tubuhnya pada lelaki lain?

Tapi sungguh tak bisa dipungkiri, Leonardo punya pesona yang susah untuk ditolak. Jasmine terduduk pada halte bis. Ia membuka ponselnya, benda tipis itu baru saja berbunyi.

____________

AMEERA:

Kak Jasmine,

uang sekolahku menunggak tiga bulan.

Besok aku harus ujian Kak.

Maaf ya Kak, aku merepotkanmu.

_____________

Jasmine menurunkan bahunya lemas. Harusnya kemarin ia meminta imbalan saja pada Leonardo. Sepuluh juta cukup, ah, semurah itukah dirinya. Cepat-cepat Jasmine menepis pikiran kotor itu dari hatinya.

Mikir apa aku ini!!! Jangan terjatuh pada dosa yang lebih dalam, Jasmine!! Pergulatan batin Jasmine terjadi. Wanita itu terus menjerit dalam hatinya. Bukan hanya karena dirinya yang tak bisa menjaga kesucian, namun juga karena tuntutan ekonomi membuatnya berpikir benar-benar akan menjual diri pada Leonardo.

Langit terlihat mendung, semendung hatinya saat ini. Jasmine tak bisa menyalahkan adiknya. Ameera tak bisa mencari pekerjaan paruh waktu seperti saat Jasmine SMA karena harus merawat ibu mereka yang sakit-sakitan. Ameera juga jadi tak bisa bergaul dengan banyak orang karena hidupnya yang serba kekurangan. Di usia semuda itu ia harus mengatur pengeluaran keluarga, membagi uang yang tak seberapa agar bisa mencukupi biaya berobat dan juga makan sehari-hari.

____________

JASMINE:

Beri Kakak waktu, Mera.

Kakak usahakan segera.

AMEERA:

Terima kasih, Kak.

____________

Lagi-lagi helaan napas panjang keluar dari rongga pernapasan Jasmine. Seakan mampu mengurangi kegelisahan dan permasalahan dalam hidupnya. Lamunan Jasmine buyar saat mendapati sebuah bis berwarna merah mendekat.

"Setidaknya bekerjalah dengan baik, Jasmine," gumam Jasmine sebelum melangkah naik.

ooooOoooo

Jasmine menyapu sekeliling ruangan rumah wanita tua, nasabahnya itu. Jasmine selalu saja terkagum-kagum saat masuk ke dalam. Bukan karena rumahnya yang besar, ataupun prabotannya yang mewah. Tapi karena nasabahnya itu punya banyak sekali koleksi buku-buku. Mulai dari novel sampai ke buku non fiksi. Hampir semua sudut ruangan di penuhi buku, dan semuanya terawat. Sepertinya wanita ini sangat gemar sekali membaca sewaktu muda.

"Ibu sangat menyukai buku?"

"Iya, sangat. Aku dahulu seorang penulis, jadi wawasan harus luas, aku membaca buku setiap hari. Tanpa sadar aku sudah mengkoleksinya sebanyak ini."

"Uwah!! Hebat!"

"Tiap-tiap buku berisi pikiran dari penulisnya, jadi aku menghargai mereka. Aku merawatnya dengan baik. Tak ada yang sukakan bila karyanya dibuang-buang." Wanita itu kembali dengan dua cangkir teh.

"Terima kasih." Jasmine menerimanya.

"Minum dahulu, Nona. Aku akan mengambil uangnya." Dengan sedikit bungkuk wanita itu berjalan masuk ke dalam kamarnya dan kembali dengan sekotak penuh uang pecahan terbesar saat ini.

"Jasmine hitung ya, Bu." Jasmine mulai menghitung.

"Iya."

"Tiga puluh juta, benar?" tanya Jasmine.

"Benar." Angguknya.

Jasmine memasukkan uang ke dalam kantung kertas berwarna coklat. Ia juga menuliskan surat-surat bukti setoran nasabah.

"Ini, Bu. Jasmine undur diri ya." Pamit Jasmine.

"Terima kasih, ya. Maaf merepotkan."

"Tidak, Bu. Jasmine malah senang bisa membantu ibu." Jasmine tersenyum.

ooooOoooo

Jasmine kembali ke bank, diperjalanan ia melirik ke dalam tasnya. Ada uang berjumlah tiga puluh juta. Andai saja itu uangnya, ia pasti bisa membayar biaya sekolah Ameera saat ini juga. Sayang sekali itu bukan uang Jasmine.

Apa aku pinjam dahulu uangnya ya? pikir Jasmine ragu-ragu, siapa tahu Rafael akan pulang dan membawa uang besok, Jasmine bisa langsung menukar jumlah uangnya. Tiba-tiba Jasmine tersentak. Benar, siapa tahu Jasmine bisa meminjamnya terlebih dahulu.

Jasmine bergegas menuruni bis begitu sampai di halte dekat bank. Dengan langkah cepat wanita itu kembali ke tempatnya bekerja. Jasmine menuliskan sesuatu sebelum pergi ke teller. Ia menyerahkan uang milik nasabahnya. Menyetorkan uang itu.

"Duh, Jas. Antri banyak nih," tolaknya, Jasmine melihat deretan nasabah yang mengantri di depan counter teller. Tiga barisnya penuh, hari ini hari jumat, semua perusahaan mengambil uang untuk membayar upah buruh harian.

"Duh, aku keburu pergi nih." Jasmine melirik ke arah jam dinding, pukul 2 siang.

"Ada apa sih ribut-ribut?" Kikan dan Sisca datang mendekati counter teller, mereka baru saja selesai makan siang.

