webnovel

Pindahan

Hari ini mereka resmi pindahan rumah. Celine telah memutuskan pilihan. Pertemuannya dengan Bisma waktu itu tidak menemukan titik temu.

Mereka harus tahu diri karena hanya menumpang. Sewaktu-waktu jika memang diperlukan, pemilik boleh mengusir.

"Meja yang itu sebelah sini, Pak. Nah, kalau yang ini digeser. Lemari di pojok aja." Celine menunjuk supir truk dan anak buahnya untuk mengatur barang.

Diantar Siska dengan motor bebeknya, mereka berdua berkeliling mencari kontrakan. Perjalanan dilakukan dari pagi sampai sore, juga memutari kota dari ujung ke ujung.

Mereka mencari tempat yang tidak terlalu jauh dari mini market, tetapi dengan harga yang terjangkau. Sehingga Celine tidak perlu terlalu pusing memikirkan biaya untuk membayarnya.

Mereka sengaja menukar hari off, agar bisa libur bersamaan. Syukurlah, akhirnya dapat juga rumah ini. Rumah kayu tunggal, tidak terlalu besar dengan tiga kamar. Per bulan sewanya satu juta rupiah.

Celine memohon-mohon kepada pemilik rumah agar diberi keringanan untuk bisa membayar biaya sewa dengan sistem bulanan. Awalnya bapak itu tidak mau. Mereka harus membayar per tahun. Namun, ketika dia mengatakan untuk ditempati anak-anak yatim, si bapak akhirnya mengalah.

Malamnya mereka langsung memindahkan barang karena sudah tidak ada waktu lagi. Anak-anak dijagakan oleh Bik Onah dan Susi. Dia dan Siska menuju rumah baru itu.

Untunglah ada uang pemberian Abah Ummi. Celine membayar untuk sewa tiga bulan ke depan. Selebihnya untuk menyewa truk dan biaya operasional anak-anak. Masih ada sisa sedikit untuk kebutuhan sehari-hari.

Bisa bertahan hidup saja sudah cukup bagi Celine. Dia ingin menabung apalagi membawa anak-anak jalan ke pusat keramaian. Namun, untuk saat ini hanyalah mimpi belaka.

Sebenarnya Broto sudah menawarkan salah satu rumah kontrakannya untuk mereka tempati. Rumah itu berdempetan satu dengan yang lain, sedangkan Celinw akan membawa dua puluh anak-anak yang super aktif dan berisik. Bisa saja mengganggu tetangga yang lain.

Celine bahkan boleh menempatinya secara gratis. Namun, dengan syarat dia mau menerima lamaran Broto. Celine menolaknya, karena belum siap menikah.

Apalagi dengan aki-aki seumuran Broto yang lebih pantas menjadi ayahnya. Bagi Celine, yang terpenting adalah masa depan anak-anak yang sudah menjadi tanggung jawabnya.

"Ayo, kita makan dulu." Siska datang membawa sekantong bungkusan berisi nasi dan es teh.

Celine, Siska, supir truk dan anak buahnya duduk bersila menikmati nasi bungkus yang isinya telur dadar, tumis kangkung dan sambal.

Mereka makan dengan lahap. Ternyata, mengangkat dan memindahkan barang lumayan melelahkam juga. Setelah ini mereka harus kembali ke rumah lama untuk membawa anak-anak.

"Berapa semuanya, Sis?"

Celine mengeluarkan dompet hendak membayar. Tak enak rasanya ditraktir terus sama teman. Sekalipun akrab, dia tahu sahabatnya juga punya kebutuhan sendiri.

"Udah gak usah. Ga apa-apa." tolak Siska halus.

Walau sering merepotkan, Bagaimanapun juga Celine adalah sahabat satu-satunya. Tempatnya membagi cerita, suka dan duka.

"Jangan gitu." Celine merasa tidak enak hati karena sudah terlalu banyak Siska membantunya.

Sejak awal mereka kenal, Siska tidak pernah keberatan berbagi berbagai macam hal. Termasuk materi demi anak-anak asuhnya.

"Udah. Aku kan juga sering kebagian makan siang gratis dari pacarmu itu. Anggap aja impas." Mereka tertawa geli saat mengingat Pak Broto.

Setelah selesai makan dan membersihkan ruangan, mereka segera bergegas kembali ke panti karena hari sudah sore.

