2 Berangkat ke Jakarta.

Satu minggu berlalu, tiba saatnya Jesica harus pergi ke Jakarta.

"Jes, ingat kamu harus hati-hati disana. Jangan sembarangan kenal sama orang ya," kata Dewi yang mengantar Jesica hingga bandara. Jesica menahan air matanya higga tak mampu berkata-kata. Bimo yang berdiri di belakang Dewi tidak lupa memberikan semangat kepada kakaknya.

"Ibu jaga diri baik-baik ya." suara Jesica sangat terdengar kalau dia sedang menahan tangis.

"Bim, kamu jangan lupa kasih kabar aku kalau ada apa-apa," kata Jesica kepada Bimo.

"Iya. Mbak," sahut Bimo.

Jesica segera menoleh kearah papan pengumuman yang menunjukkan penerbangannya akan di lakukan sepuluh menit lagi.

"Bim, Bu. Jesi berangkat dulu ya," kata Jesi seraya mencium punggung telapak tangan dan kedua pipi ibu dan adiknya secara bergantian.

Sebelum memasuki pesawat, Jesica mengirim pesan kepada pemilik kartu nama tersebut.

"Pak Eko, saya sudah di bandara dan akan berangkat ke Jakarta," tulis Jesica melalui pesan singkat.

"Baik, akan saya tunggu di bandara," jawab Eko dengan pesan singkat. Jesica memiliki rasa takut saat hendak berangkat. Dia takut jika semua ini hanya tipuan. Sedangkan dia tidak memiliki saudara di Jakarta. Namun, rasa takutnya kalah dengan tekadnya yang ingin membantu ekonomi Ibunya. Masa depan yang cerah untuk adiknya menjadi salah satu alasan Jesica.

Satu jam perjalanan lebih perjalanan yang di tempuh Jesica untuk sampai di bandara Soekarno-Hatta, Jakarta. Sesampainya di bandara Jesica cukup lama menunggu sosok bernama Eko tersebut. rasa takut langsung menyelimuti hati Jesica saat melihat sekeliling nampak sangat asing, waktu terasa sangat lama. Sedangkan yang dia tunggu tak kunjung datang. Berulang kali mencoba telepon dan mengirim pesan, akan tetapi tidak ada jawaban dari orang tersebut. Jesica juga mengirim gambar dirinya dan posisi ia duduk agar orang tersebut dapat menemukannya dengan cepat. Tapi, hampir tiga pulih menit Jesica menunggu dia tidak mendapatkan jawaban orang tersebut. Sedangkan Jesica sedikit lupa dengan wajah pria itu.

"Jesica ya," tegur pria berkaca mata itu.

"I-iya," sahut Jesica dengan ragu.

"Maaf, tadi macet. Terus hp saya ketinggalan," kata pria itu.

"Iya-iya, nggak apa-apa." Jesica dengan tergopoh-gopoh segera berdiri setelah mengingat wajah pria itu.

"Ya sudah, ayo." Pria itu mengajak Jesica keluar dari bandara. Ia juga membantu Jesica membawa koper miliknya.

Jesica mengikuti langkah kaki pria bernama Eko tersebut. Jesica di arahkan ke mobil yang berwarna hitam itu. Jesica dengan hati-hati masuk kedalam mobil itu.

"Kamu kabari dulu ibu kamu, kasih tahu nomor mobilnya," kata Eko seakan tahu apa yang ada di pikiran Jesica.

"Enggak, bukan begitu maksud saya," kata Jesica karena merasa tidak enak.

"Nggak apa-apa," sahut Eko dengan ramah. Dia memang jauh lebih tua dari Jesica, sehigga tidak salah jika dia bersikap lebih desawa ketimbang Jesica.

Jesica mengurungkan niatnya untuk menelepon ibunya. Dia memilih duduk diam di dalam mobil dan mengikuti arah mobil itu membawanya pergi. Semua nampak sangat asing bagi Jesica. Semua di kelilingj gedung bertingkat dan menjulang tinggi. Mobil lalu lalang membuat jalanan nampak semerawut, Bahkan beberapa meter didepan sudah terlihat sangat macet. Seketika Jesica mengerti apa penyebab pria yang sedang mengemudi itu telat menjemputnya. Rasa takut berangsur-angsur hilang, Jesica mulai percaya kepada pria itu meskipun tidak sepenuhnya.

