12 Kamar 102

Malam telah tiba, Jesica gagal terbang ke surabya karena cuaca yang sangat buruk. Dia harus lebih lama lagi berada di jakartal menunggu tiket selanjutnya. Dia bukanlah orang kaya yang bisa mengganti yiket sesuka hatinya danmerelakan uangnya begitu saja. Bagi anak rantauan seperti Jesica uang satu juta bisa bertahan hidup berminggu-minggu. Dia harus menunggu tiket selanjutnya atau menunggu pengembalian dana.

Tiba-tiba Jesica ingin makan sesuatu, dia berjalan seorang diri menyusuri jalan menuju sebuah deretan ruko yang tak jauh dari kos barunya. Banyak oaring disana, sedang makan, minum maupun hanya berbincang-bincang. Jesica tidak peduli. Dia hanya ingin memebeli satu porsi bakso.

"Terima kasih," kata Jesica seraya memberikan selembar uang kepada pedagang bakso itu.

Saat perjalanan pulang, Jesica merasa ada yang mengikutinya. Dia menoleh kebelakang, tapi tidak ada orang yag berjalan di belakangnya. Yag ada hanya orang-orang yang sedang bergerombl di sisi jalan. Dengan jalan cepat Jesica segeramenunggalkan tempat itu dan masuk kedalam kamarnya dan menguncinya.

Jesica menyantap makanan yag dia beli dengan nikmat, meskipun sebenarnya Jesica idak napsu makan, tapi dia mengingat kini dia sedang mengandung. beberapa kali melihat kearah jendela. Ia takut jika memang ada orang yang mengikutinya. Kali ini jika ada apa-apa pada dirinya dia tidak bisa meminta tolong siapapun. Karena akses semua temannya telah dia blokir. Hingga larut malam Jesica terjaga. Dia selalu di bayangi kejadian malam itu.

***

Malam berganti pagi, Gelam berganti terang, kehidupan tetap belanjut. Jesica menatap nanar kearah matahari yang masih malu menujukkan pesona hangatnya di pagi hari. Padatnya kota Jakarta membuat suara hiruk pikuk mewarnai semua suasan pagi. Lalu lalang mobil, motor dan angkutan umum sudah menjadi makan biasa. Suara pesawat terbang juga menjadi ciri khas tempat tinggal barunya.

Tok… tok..

Suara pintu kamar Jesica di ketuk dari luar, baru saja dia masuk dan duduk.

"Selamat pagi," sapa segerombolan pria dengan badan kekar berdiri didepan kamar kosnya.

"Pa-pagi," sahut Jesica dengan gugup.

"Dengan nona Jesica almaira?" tanya salah satu pria yang berdiri di depan kamarnya itu.

"B-benar. K-kalian siapa?" tanya Jesica dengan memegang pintu dengan kuat. Berjaga-jaga kalau terjadi sesuatu.

"Mari ikut saya, Bos ingin bertemu."

"Bos? Siapa?"

"Saya!" suara pria yang tidak asing di telingnya muncul dari belakang kerumunan itu.

"Pak Robin!" gumam lirih Jesica yang terkejut dnegan kedatangan Robin secara tiba-tiba.

"Bagaimana anda bisa disini?" tanya Jesica. "Ups, pertanyaan apa itu, dia kan bos bisa saja dia menemukanku meskipun aku di bawah lorong tikus," batin Jesica setelah melontarkan pertanyaan konyol.

"Apa anda ada waktu?" tanya Robin

"A-ada," jawab Jesica dengan gugup.

"Bisa anda ikut saya sabentar?" tanya Robin dengan formal. Kelapa Jesica mengangguk begitu saja, menenatng kata hati yang ingin menolaknya. Melihat Robin formal dan sangat gagah membuat Jesica tidak bisa membuka mulut untuk menolaknya.

"Mari ikut saya," ajak Robin.

Jesica berjalan di belakang Robin dan di ikuti segerombolan pria tadi. Dia merasa seperti penjahat yang tertangkap. Jesica tidak bisa bergerak sedikitpun. Ia di giring masuk kedalam mobil hitam yang sudah terparkir di depan kamr kosnya.

"Kita mau kemana?" tanya Jesica.

"Ikut saja, saya kan jamin keselamatanmu," jawab Robin.

