webnovel

Om Mas Ganteng

"Mas, hari ini aku mau ke toko, ya. Kasian mbak Yuni. Dia kewalahan menerima orderan kue. Untungnya waktu aku sakit ada tante Lily yang bantuin, jadi mbak Yuni gak keteteran terima pesanannya, dibantu kak Iman juga siih."

Bening berceloteh pagi ini. Seolah kejadian kemarin tak pernah terjadi. Seperti biasanya, ia menyiapkan dan membantu memakaikan baju kerjaku - mendandaniku. Sebelumnya aku merasa canggung karena terbiasa melakukannya sendiri. Namun, setelah menikahi Bening, aku bagaikan anak kecil yang hendak masuk TK, dia yang mengurusi semua keperluanku.

Entah sejak kapan dia mulai mengurusiku? Namun, seiring berjalannya waktu tanpa aku sadari dan hal ini sudah menjadi kebiasaanku. Dan aku...senang :)

"Mas?" Kegiatannya terhenti saat merapikan kemeja yang aku pakai. Ia menunduk, masih tak mau menatapku.

Ya, setelah mengizinkan Erina untuk tinggal di sini sementara, Bening malah terus saja menghindariku. Dia yang membolehkan, tapi dia sendiri yang merasa risau.

"Hm." Melingkarkan kedua tanganku di pinggangnya. Sengaja agar ia mendekat.

"Hari ini aku mau ke toko. Boleh, 'kan?" Berusaha melepaskan diri.

"Hm." Tak melepas pelukanku.

"Hm apa? Boleh apa nggak?" Salah tingkah tapi mulai merasa jengkel. Sebisa mungkin aku menahan diri agar tidak menyeringai karena menertawakan tingkahnya.

"Memangnya kalo gak boleh, kamu bakal nurut?"

"Mas...ih..." Menatapku dengan kesal, kemudian menunduk kembali. Melepas pelukanku padanya.

"Hm." Aku merasa sedih, kemudian beranjak mengambil jas kerjaku. Kali ini aku yang menghindarinya - kecewa, merasa diabaikan.

Tanggapanku memang menyebalkan. Walau baru sebentar menikahinya, tapi aku sudah tau bagaimana keras kepalanya istriku. Mau dilarang juga tetap saja dia akan pergi. Dan entah mengapa aku begitu malas hanya untuk bergerak sedikit saja saat ini. Yang ingin aku lakukan adalah terus berada di sampingnya dan memandanginya karena sejak kemarin, walau kami bercinta, istriku tetap menghindariku.

Bening merebut jas kerja yang hendak aku pakai. Masih tanpa mau melihatku, dia membantuku memakaikannya. Aku menatap wajahnya lekat-lekat. Please, look at me, sayang!

"Aku cantik ya, Mas?" Membenahi jas kerjaku.

"Hm." Tak melepas tatapanku padanya.

"Aku paling cantik di dunia ini, 'kan?" Mendongak menatapku dengan senyum manis yang jenaka. Ugh, hatiku lemah melihatnya seperti itu.

"Hm." Aku tau dia bercanda, tapi memang kamu paling cantik.

"Mbak Erina lebih cantik." Menunduk kembali.

"Hm."

"Dia yang paling Mas cintai."

"Hm. Hah? Apa?"

Sial, aku terjebak karena terlalu terbuai saat memandanginya!

"Sayang, maksud mas_" Ah, malah salah tingkah!

"Gakpapa, aku ngerti," pungkasnya.

"Lagipula, mbak Erina orangnya memang cantik, kok. Dan dari awal, Mas 'kan udah bilang kalo cinta Mas hanya untuk Mbak Erina. Aku gak pantas dan gak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan mbak Erina. Mungkin aku cuma sekedar upil di ujung jari bila disandingkan dengannya." Senyumnya dipaksakan.

"Udah selesai." menepuk-nepuk pakaianku.

"Om Mas Ganteng, siap bekerja," ucapnya dengan riang.

"Sayang." Menahan tangannya saat hendak meninggalkanku. Tanpa mau mendebat atau berkata lagi, aku membenamkan bibirku padanya. Memagutnya dengan sepenuh cinta.

Cinta? Apa benar ini cinta? Mengapa kata sakral itu terucap begitu saja dalam hatiku? Kata ini terasa lebih mudah dan terasa ringan jika aku ungkapkan padanya saat ini.

Ah, entah perasaan apa yang kurasakan saat ini. Yang jelas aku hanya menginginkannya - menginginkan istriku!

"Mas." Tangan Bening menahanku. Perlahan ia menjauhkan tubuhku dengan tangannya. Kegiatan ciumman panas yang aku lakukan padanya terhenti. Kenapa? Kenapa?

"Mas, nanti Mas berantakan lagi," ucapnya dengan nafas yang terengah. Ia tertunduk.

Aku mendongakkan dagunya. Membuat ia agar menatapku. "Mas gak peduli. Kalo harus berantakan, ada kamu yang membereskannya lagi." Menggesek bibirku pada bibirnya, lalu menciumnya kembali tanpa ampun.

