48 A BILLION WORTH MAN

GLUDUG!! GLEGAR!!

Bunyi guruh membuat cuaca siang yang harusnya panas dan cerah menjadi dingin dan suram. Jasmine masih berdiri di depan jendela kamar rawat inap, ia mengepalkan tangan sembari menatap hujan. Wanita itu tengah mengumpulkan tekat tak kala hatinya perlahan mulai meragu.

Tidak, aku tak boleh bimbang! Aku tak ingin hamil anaknya, ini terlalu memalukan. pikir Jasmine, napasnya semakin tercekat menahan berbagaimacam rasa yang berkecambuk menjadi satu.

KLEK!

Pintu terbuka, Jasmine menoleh. Terlihat Leonardo dan Alexiana masuk ke dalam.

"Kau bangun? Sudah tidak pusing?" tanya Alexiana. Jasmine bergeleng sebagai jawaban.

"Baguslah, sepertinya kau juga sudah menghabiskan makananmu?" Alexiana melirik ke arah piring yang kosong.

"Aku menyuapinya, memaksanya makan." Leonardo yang menjawab.

"Ah, begitu." Wanita berrambut panjang dengan gelombang indah itu mengangguk paham. Ia mengesak tangan ke dalam saku snelli dan melangkah mendekati Jasmine.

Jasmine mundur beberapa langakah, merasa terintimidasi dengan kehadiran Alexiana. Walaupun cantik, Alexiana juga punya aura yang sama menakutkannya dengan Leonardo. Mungkin semua anggota keluarga Wijaya memilikinya.

"Tenang saja, aku tak akan menyakitimu seperti Leon, Jas." Alexiana bersandar pada jendela, Jasmine melirik takut-takut ke arahnya.

"Aku sudah menyiapkan vitamin, juga obat penguat kandungan. Karena kau kurang gizi dan tertekan, janin itu pasti kekuarangan nutrisi juga. Padahal tiga bulan awal kehamilan adalah saat-saat yang paling riskan." Terang Alexiana. Jasmine mengangguk dengan gerakan patah-patah, ia tak ingin berusaha memperbaiki keadaannya, bahkan kalau bisa biarlah janin itu menghilang.

"Bulan ini janinnya masih berupa kantong, bulan depan harus ada detak jantungnya. Usahakan kau meminum semua vitamin yang kuberikan, Jasmine. Dan makan makanan bergizi setiap hari walaupun tubuhmu menolaknya karena rasa mual." Alexiana menyelesaikan keterangan yang harus ia sampaikan sebagai dokter. Sekilat kemudian pandangannya beralih.

"Dan kau!! Tahan dirimu tiga bulan ini!" seru Alexiana kepada adiknya itu.

"Hah tiga bulan? Apa itu tidak terlalu lama?!" gerutu Leonardo.

"Ck. Apa Kau mau anakmu dan Jasmine terluka?" Decaknya sebal.

"Tentu saja tidak." Leon mengdengus, ia harus mengalah pada sang jabang bayi.

"Hei, bisa kau tinggalkan kami, Leon?" Alexiana mengusir adiknya.

"Baiklah," jawab Leonardo. Pria itu meninggalkan ruang rawat VVIP.

Ruangan itu langsung legang, Jasmine enggan memulai pembicaraan, sedangkan Alexiana hanya melipat tangannya di depan dada dan mengamati Jasmine. Menilainya mulai dari ujung kepala sampai kaki. Rambut sebahu yang hitam, mata bulat yang dihiasi lentikan bulu-bulu, hidung mencuat mancung, dan bibir yang tipis. Tubuh Jasmine juga terlihat di atas rata-rata, hanya kini terlihat semakin kurus karena tertekan.

"Bagaimana kau bisa mengenal Leon?" Akhirnya suasana legang itu pecah.

"Aku hanya marketing bank yang bertamu untuk meminta tanda tangannya. Namun aku justru menyiramkan air pada wajah Leon saat pertama kali kami bertemu karena dia memintaku melayani nafsunya." Jasmine menjawab dengan jujur.

"Apa?! Serius?? Kau benar-benar menyiramkan air padanya? Ahahahaha, aku penasaran seperti apa wajahnya saat itu." Alexiana terpingkal mendengar cerita Jasmine, belum ada satu pun manusia di muka bumi ini yang berani menantang adiknya, Jasmine yang pertama. Pantas saja Leonardo menjadikan wanita itu tahanan dalam penjara cintanya.

"Apa tak ada cara untuk kabur darinya?" Jasmine menerawang kosong pada hujan siang ini. Tampak sekali turun begitu bebas, tak peduli orang-orang di bawah sana berdesakkan untuk berteduh di pinggir emperan toko, atau kemacetan yang timbul karena genangan air. Atau perkebunan yang rusak karena terlalu banyak air, atau tanah yang longsor, dan bahkan banjir. Hujan tak peduli dengan konsekuensinya saat ia turun dengan deras. Sesekali Jasmine sungguh ingin menjadi seperti hujan, tak peduli dengan konsekuensi akan keputusan yang ia ambil.