"Ayo, Pak. Kita jemput anak-anak." Celine memberikan instruksi.

* * *

"Halo ... Gimana, Pak?" Bisma mengangkat telepon yang sedari tadi berdering.

"Oh, begitu. Jadi, mereka sudah mengosongkan tempatnya?" Tangannya bergerak memutar pulpen.

"Sudah beres, Bos," jawab suara di seberang sana.

"Baiklah. Kalau begitu proyek sudah bisa kita mulai, ya."

Bisma bernegosiasi kembali dan menjelaskan semua rencana.

"Oke. Kita bisa lanjutkan nanti dipertemuan selanjutnya."

Sambungan telepon terputus. Bisma menghela napas. Ternyata Celine belum mau menyerah juga.

"Seberapa kuat kamu, Sayang. Aku akan menunggumu."

Senyum penuh arti tersungging di bibir Bisma. Sekilas dia teringat akan kenangannya dulu, saat pertama kali mengenal gadis itu.

***

"Eh, eh ada maba cakep dah."

Steven memulai cerita. Lelaki yang satu ini memang selalu up to date kalau bicara soal cewek cantik.

"Yang mana?" tanya Bisma penasaran.

Ada beberapa mahasiswi baru yang cantik dan menggoda. Dia sendiri sudah mengincarnya jauh-jauh hari. Seperti tahun-tahun sebelumnya, sudah menjadi kebiasaan mereka menandai salah satu untuk dijadikan pacar.

Siapa sih yang tidak tahu kalau mereka adalah pemilik yayasan. Mana ada yang berani menolak, malah selalu menjadi rebutan. Suatu kebanggaan bagi para wanita jika bisa menggandeng salah satu dari mereka.

"Nih, liatin."

Steven mengeluarkan kamera Soni terbarunya. Seraut wajah ayu nan lembut muncul menghiasi layar benda canggih itu. Mereka berlima berebutan melihat karena penasaran.

"Gue gak sengaja ngambil gambarnya pas moto kegiatan ospek." Steven memperlihatkan foto Celine kepada teman-temannya.

"Iya. Boleh juga, manis." Dave, salah satu diantara mereka ikut mengomentari.

"Biasa aja sih. Culun, polos. Paling dari kampung."

Mulutnya tidak bisa dijaga. Sayang sekali justeru keluar dari seorang lelaki yang berwajah tampan dan berpendidikan.

"Wah, justru itu yang gue cari. Polos, culun, masih fresh dan belum terjamah lelaki manapun. Pasti masih virgin." Steven mengedipkan mata.

Mendengar perkataan Steven, mereka tertawa terbahak-bahak. Beberapa bahkan menggelengkan kepala karena lucunya.

"Bolehlah. Ayu tenan rek." Arthur menggeser beberapa foto. Matanya masih terfokus melihat-lihat beberapa gadis itu.

"Ya, elu. Muka bule', lahir besar di Amerika. Pulang ke sini bahasa ibu keluar lagi. Dasar wong ndeso." Dion ikut menimpali dengan meniru logat bahasa Jawa yang sangat kental.

Teriakan semakin kencang. Tawa mereka bergema di cafe ini. Pengunjung yang lain sampai menoleh dan bertanya-tanya. Ada apa gerangan yang dibicarakan lima lelaki ini sampai berisik sekali.

"Eh, gimana kalau kita taruhan ni cewek." Steven ngusulkan. Asyik juga kalau sesekali main begini.

"Yah, basi lu. Taruhan cewek mulu. Minum aja lu gak kuat. Maen PS kalah," jawab Bisma ketus. Lelaki yang satu ini memang suka sekali bicara asal.

"Anjir lu. Ayolah buat seru-seruan aja. Bosen nih gue." Steven masih mencoba merayu teman-temannya.

"Gue males. Mending ke club, dapet yang cakep, sikat."

Dave menolak. Dia anti pacaran, tetapi menyukai one night stand. Menjalin hubungan serius dengan wanita itu merepotkan. Baginya, wanita itu lebih nyaman dijadikan sebagai alat untuk bersenang-senang.

"Lagian taruhan begitu buang-buang waktu. Kita semua ni udah pada mau skripsi. Bisa digetok pala gue sama Babe." Arthur juga menolak karena idak berminat sama sekali.

