14 Keputusan

Setelah mereka menandatangi kontrak pernikahan Jesic dan Billy. Masing-masing membawa Salinan kontrak itu. Jesica di antarkan Robin kesebuah rumah yang akan di tinggalinya. Dalam perjalanan Jesica memikirkan caranya memebritahukan Ibunya tentang hal ini.

"Rumah siapa ini?" tanya Jesica dengan nada datar.

"Rumah yang akan kamu tinggali," jawab Robin seraya membuka pintu untuk Jesica.

"Saya tidak mau tinggal disini."

"Tenang saja, Billy tidak tinggal disini." Robin seakan tahu arti penolakan yang di lakukan leh Jesica. Dia tidak mau satu rumah dengan Billy sebelum menikah. Bahkan sesudah menikah pun seolah wajah Jesica tidak ingin betemu dengan Billy. Robin masih menebak apa tujuan Jesica mau menikah kontrak dengan sepupu sekaligus yang menjadi atasannya tersebut.

Jesica tidak mengatakan apapun setelah memasuki rumah. Dia seolah menjadi orang yang dingin.

"Hubungi saya kalau kamu butuh sesuatu," kata Robin kepada Jesica setelah mengatar Jesica masuk menunjukkan ke kamarnya. Jesica tidak meyahutinya. Dia hanya menatap datar wajah Robin hingga membuat wajah pria itu mejadi kikuk dan memilih pergi.

"Gadis yang polos kini menjadi singa betina," gumam Robin seraya bejaln menuju mobilnya seraya membayangkan wajah Jesica yang sangat garang.

Jesica hanya termenung melihat pepohonan yang ada di taman samping rumah itu dari jendela kamarnya. Dia tidak ingin melakukan apapun saat ini. Jesica memilih mengatakan kepada Ibunya akan pernikahannya yang akan di lakukan dalam minggu ini. Menunggu panggilan di jawab oleh adiknya, mata Jesica bergetar. Sebuah cairan bening bersarang di ujung matanya.

"Hallo, mbak!" seru Bimo yang terlihat sangat antusia dengan menjawab panggilan dari kakaknya.

"Bim!" panggil Jesica dengan nada bergetar ia menahan tangis karena memikirkan perasaan ibunya nanti saat tahu dia akan menikah karena dirinya sudah hamil.

"Mbak, mbak nggak apa-apa kah? Lagi sakit?" tanya Bimo degan khawatir saaat mendengar kakaknya berbicara dengan suara yang serak dan sedikit begetar.

"Enggak kok, Bim. Mbak baik-baik saja," jawab Jesica seraya meyakinkan adiknya agar tidak terlalu khawatir dengan dirinya.

"Ibu mana, Bim?" tany Jesica saat tidak mendengar suara ibunya di sekitar Bimo.

"Ada, mbak. Aku panggilin dulu.

Bimo terdengar sedang berjalan menghampiri Ibunya. Dan tak lama Jesica mendengar suara Ibunya secara samar-samar.

"Jes!" panggil Dewi ketika anak laki-lakinya mengatakan kalau anak sulungnya mencarinya.

"Ibu," sahut Jesica yang mlai tidak bisa menhana emosinya. Dia ingin sekali mennagis di pelukan ibunya hanya saja jarak yang memisahkan mereka tidak bisa dia atasi.

"Jes, kamu nggak apa-apa kan?" tanya Dewi dengan panik ketika mendengar suara anaknya sedikit sendu .

"Enggak, bu." Jesica mencoba mengontrol dirinya. Namun, hati seorang ibu tidak bisa di bohongi.

"Jes, kamu kenapa?" desak Dewi.

"Bu, kalau Jesi nikah dalam waktu dekat gimana?" tanya Jesi.

"Kamu mau menikah? Sama siapa?" tanya balik Dewi ketika merasa janggal dengan pertanyaannya anaknya tersebut.

"Iya bu, ada cowok yang mau serius sama Jesi, tapi dia nggak bisa nunggu lama-lama soalnya dia kerjanya luar kota terus. Bahkan luar negeri," jawab Jesi.

"Siapa nak?" tanya Dewi.

"Ada bu, asli Jakarta."

"habis nikah kamu di tinggal pergi begitu?"

"Sebenarnya dia menwarkan diri untuk mengajak Jesi bu, tapi jesi nggak mau. Aku nggak mau jauh dari ibu kalau di luar negeri."