Kali ini ciumman yang aku berikan semakin menuntut dan bergairah. Aku membawanya berjalan, ber-eksplore di ruang ganti. Mendorong serta menggiring Bening ke sana ke mari. Bahkan ketika tubuhnya sudah terpaku pada lemari pakaian, aku semakin merapatkan tubuhku. Sebelah tangan kugunakan untuk menopang tubuhnya yang lunglai. Memposisikan diri senyaman mungkin dengan mengangkat sedikit tubuhnya. Sebelah tangan lagi, jangan tanyakan apa yang sedang kulakukan. Cukup pria dewasa saja yang tahu. Yang jelas, bagian itu kesukaanku.

Tok tok

Ketukan di pintu membuyarkan suasana pagi yang sedang memanas ini. Awalnya kuabaikan ketukan itu dan kulanjutkan kesenanganku. Namun, ketukan itu ada lagi, membuat Bening benar-benar menjauhkanku. Aku menggeram kesal. Pasalnya apa yang ada di balik celanaku sudah meronta ingin keluar.

Masih dalam keintiman yang begitu dekat, aku tak melepaskan tangan yang sedang melingkari tubuh istriku. Dadaku yang naik turun karena hasrat yang memuncak dan rasa kesal menjadi satu-satunya hal yang paling bisa dirasakan oleh istriku. Aku menatapnya yang terus saja menunduk tanpa mau melihatku. Kenapa?

"Sayang..."

Nafasku terengah. Sungguh, aku ingin menuntaskan hasrat yang sudah memuncak ini. Kulit bahu putih mulus serta belahan dari bagian yang menonjol itu membuat aku tak tahan ingin menurunkan seluruh kain yang melekat pada tubuh istriku.

"Mas, itu sepertinya Mbok Narti mengajak kita untuk sarapan."

Bening mendorong tubuhku yang tak mau bergerak sedikitpun darinya.

"Mas."

"Yank..." Menempelkan hidungku pada hidungnya.

Tok tok

Ingin kubunuh orang itu saat ini juga karena terus mengganggu kesenanganku!

Si alan si alan si alan, aku terus mengumpat dalam hati.

"Mas..." Berusaha menjauhkanku.

"Ini gimana, Yank..." Sikapku manja dan memelas. Menaruh telapak tangannya pada masa depanku yang sudah siap terbang.

"Mas, ih!" Matanya melotot lalu memukul dadaku.

"Akh!" Berpura-pura kesakitan dengan tampang menyebalkan.

"Nyebelin!" Mencubit lenganku.

"Aww! Ih sakit ini, Yank..." Mengusap lenganku, pura-pura mencebik.

"Coba lihat yang sakitnya, Mas?" Panik mengusap bekas cubitannya.

"Cup cup cup...maafin adek kecil yang manis ini yaa Om Mas Guanteng...muah muah." Mengecup bekas cubitannya di tanganku. Kemudian kami tertawa.

Om Mas ganteng?

Ya, tak ada hal yang lebih membuatku lega dan bahagia karena melihat istriku tertawa dengan lepas seperti ini. Tak apa dia mau memanggilku semaunya. Tak apa jika aku kesakitan asal membuatnya tersenyum seperti ini. Entah berapa lama senyuman riang itu akan bertahan. Tapi sekarang, izinkan aku bersikap egois hanya untuk saat ini saja.

Aku hanya ingin melihat istri kecilku bahagia...

"Pantas saja kalian gak denger aku ketuk-ketuk pintu dari tadi. Rupanya kalian sedang bersenang-senang."

Erina muncul menginterupsi hal yang paling ingin aku lihat sejak kemarin - senyum dan candaan istriku. Entah sejak kapan Erina sudah berdiri menyender di ambang pintu masuk ruang ganti dengan melipatkan kedua tangannya di dada. Apa dia masuk kamar pribadi orang tanpa diberi izin?

Dan bodohnya kami yang selalu lupa untuk mengunci pintu.

Senyuman di wajah manisnya menghilang. Istriku kembali masam. Dengan tertunduk dan tak berani menatapku ia membenahi pakaian yang sebelumnya sudah tak berbentuk akibat ulahku. Tak lupa ia merapikan ikatan rambutnya yang sudah berantakan.

Tanganku bergerak, membantu merapikan rambutnya. Bila mengingat kata-kata Frendian kemarin, sikap posesifku muncul tanpa bisa dijaga. Apa dia melakukan hal yang sama seperti yang sedang aku lakukan? Tangan beddebah gila itu dengan kurang ajarnya menyentuh rambut istriku!

"Mas, biar aku aja. Ini sakit, Mas." Bening menahan tanganku. Tentu saja aku kesal, berani-beraninya ia menolakku! Suaminya?

