13 perjanjian kontrak.

"Apa buktinya jika itu anak saya?" desak Billy. Jesica tidak bergeming. Dai tidak bisa mengatakan kepada Billy jika malam itu terjadi sesuatu antra mereka.

"Apa yang terjadi malam itu?" langkah Billy semakin dekat dengan Jesica yang duduk di ujung tempat tidur itu.

"M-malam itu?" ulang Jesica.

"Ya! Malam itu. Di kamar ini!"

"Kenapa lo nggak berusaha pergi? Kenapa lo tetap di kamar ini?"

"Jadi…"

"Ya! Gue tahu semuanya. Alasan lo resign, dan kejadian malam itu."

"Lalu, kenapa anda melakukan itu?" Jesica memicingkan matanya menatap Billy penuh selidik. Billy tahu maksud dari sorot mata JEsica mengira dia sengaja melakukannya.

"Gue nggak tahu pasti." Billy menarik wajahnya menjauh dari depan wajah Jesica dan mengingat kejadian malam itu.

"yang jelas elo hanya ounya dua pilihan," kata Billy.

"Apa?"

"Yang pertama, elo tetap menjalani hidup elo bersama kandungan elo. Gue juga nggak peduli itu anak mau elo apain."

"Yang kedua, elo bisa menikah sama gue untuk menutupi aib elo, asal dengan satu syarat…,"

"pernikahan ini hanya untuk Sembilan bulan!"

Deg!!!

Jesica di antara dua pilihan yang tidak bisa dia tentukan dalam waktu yang singkat. Jika Jesica memilih tetap bersama kandungan ini tanpa suami, dia akan membuat ibunya kecewa. Tapi jika dia menikah dengan Billy hanya sembilan bulan, maka dia kan menjadi janda dan akan tetap menjadi beban pikiran ibunya.

"Gimana?"

"Beri saya waktu," pinta Jesica.

"Baik, besok pagi saya akan datang untuk mendengar keputusanmu."

Jesica menatap punggung pria yang berjalan keluar dari kamar itu dengan tatapan penuh kebencian. Rasa kesal dan benci pada sosok Billy membuat Jesica hilang akal. Seharian dia tak bisa makan dengan benar, bahkan hingga sore telah tiba. Matahari mulai meredup, Jesica tidak beranjak dari atas kasur.

Tok… tokk…

Pintu kamarnya di ketuk oleh seseorang. Jesica tidak menyaut. Ia tidak ingin bertemu dengan siapapun. Tapi, suara ketukan pintu itu membuat Jesica merasa terganggu. Mau tidak mau Jesica harus tetap membuka pitu itu dan melihat siapa yang dari tadi mengetuk pintu kamarnya.

"Si…." Kalimatnya terputus ketika dia melihat sosok wajah damai milik Robin.

"Pak. Ada apa?" tanya Jesicda dengan menyeka sisa air mata yang masih ada di pipi dan pelupuk matanya.

"Boleh saya masuk?"

"Silahkan," kata Jesica.

Untuk beberapa saat mereka terdiam tanpa ada satu suarapun. Jesica enggan bertanya lebih dulu, sedangkan Robin bingung ingin memulai pembicaraan dari mana. Akhirnya Jesica memulai pembicaraan karena dia penasaran dengan kedatangan Robin.

"Ada perlu apa anda datang kemari?" tanya Jesica.

"Aku membawa makanan untukmu," jawab Robin.

"kalau di luar kantor tidak perlu memanggil saya dengan sebutan Pak lagi. Biasa kamu panggil saya nama saja," kata Robin.

"Tidak, sepertinya itu terlalu lancing."

"Terima kasih atas makanan ini. Seharunya anda tidak perlu seperti ini," kata Jesica dengan ketus.

Robin mengerti perasaaan Jesica saat ini. Sehingga dia tidak mengambil hati raut wajah Jesica yang sanagt masam itu. Robin memberikan sejumlah uang kepada Jesica untuk bertahan hidup bebrpa hari, dia tahu jika Jesica sedang menunggu penembalian dana tiket pesawatnya.

"Inia da sedikit uang untuk kamu beberapa hari kedepan," kata Robin seraya menyodorkan sejumlah uang.

"Tidak perlu, pak. Anda sudah terlalu baik dengan saya," tolak Jesica.

"Ambil saja," paksa Robin. Karena Jesica sedang malas berdebt ia menerima uang itu agar urusan dengan Robin segera selesai.

"Saya harap kamu mengambil keputusan yang tepat untuk kandungamu dan dirimu sendiri,' kata Robin seraya berdiri dari tempat duduknya.

"Kalu begitu saya pergi dulu, jaga kesehatanmu." Robin segera meninggalkan kamar 102 itu. Jesica tidak mengantar Robin. Dia mulai memikirkan perkatan Robin yang terakhir.

Malam telah tiba, Jesica yang baru saja selesai mandi melihat kearah kasur yang sedaritadi dia gunakaan seketika matanya bergetar melihat bayangan yang terjadi malam itu.

"Hal yang paling bodoh yang aku lakuin dalam hidup," gumam Jesica dengan mata penuh dendam.