"Eh, biar aja gue payah kalau taruhan begitu. Tapi gue pemecah rekor sama perawan. Lu semua pada belum pernah, kan?" ejek Steven. Memang begitulah kenyataannya.

"Iya, deh. Kalau yang itu kita ngaku."

Dion berkata malas dan ingin sungkeman dengan temannya yang satu ini. Kalau perlu berguru, bagaimana caranya bisa mendapatkan pacar seorang perawan.

"Rasanya beda."

Semua terdiam, masing-masing membuang pandangan. Kalau sudah begini, mereka berempat merasa eneg dengan kelakuan Steven yang super kepedean.

"Lu boleh bangga dapet yang cakep bahenol di klub. Beda sama yang segel. Apalagi dia masih malu-malu. Gemes gue," lanjut Steven.

"Lah, napa jadi gue jadi mau," kata Arthur.

"Ah, banyak bacot. Lu kira, lu aja yang bisa dapet segel. Gue juga bisa."

Bisma terpancing emosi karena tidak terima, juga ingin membuktikan bahwa dia juga bisa.

"Yaudah, lu berani gak?" Steven menantang.

"Oke. Siapa takut!" jawab Bisma mantap.

"Wah, seru nih. Hadiahnya apaan?" Dave ikut menimpali.

"Kalau Bisma bisa dapetin tu cewek. Ambil nih punya gue." Steven meletakkan kameranya di meja.

"Oke. Tapi lu yakin dia masih segel?" tanya Bisma.

"Yakin gue." Steven memasang wajah serius dan meyakinkan.

"Kalau gak? Kita kan ga tau. Bisa aja muka polos tapi aslinya udah gak."

"Gini aja. Kalau emang dia udah gak segel, gue kasih lu tiket traveling ke Labuan Bajo. Kebetulan di travel Mama lagi ada promo."

Bisma mengangguk tanda setuju.

"Tapi kalau dia nolak lu, berarti gue yang menang. Lu bantu penelitian skripsi gue. Lu kan otaknya paling encer diantara kita berlima." Steven menepuk bahu Bisma.

"Gampang kalau skripsi itu. Gue punya udah kelar kok. Tinggal maju sidang."

"Nah, keren tuh. Tapi gue mau bukti. Kalau emang benar dia masih segel. Lu fotoin."

"Sip. Tapi gue gak buru-buru, ya. Mau gue pacarin dulu tuh cewek. Pengen ngerasain pacaran sama cewek model begitu. Gue belum pernah."

"Deal?"

"Deal!" Mereka berdua bersalaman.

"Eh, siapa namanya?" tanya Bisma penasaran.

"Celina Andini. Anak-anak manggilnya Celine."

Bisma tersenyum jumawa. Merasa dirinya yang akan memenangkan taruhan ini. Gadis polos begitu, pasti dengan cepat akan didapatkannya. Dia lupa, bahwa tak semua wanita bisa dipermainkan.

***

Lamunan Bisma terhenti saat terdengar suara telepon masuk. Kenangannya akan Celine dan masa-masa kuliah, tiba-tiba buyar saat melihat nama yang tertera di layar ponsel.

"Halo ..."

Bisma menjawab panggilan dari istrinya. Sudah beberapa bulan ini mereka menjalani long distance marriage.

"Mas masih di kantor?"

"Iya, Sayang. Kenapa?"

"Gak, cuma mau nelpon aja. Ngasih tau kalau Devan udah mulai masuk sekolah di sini. Play grup."

"Baguslah kalau begitu. Minta baby sitter-nya terus ngawasin, ya. Anak umur segitu, hati-hati jagainnya." Bisma berpesan.

"Mas jangan nakal ya selama aku pergi." Ada nada curiga dalam suara wanita itu.

"Enggak, lah. Jangan gitu sama suaminya," bisik Bisma mesra. Padahal dia telah merencanakan sesuatu untuk menjerat wanita lain.

"Yaudah, nanti aku telpon Mas lagi. Bubbye."

Sambungan telepon diputus. Bisma melipat kaki dengan tubuh yang bersandar di kursi. Tangannya terlipat di belakang kepala. Matanya terpejam, membayangkan semua hal yang sulit diterima dengan nalar. Hal-hal yang beberapa bulan terakhir ini telah terjadi.

"Apa yang sebenarnya telah kau lakukan?" Dia bertanya pada diri sendiri.

Hati kecilnya menjawab. "Aku akan memenangkan pertaruhan ini."