"Kamu menolak saya membantu mengikat rambut, tapi kamu membiarkan tangan pria lain menyentuh rambutmu," desisku perlahan tanpa mempedulikan protes dari Bening yang sedang merasa kesakitan akibat ulahku yang dengan kasar mengikat rambutnya.

"Iya tapi, Mas. Aww!" Bening memekik lalu reflek memukul tanganku dengan keras. Sejenak aku tertegun. "Sakit ini, Mas!" mengusap rambut kepalanya.

"M-maaf, Yank," sesalku kemudian.

"Maafin, mas." menepis tanganku yang hendak menyentuh rambutnya.

"Sini, mas lihat!" Memaksanya mendekat ke arahku.

"Mmuah, maafin mas ya..." Mengecup bagian rambut kepalanya yang sakit.

"Mmuah." Kali ini keningnya.

"Mas, ih!" Melototiku kemudian ia tersenyum malu.

"Ehem. Sepertinya aku menganggu kalian," sahut Erina membuyarkan kegiatan kami.

Sejenak aku lupa bahwa ada perempuan yang dulu aku cintai sedang berdiri di sana. Bersama Bening membuat aku lupa akan keadaan di sekitarku.

"Pagi, Mbak." Bening menyapa Erina.

"Mbak, udah sarapan?"

"Kamu pikir aku ke sini mau ngapain?" Erina menghampiri diriku. Lalu dengan sengaja menjauhkan Bening dari sisiku.

"Kamu mau bekerja?" Merapikan pakaianku.

Aku muak, tapi mengapa aku tak bisa menghindar.

"Aku bantu mbok Narti menyiapkan sarapan dulu." Bening pergi. Meninggalkan aku dan Erina dalam kecanggungan.

***

EPILOG

Siapa yang takkan menciut hatinya ketika wanita yang dicintai oleh suami kita sendiri tiba-tiba hadir dalam keadaan di mana kami - aku dan Mas Aslam sedang dalam masa berbahagia.

Ya, menurutku saat ini hidupku berbahagia.

Selain menjadi istri yang sesungguhnya, Tuhan juga berbaik hati dengan menurunkan anugerah-NYA padaku berupa titipan kehidupan yang sedang bertumbuh di rahimku.

Sudah seminggu semenjak aku mengetahui kehamilanku. Dan aku masih belum memberitahukan Mas Aslam. Semoga dokter Baskoro dan juga Bang Iyo belum memberitahukannya.

Aku tak ingin memberitahukan Mas Aslam soal kehamilan ini. Ketika aku sakit saja mas Aslam begitu menjagaku, bagaimana kalo dia tau aku mengandung anaknya?

Aku percaya jika Mas Aslam pasti akan menerima anak ini. Tapi aku tak mau perhatian Mas Aslam tersita hanya karena terus mengasihiku yang sedang mengandung anaknya.

Aku tak ingin mengambil cintanya dari Mbak Erina. Karena kebahagiaan Mas Aslam adalah bersatu kembali dengan cintanya.

Dan sekarang, hal yang benar-benar tak ingin terjadi harus terjadi. Suamiku memeluk seorang wanita yang sudah hampir satu tahun lebih ini ia tunggui. Dan satu hal lagi, ada seorang pria yang tak tau diri terus mengganggu dan bersikap kurang ajar padaku. Pria itu ternyata mengantarkan wanita yang dicintai suamiku ke rumah kami. Mbak Erina tinggal di rumah karena satu dan lain hal yang membuatnya ia tinggal bersama kami.

Apakah Mas Aslam memang se-cinta itu padanya? Sehingga ia tidak menolak atau menyanggah ketika aku mengizinkannya untuk tinggal bersama kami? Kenapa Mas Aslam diam saja? Ingin rasanya aku mengutarakan ketidaksukaanku ini.

Hp-ku bergetar. Kulihat nama Mama Eugene dalam panggilan video. Cepat-cepat aku mengusap air yang tak berhenti menetes dari mataku, lalu memasang senyuman bahagia dari wajahku di depan layar hp.

"Hai, Ma..." Aku melambaikan tangan.

"Hai, mantu kesayangan mama!!" Kiss jauh. "Nî hâo ma, Sayang? Uuh...mama *hên xîang nî..."

*merindukanmu

Mata mama berkaca haru. Membuat aku ingin meneteskan air mata kembali.

"Xîang nî...Mama..." Aku tercekat. Rasanya benar-benar ingin menangis saat ini juga.

"Hei, Sayang. Kenapa kamu menangis?" panik mama.

Ya, aku tak bisa menahan buliran air mata yang jatuh begitu saja.

"Gakpapa, Ma. Aku hanya sangat merindukan mama..."

"Jangan bohong! Apa suami tuamu itu nyakitin kamu?"

"Nggak, Ma...Aku..."

Dor dor dor

"Sayang, are you oke?! Kenapa lama banget kamu di dalam? Kamu lagi ngapain? Yank?!"

Suara gedoran serta panggilan mas Aslam yang ke sekian kalinya di depan pintu kamar mandi menyita obrolanku bersama mama.

TBC

Next chapter