"Ini, Jasmine ingin menyetor. Tapi antrian banyak. Aku menyuruhnya menunggu," jawab sang teler ketus, sibuknya jam kerja yang berakhir kurang dari satu jam lagi membuat ubun-ubunnya ingin meledak karena emosi.

"Kau mau ke mana, Jas?" tanya Sisca.

"Aku ada urusan penting." Jasmine tak memberitahukan detainya.

"Sini aku bantu setorin." Kikan membuka telapak tangannya.

"Serius?" Mata Jasmine berbinar.

"Udah sana cepetan," usir Kikan malas berbasa basi.

"Makasih ya, Kak!" Jasmine membungkukkan sedikit badannya dan pergi keluar dengan sedikit tergesa-gesa.

"Mau ke mana tuh anak?" Sisca acuh dan meninggalkan Kikan yang memegang uang nasabah dari Jasmine. Kikan duduk di dekat teller, menunggu gilirannya sambil memainkan pulpen.

"Anak baru itu bikin sebel, ada aja tingkahnya." Sang teller mengerutuki Jasmine.

"Sudah, cepetan kerja. Lalu terima uangnya. Aku juga mau segera pergi dari sini. Pekerjaanku masih banyak." Kikan mendesah panjang.

Tak lama, saat antrian mulai legang. Sang teller membuka segepok uang yang terbungkus kertas setoran dan karet gelang. Ia mulai memasukkan no rekening nasabah pada sistem komputer di depannya. Lalu alangkah terkejutnya ketika ia mendapati kalau nominal yang ada di bukti setoran berbeda dengn nominal fisik uang itu.

"Kak, ini uangnya cuma 27 juta, padahal di sini ditulis 30 juta." Sang Teller melaporkannya pada Kikan.

"Eh, masa sih?" Kikan membelalak.

"Coba aku hubungi nasabahnya. Berapa nominal yang ia setorkan ke bank?" Cepat-cepat petugas teller itu menghubungi wanita tua, mereka tahu data-data nasabah termasuk nomor ponsel yang bisa dihubungi.

"APA KAU BILANG?? Uangku hilang tiga juta?" Wanita tua itu marah-marah di samping meja, ia menggebrak mejanya. Uang yang dikumpulkan sedikit demi sedikit untuk hari tuanya hilang begitu saja.

"Maaf, Bu. Akan kami tanyakan pada Jasmine." Teller merasa bersalah, ia tak menyangka wanita itu akan marah-marah seperti ini.

"Wanita itu penipu!! Aku tertipu wajah cantik dan sikap lembutnya!! Kalian juga bagaimana bank bisa mempekerjakan seorang pencuri!!" jeritnya gusar.

"Tenang, Bu. Mungkin hanya salah paham. Saya akan kembali menghubungi Jasmine." Teller itu mencoba menenangkan nasabahnya.

"Tidak!! Aku akan ke sana sekarang! Aku tuntut pimpinan kalian." Wanita itu keukeh ingin mengusut Jasmine. Kekecewaan melanda hatinya, padahal ia begitu menaruh kepercayaan pada Jasmine. Teganya wanita itu mengkhianati dan mencuri uang dari wanita tua sepertinya.

"Gimana?" tanya Kikan.

"Tauk ah, gelap!" Teller itu menutup panggilan, ia lelah dan ingin bergegas menyelesaikan tugasnya. Bukan malah memikirkan kesalahan rekan satu kantornya.

ooooOoooo

Jasmine berjalan gontai, ia tak tahu lagi harus menuju ke mana saat ini. Hatinya dipenuhi dengan rasa bersalah yang teramat sangat. Tak hanya mengkhianati suaminya, ia juga punya segudang uneg-uneg dan kesalahan lain.

____________

AMEERA:

Kak terima kasih ya

Mera besok bisa dapat kartu ujian

tanpa harus mengemis.

JASMINE:

Syukurlah, Mera.

Belajar yang rajin ya.

____________

Tanpa sadar Jasmine sampai di depan gedung gereja. Gereja yang tak jauh dari kediamannya itu terlihat sepi dan legang. Hari ini bukan hari Minggu, bukan juga jam ibadah, tentu saja gereja sangat sepi.

Kegundahnya menyelimuti hati Jasmine, ia telah melangkah sampai di anak tangga teratas. Tangannya yang bersarang di handle pintu terlihat gemetaran karena ragu, bolehkah ia melangkah masuk ke dalam padahal hatinya penuh dengan dosa?

Aku harus mengakuinya, semua dosa-dosaku. Pikir Jasmine.

Wanita itu melangkah masuk, salib tergantung di tengah-tengah ruangan. Menjadi simbol dan juga pusat dari segala bentuk keagaaman di ruangan itu.

Jasmine menelan ludahnya berat, ia melangkah masuk dan meminta seorang anak muda yang membereskan lilin pada patung Yesus untuk memanggilkan pastur Romo Albert.

"Romo bilang tunggu sebentar, Nona," ucapnya.

"Baik," jawab Jasmine. Wanita itu menunggu dengan sabar. Menunggu dengan hati gundah, rasa bersalah menggelayuti hatinya. Rasa malu dan hina menjalar dan mencabik nuraninya.

Ampuni aku, Tuhan, aku seorang pendosa. Air mata Jasmine menetes.

ooooOoooo

Yo silahkan di vote!! Jangan lupa di komentarin

💋💋💋💋

Hari ini agak nyesek ya

Next chapter