Sosok lembut pada diri Jesica kini telah hilang. Hatinya di penuhi rasa benci dan dendam kepada Billy. Pria yang angkuh dan tidak memiliki hati, itulah pendapat Jesica terhadap Billy. Jesica memilih tidur di sofa mala mini. Badannya terasa sakit dan pegal tanpa menyentuh makanan sedikitpun dari Robin, Jesica segera memejamkan matanya berharap esok hari dia menjadi lebih baik. Meskipun dia masih bingung dengan keputusan yang hendak dia ambil.

****

Sebuah gedung yang tinggi. Aula di lengkapi interior nuansa putih, Jesica berdiri dengan gaun berwarna putih kombinasi biru. Dengan anggun dia menunggu seseorang datang. Langkah kecilnya Jesica terhenti ketika dia melihat sosok pria dengan jas berwarna abu-abu berjalan mendekatinya. Karena sorot sinar lampu membuat pandangan Jesica sedikit terhalang, dia tidak bisa melihat dengan bebas wajah pria itu. Dengan langkah penuh penasaran Jesica berjalan kearah pria itu juga, Namun….

Brak….

Jesica terjatuh dan membangunkan dari tidurnya, dia membuka mata, melihat sekitar. Dia masih berada di dalam kmar 102. Ia menoleh jam dinding yang masih menujukkan pukul satu malam. Jesica mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangnnya.

"Mimpi macam apa itu," gumam Jesica.

"Huft…." Hela napas Jesica. Jesica menjadi susah tidurlagi. Dia memilih menikmati pemandangan malam di balkon kamarnya. Kelap-kelip lampu yang bisa dia lihat dari ketinggian membat hati Jesica lebih baik. Ia menunggu matahari menunjukkan pesona dan segera bertemu dengan Billy. Dia tidak terlalu memikirkan mimpi itu. Baginya itu hanya mimpi tidur dan tidak memiliki arti apapun.

Saking tenangnya dia menikmati malam, tanpa sadar langit mulai terang. Ia mulai menyiapkan diri untuk bertemu Billy. Dia ingin masalah ini segera menemukan solusi. Jarum jam seakan berputar dengan cepat. Dia mendengar sayu-sayup suara dari luar kamarnya.

Tok…tok…

Suara ketukan pintu kamarnya yang telah dia duga. Ia dengan langkah tegas membuka pintu itu. "Loh! Kok pak Robin?" tanya Jesica dalam bingungnya.

"iya. Mari ikut saya."

"Kemana? Kenapa tidak disini saja?"

"Pak Billy sudah menunggu dibawah."

Jesica tidak memiliki pilihan lain. Dia mengikuti langkah kaki Robin yang menyusuri koridor dan menuju ke sebuah lift. Hingga akhirnya lif terbuka mereka berada di lantai yang hanya untuk sebuah restoran.

"Silahkan duduk," kata Robin yang menarik kursi untuk Jesica. Jesica tertegun karena di meja itu tidak hanya ada Billy. Melainkana ada sepasang laki-laki dan perempuan disana.

"Kamu Jesica?" tanya perempuan yang duduk di samping Billy.

"I-iya," jawab Jesica dengan gugup.

"Saya Wanda admadja, mama dari Billy."

"Tidak perlu bertele-tele, saya ingin kamu gugurkan anak itu!"

DEG!!!

Mata Jesica bergetr seketika saat mendengar ucapan ibu dari Billy. Ia tidak percaya mereka akan melakukan itu. Belum sempat Jesica menjawabnya. Wanda memberikan amplop coklat di depan Jesica.

"Disini ada serratus juta, itu sudah cukup untuk menggugurkan anak itu," kata Wanda. Jesica masih tidak bergeming. Dia menahan air mata yang akan jaruh dari matanya.

"Kenapa? Masih kurang?"

"Ini ada seratus juta lagi," ucap Wanda seraya memberikan satu amplop coklat lagi. Jesica tidak bisa menerima ini.

"Maaf, saya tidak bisa menerima ini," tolak Jesica seraya mengembalikan kedua amplom itu.

"Lalu?"

"Saya tidak mau anak ini di gugurkan begitu saja. Toh ini juga anak pak Billy.," kata Jesica dengan tegas.

"Tidak! Itu belum tentu anak dari Billi. Mana mungkin anak saya memiliki keturunana dari orang seperti kamu," maki Wanda.

"katakana saja apa maumu," Ronald Admadja, ayah dari Billy. Dia terlihat lebih tegas dan bijaksana.

"Saya mau pak Billy tetap tanggung jawab," jawab tegas Jesica.

"bukankah kemarin pak Billy sendiri uang memeberikan tawaran kepada saya?" Jesica menoleh kearah Billy yang sedari tadi diam tak mengatakan apapun.

"Iya. Tapi saya mau menikah hanya sembilan bulan saja," sahut Billy.

"dengan syarat, lo nggak boleh ikut campr urusan gue, tidak boleh bayak menuntut, dan elo harus nurutin apapun yang gue mau," jelas Billy.

"Deal!" Jesica menyetujuinya dengan cepat. Dia mempunyai rencana lain di balik pernikahan kontrak ini.

"Tapi ingat, jangan sampai ada orag lain tahu. Katakan saja kamu sudah menikah dan suamimu pergi ke luar kota," kata Ronald.

"Baik, dengan satu syarat saya bisa kembali bekerja di perusahaan anda."

Semua setuju karena dengan begitu mereka lebih gampang mengawasi gerak Jesica.

avataravatar
Next chapter