"Sepertinya tidak ada, bahkan bila kau mati pun, Leonardo pasti akan memintaku untuk mengawetkan mayatmu. Mengurungnya dalam peti kaca." Alexiana ternyata paham betul dengan isi kepala adiknya, Jasmine juga pernah mendengar hal itu sebelumnya saat mereka bercinta di dalam mobil.

Jasmine menelan ludahnya dengan berat, hidupnya kini benar-benar terpenjara dalam sangkar emas.

"Hei, apa kau sebenci itu dengan adikku? Kenapa kau begitu ingin pergi darinya? Padahal ada ratusan wanita yang rela antri untuk menempati tempatmu saat ini, Jas. Tempat yang seharusnya tak mungkin diisi oleh wanita rendahan sepertimu," pertanyaan Alexiana membuat Jasmine bungkam. Ia tak punya jawaban.

Benar, Kenapa? Masalahnya adalah kenapa? Jasmine memang sudah menjanda, tak ada yang marah atau pun menghinanya kalau pun ia kembali menikah. Menikahi pria seperti Leonardo bahkan mungkin akan membawa kesejahterahan dan mengangkat drajad hidup keluarganya yang dibilang 'orang rendahan' itu. Lantas Kenapa?

Apa itu karena kepolosannya yang mengharapkan cinta suci begitu membenci sikap pemaksa Leonardo.

Apa itu karena cintanya belum hilang pada mendiang suaminya Rafael?

Atau karena kebohongan-kebohongan yang ia alami dari Rafael yang membuatnya trauma dan enggan menerima kembali cinta dari Leonardo?

Jasmine belum bisa menemukan jawabannya. Kejadian-kejadian di luar nalar yang datang silih berganti membuatnya enggan untuk sekedar mencari jawaban. Lelah, jiwanya hanya lelah dengan semua hal itu dan ingin menikmati saat-saat sama sebelum ia mengenal Leonardo mau pun Rafael.

"Aku tidak tahu kenapa," jawab Jasmine, akhirnya Alexiana bisa mendengar suaranya yang serak karena terlalu banyak menangis.

"Leonardo adalah anak dari seorang wanita simpanan ayah kami, Jas. Ibuku mengadopsinya dengan menukar uang sejumlah satu milyar pada ibunya. Leon dibesarkan tanpa kasih sayang seorang ibu, maka wajar dia tak pernah bersikap lembut padamu. Selain itu, ibuku selalu menganggap Leon adalah kecacatan dalam sempurnanya kehidupan kelurga Wijaya. Ia menganggap Leon adalah anak haram, pria senilai satu milyar." Alexiana menghela napas panjang, nyatanya memang hanya ia dan ayah mereka — walupun tidak intens karena sibuk — yang menyayangi Leonardo sebagai mana mestinya. Mungkin karena umur mereka berdua hampir sama, sedangkan ia terpaut jauh dengan Lexandro.

"Ibu memanggil Leon dengan sebutan anak 1 M, bagi keluarga Wijaya, nilai 1 M itu tidak ada harganya karena harta kami begitu melimpah. Saat menerima hinaan itulah Leon bertekat, ia ingin meningkatkan nilai dirinya, berjuang sekeras mungkin untuk memperoleh pengakuan Ayah. Leon kini tak hanya berharga 1 M, dia punya harga yang tak ternilai karena dedikasinya pada perusahaan Wijaya. Bahkan Ayah kami tak segan-segan memberikan separuh asetnya pada Leonardo saat ia baru saja lulus kuliah." Cerita Alexiana panjang lebar.

"Mungkin juga itulah kenapa Leon selalu menilai manusia bagaikan menilai barang. Memberikan label harga kepada mereka. Baginya uang bisa membeli segalanya, bahkan cinta seorang ibu," tutur Alexiana, Jasmine baru saja mendengar hal yang tak pernah ia duga sebelumnya. Kehidupan sempurna itu, kehidupan yang diinginkan oleh banyak orang itu nyatanya menyimpan banyak sekali luka dan air mata. Perjuangan untuk memperoleh pengakuan dari keluarganya sendiri.

"Kau satu-satunya yang tak bisa ia beli dengan uangnya, Jasmine. Mungkin karena hal itu dia jatuh cinta kepadamu. Dia penasaran karena tak bisa menafsir hargamu, dia tergelitik untuk bisa menjadikanmu miliknya. Lambat laun rasa penasaran itu tak hanya berubah menjadi cinta, namun juga hasrat dan obsesi." Alexiana mengelus punggung Jasmine.

"Cobalah memahami bajingan itu, Jasmine. Setidaknya dia adalah ayah dari calon anakmu." Alexiana meninggalkan Jasmine. Air mata Jasmine turun, ternyata hidup Leonardo tak lebih baik dari hidupnya.

Kini pilihan ada ditangan Jasmine.

Tetap menggugurkan kandungannya dan pergi dari hidup Leonardo?

Atau

Menerima bayi ini beserta cinta Leonardo dan menjadi istrinya?

Mana yang akan Jasmine pilih?

ooooOoooo

Makasih sudah baca. 😘😘😘😘

Aku cinta kalian.

Jangan lupa di vote

avataravatar
Next chapter