Jesica memilih diam dan memainkan jari-jarinya untuk menghilangkan rasa gugup dan cemas di hatinya. Tiga puluh menit kemudian Jesica sampai di hotel yang di guakan jamuan waktu itu. Seketika bayangan itu muncul di pikirannya. Matanya mulai bergetar dan nanar melihat tulisan Hotel Sky yang terpamoang nyata di bagian depan.

"Kenapa?" tanya Robin yang melihat Jesica tertegun menantap tulisan di dalam hotel itu.

"T-tidak," sahut Jesica dengan gugup. Ia menyeka air matanya yang memupuk. Robin yang melihat itu, memilih pura-pura tidak melihatnya.

"Ayo!" ajak robin.

Mereka berjalan menyusuri lorong yang sangat Jesica kenal dan ingat. Robin berhenti tepat di depan pintu kamar nomor 102. Kamar yang di gunakan Jesica dan Billy waktu itu. Jesica merasa ada yang tidak beres. Hanya saja dia memilih diam.

Set….!!

Pintu kamar itu terbuka, Jesica tertegun dan lagi-lagi matanya berkaca-kaca. "Sialahkan masuk," kata Robin. Jesica masih diam tidak bergeming. Dia tidak percaya akan kembali kekamar ini lagi.

"Pak, bisa anda katakana ada apa ini?" tanya Jesica yang masih berdiri di depan kamar itu.

"Ada pekerjaan yang tidak bisa kamu tinggal sebelum kamu benar-benar resign," jawab Robin.

Robin berjalan masuk kedalm kamar itu. Jesica mengikuti langkah kaki Robin meskipun berat. Jesica melihat sekeliling tidak ada yang berubah. Dia duduk di ujung sofa yang mengingatkan kejadian waktu itu. Jesica dan Robin mendengar suara langkah kaki seseorang yang semakin dekat. Dan benar saja, Billy memasuki kamar itu dan melihat ada Jesica dan robin di sana. Jesica berdiri dengan cepat melihat wajah pria yang telah meghancurkan harapannya dan keluarganya.

"Lo keluar aja," kata Billy kepada Robin.

"Loh… loh… kok di suruh keluar pak Robinnya?"

"Karena urusan lo sama gue," kata Billy dengan angku.

"Oke gue keluar, tapi elo jangan macam-macam."

"Dih, elo berani ngancem gue."

Hati yang sudha di kuatka beberapa hari ini mejadi tergoyah karena melihat wajah Billy. Billy dengan wajah sombongnya duduk didepan Jesica. Jesica mencoba tenang dan diam di depan Billy.

"Apa ini alasan lo resign?" tanya Billy.

"S-saya mau ke Surabaya," jawab Jesica.

"kenapa? Bukanya lo harus bekerja demi keluarga?"

"Iya, tapi saya harus pulang."

"Elo bisa cuti."

"tidak, saya butuh waktu yang lama disana."

"Apa ada alasan yang kuat?"

"ya contohnya elo mau menikah, atau elo hamil."

Deg... mendengar kata hamil Jesica mengangkat matanya menatap tajam kearah Billy. "Kenapa?"

"Elo mau menikah? Atau elo hamil?"

"Cukup, Pak!" benta Jesica.

"Ya! Saya hamil tapi saya tidak menikah." Jesica geram dengan pertanyaan Billy eolah mengejeknya.

"Kenapa? Bukannya kalau orang hamil harus menikah? Apa kamu tidak tahu bapak anak itu?"

"Kenapa anda peduli?"

"Saya hanya memastikan kamu keluar dari kantor saya tidak membawa aib yang membuat perusahaan saya tercoreng," jawab Billy.

Jesica membulatkan matanya dan menatap Billy dengan tatapan penuh kebencian. "Ini anakmu! Ini anakmu, bodoh!" batin Jesica yang tidak bisa dia ungkapkan.

"Siapa ayah dari anak itu?"

"Apa dia orang di kantorku?"

"Atau klien ku?"

"atau orang lain?"

Billy mendesak Jesica agar mengungkapkan kebenarannya dengan sendirinya. Dia memancing Jesica untuk marah agar semua yang dia rasakan keluar dari mulutnya.

"Anda yakin mau tahu ayah anak ini?" tanya balik Jesica dengan menyeka air mata yang metes di pipinya.

"Ya… karena lo masih bagian dari perusahaan," jawab Billy dengan tenang,

"Ayah anak ini adalah…. ANDA!!!"

"Andalah yang menodai saya, andalah anak dari anak ini!" maki Jesica dengan mendorong keras tubuh Billy

avataravatar
Next chapter