"Ibu serahkan semuanya sama kamu, asalkan dia baik."

"Dia baik banget kok, bu." Jesi terpakasa membohongi ibunya karena dia tidak mau membuat ibunya khawatir dengan keadaanya yang sedang hamil.

"Memangnya kapan mau menikahnya?" tanya Dewi.

"Minggu depan," jawab Jesi dengan lirih.

"Ha! Minggu depan? Apa nggak terlalu cepat nduk?"

"Enggak, Bu. Kita kenal sejak Jesi di Jakarta."

"ya sudah kalau kamu memang mau menkah ya silahkan. Asal kamu bahagia ibu juga bahagia," kata Dewi dengan lembut.

"Bu, Jesi ke kamar mandi dulu."

Tangis Jesi tumpah ruah ketika panggilnya dengan Ibunya ia kahiri. Begitu pula dengan dewi, dia merasa ada yang aneh dengan anak perempuannya. Bimo yang melihat raut wajah ibunya berubah menjadi khawatir setelah panggilan tersebut berkahir segera mendesak Ibunya untuk mengatakan yang sebenarnya.

"Maafka Jesi, Bu. Jesi sudah gagal menjaga kehormatan ini. Jesi sudah gagal memenuhi harapan kalian," kata Jesi di tengah tangisnya.

Tingtong ….

Tangis Jesica terhenti dan menyisakan sesak di dada ketika mendengar suara bel rumah itu berbunyi. Jesica segera menuruni anak tangga dan membuka pinti utama rumah itu. Tidak lupa ia menyeka sisa air matanya.

"Tante!" kata Jesica dengan terkejut saat melihat Wanda berdiri di depan rumah itu dengan wajah garangnya.

"Kenapa? Terkejut?" tanya Wanda dengan angkuhnya.

"T-tidak," jawab Jesica dengan gagap.

Wanda berjalan mengelilingi rumah itu. Ia nampak memperhatikan setiap celah yang ada di rumah itu Jesica yang melihatnya mengira wanita itu sedang mencari sesuatu, "Tante cari apa?" tanyanya.

"Tidak, aku hanya memastikan kamu tidak membawa barang apapun nantinya setelah keluar dari sini," jawab Wanda. Mendengar itu Jesica sangat geram.

"Karena rumah ini di penuhi barang mewah bisa saja kan kamu bawa barang saya," imbuhnya.

"Kamu disini tidak perlu membayar sewa. Kamu hanya perlu membersihkan rumah ini dan menenjaga harta saya," kata Wanda.

Jesica benar-benar tidak mnjawab sepatah kata pun. dia menahan emosi terhadap wanita itu. Rasa benci semakin besar. Tidak ada niatan lain bagi Jesica menikah dengan Billy. Dia hanya tidak mau Ibunya merasa malu karena dirinya yang hamil di luar nikah. Dengan menikahnya dirinya dan Billy setidaknya jika saudara, teman bahkan tetangganya tahu perihal anaknya kelak, semua tahu bahwa Jesica pernah menikah. Untuk bercerai setelah melahirkan itu tidak penting bagi Jesica.

Hati yang masih terluka seakan di siram oleh cairan garam dari mulut wanita paruh baya yang akan menjadi mertuanya. Setiap ucapan berhasil menembus kegigihan yang di bangun oleh Jesica. Setiap tatapannya membuat Jesica menambah kadar kebencian yang tertanam di lading hatinya.

Wanda yang abru saja datang belum ada tiga puluh menit itu tiba-tiba beranjak dari tempat duduknya dan mengahampiri Jesica yang masih menunduk , menahan air matanya.

"Uang dua ratus juta masih berlaku jika kamu mau meninggalkan Billy atau mengugurkan kandungan itu," bisik Wanda. Jesica mengankat kepalanya menatap tajam kearah Wanda. "Saya tidak mau!" jawab tegas Jesica.

Wanda hanya mengangkat kedua bahunya dan meninggalakn rumah itu stelah puas melontarkan kalimat yang membuat gadis itu bersedih dan merasa tertekan. Wanda melakukan itu karena ia berharap Jesica akan mengubah keputusannya karena tekanan batin yang di berikan Wanda padanya. Jesica hanya menatap benci punggu wanita lima puluh tahun itu. Mata yang nanar akhirnya mengeluarkan butiran cairan bening.

avataravatar
Next chapter