"Apa kamu sudah makan?" tanya Eko.

"Sudah," jawab Jesica dengan cepat.

"Pasti sebelum berangkat ke bandara tadi?" tebak Eko.

"Heheh…. Iya," sahut Jesica dengan terkekeh.

Eko mulai mengajak gadis yang duduk di belakangnya agar tidak merasa canggung. Terlebihh mereka terjebak macet.

"Ini jam pulang kerja, jadi selalu macet seperti ini," kata Eko. Jesica hanya mengangguk.

"Oh iya, kamu mau ngekos atau tinggal di fasilitas kantor?" tanya Eko.

"Untuk sementara saya di fasilitas kantor saja dulu, pak." Jawab Jesica.

"Oke. Lagian, kamu nggak sendiri kok," kata Eko.

Mendengar itu, Jesica lega. Dia mengira akan tinggal sendiri di asrama kantor itu. Jesica menikmati pemandangan sore hari di kota yang berbeda. Meskipun Jesica juga berasal dari kota besar Surabaya. Tapi, dia tinggal di pesisir kota yang jauh dari pusat kota. Dia akan kepusat kota saat kuliah saja. Jesica melihat gedung menjulang tinggi membuatnya teringat kepada ayahnya. Dulu, waktu Jesica masih kecil. Ayahnya selalu berkata, "Jesi, nanti kalau sudah besar kerja di sana ya," kata ayahnya saat berkeliling di pusat kota seraya menunjuk salah satu gedung yang berdiri megah di depannya.

"Iya. Ayah," sahut Jesica kecil dengan polosnya.

"Nanti, kalau sudah sukses buatlah lapangan pekerjaan bagi mereka yang membutuhkan," imbuh Ayah Jesica. Jesica pada saat itu belum mengerti apa-apa hanya mengangguk. Dan kini dia mengerti apa arti dari perkataan ayahnya tersebut.

Setelah terjebak macet hampir satu jam, mereka akhirnya sampai di sebuah deretan kamar petak. Jesica menatap lekat deretan kamar tersebut.

"Maaf, kami dari perusahaan hanya mampu memberikan tempat tinggal seperti ini," kata Eko saat melihat Jesica tak lepas menatap satu persatu pintu kamar di depannya.

"Ini sudah lebih dari cukup," sahut Jeica dengan senyum di bibirnya.

"Ayo, silahkan." Eko membantu Jesica membawa kopernya. Bawaan Jesica tidak banyak, Sehingga tidak terlalu berat. Jesica mengikuti langkah kaki Eko yang berhenti di depan kamar bernomor lima tersebut.

"Ini kamar kamu, silahkan masuk." Eko membuka pintu kamar nomor lima itu. Jesica tercengang melihat isi kamar itu. Kamar yang terlihat biasa saja ternyata sangat lengkap. Saat membuka kamar dia sudah melihat sebuah kulkas, lemari dan kasur. Dia di ajak melihat kamar mandi yang ada di dalam kamar itu juga. Fasilitas kamar mandi juga tidak kalah lengkap. Kamar ersebut terlihat sangat elegan dengan ruangan mini karena interior yang pas.

"Kalau kamu butuh apa-apa bisa hubungi saya," kata Eko seraya memberikan kopernya.

"Baik," sahut Jesica.

"Kalau begitu kamu istirahat dulu," kata Eko. "Oh iya, nanti ada pengantar makanan kesini. Kamu terima ya," imbuh Eko.

"Untuk apa, Pak?" tanya Jesica.

"Saya tahu kamu lapar, dan kamu belum kenal wilayah sini," jawab Eko. "Jadi, saya pesankan makanan," jelasnya.

"Nggak perlu pak, saya beneran nggak lapar kok," tolak Jesica karena merasa tidak enak.

"Nggak apa-apa, disini jarang ada yang masak sendiri. Tapi, kalau kamu mau masak sendiri besok saya bawakan perlengkapannya," ucap Eko.

Jesica mengangguk. Dia tidak tahu harus menjawab apa lagi, baginya pria di hadapannya ini sangat baik. Setelah Eko pergi, Jesica segera menghubungi ibunya. Banyak pesan yang baru masuk karena sedari tadi ponselnya dia mode penerbangan. Sehingga panggilan dan pesan dari Bimo tidak ada yang langsung masuk keponselnya.

avataravatar
Next chapter