1 Bertepuk Sebelah Tangan

Terik matahari tak menyurutkan semangat Rania Shafiqa. Kaki jenjangnya terus melangkah ke pangkalan ojek. Rambut panjang sepunggung yang wangi dan tergerai, dia biarkan bercampur aroma yang kurang bersahabat karena helm yang di kenakannya.

Melewati hiruk pikuk jalan raya yang tak pernah sepi akan kendaraan. Kaki mulus yang selalu terawat pun terpapar sinar ultraviolet.

Senyum manis dari bibir tipis bersemu pink terus terpancar hingga ke toko cabang material H. Jamal yang di wariskan untuknya.

Wanita itu menyisir rambut dengan jemari tangan dan tersenyum ramah ke karyawan yang menyambutnya. Memastikan riasannya tetap cantik melihat pantulan wajahnya di spion motor yang ada di parkiran toko.

Rania memasuki ruang utama akan tetapi, wanita yang mengenakan dress selutut itu tidak menemukan suaminya. Melangkah dengan mengendap-ngendap seperti seorang detektif menuju ruang belakang. Langkahnya terhenti saat terdengar suara seperti sedang berbincang.

"Rania mau lu kemanain bro?"

"Asal lu tahu. Gue nggak pernah cinta sama Rania. Cinta gue hanya untuk Nindy seorang. Rania Cuma gue jadikan lumayan doang. Gue gak perlu susah payah cari kerja tapi kehidupan gue enak dan materi terjamin. Karena apa? Karena Rania anak tunggal dari H. Jamal orang terkaya di kompleks ini!" terang lelaki dengan suara sedikit serak.

Rania membelalakkan mata dengan mulut menganga mendengar penuturan dari suara yang sangat dia kenal itu. Nafasnya memburu lalu menyentuh bagian dadanya dan beristighfar.

"Jangan becanda lah bro. Gak lucu tahu,"

"Apa lu lihat gue lagi becanda? Seurius gue seurius Bagasss."

"Gila lu! Tahu begitu mendingan gue aja yang dulu nikahin Rania yang jelas-jelas gue cinta beneran!" nada emosi begitu kentara.

"Gas lu mau kemana?"

Terdengar suara alas kaki yang beradu dengan lantai membuat wanita yang berderai air mata itu menjauh dari tembok. Dia bersembunyi dibalik tumpukan semen. Menutup mulutnya dengan telapak tangan agar isakannya tidak terdengar.

"Wong edan, gue nyesel bersahabat dengan orang yang otaknya gesrek," geram pria yang barusan keluar terdengar oleh Rania.

Menarik nafas dan menghembuskannya perlahan. Menghapus sisa air mata di pipi dengan kasar. Mengucap basmalah dengan langkah gontai wanita yang memakai tas selempang kecil berwarna coklat itu menemui suaminya.

Prank!

Satu botol whiskey beserta satu gelas berisi batu es yang di atas meja pecah, berserakan karena di tangkis Rania. Pria yang bergelar suami memasang wajah murka. Namun, karena melihat siapa pelakunya badan yang hendak berdiri itu duduk kembali.

"Ra?" panggil lelaki yang sedang mengacak rambut frustasi. Menunduk dan memainkan jemari.

Rania masih terdiam dengan posisi badan bersandar ke dinding. Menatap nyalang ke lelaki yang begitu dia cinta. 'Tidak hanya pembohong ternyata peminum alkohol juga jika sedang dilanda kegalauan', lirih hati Rania.

Pria yang mengenakan kaos lengan panjang grey dan celana jeans hitam itu bangun, lalu mendekati Rania akan tetapi Rania bergerak menjauh. Dia merasa jijik jika harus tersentuh oleh suaminya.

Meski tahap mabuk baru di fase sober yang masih sadar karena kadar alkoholnya baru sedikit yang terminum. Namun, tetap saja bagi Rania suaminya itu menjijikan.

Rania mendorong kasar badan yang makin mendekatinya itu hingga terjungkal. Di saat emosi meluap terkadang tenaga jauh lebih meningkat dari biasanya. Rania lari lalu memanggil salah satu karyawannya meminta untuk mengantarkan pulang.

Tidak dia hiraukan teriakan dari dalam toko yang terus memanggilnya. Rania meminta pria yang mengenakan kaos bertuliskan Material H. Jamal itu agar melajukan motornya dengan kecepatan tinggi.

"Ke rumah baru!" perintah Rania yang langsung di jawab anggukan oleh yang bawa motor.

"Kalau Mas Baron nanya bilang aku main di rumah Nenti!" seru Rania setelah turun dari motor. Karena sudah sampai tujuan.

"Iya Neng."

Tanpa berucap terima kasih Rania berlari dan masuk ke rumah panggung khas sunda berlantai satu yang semua kayunya menggunakan kayu jati. Rumah impian suaminya.

"Ahhh ahhh ahhh!" berteriak sekencangnya di atas ranjang yang sudah dia taburi bunga mawar membentuk hati pada bagian tengah.

Mengacak-ngacak sprei membuang bantal serta guling kesembarang arah. Tulisan kata cinta yang sudah dia tempel di beberapa sudut pun di robek.

"Sia-sia semua ini ... sia-sia yaAllah hukhukhuk,"

Rumah yang jauh dari tetangga membuatnya leluasa mau teriak sekencang apa pun. Rumah yang berdiri di atas tanah satu hektar ini sangat asri dengan tanaman yang menghiasi di halaman. Serta ada kolam ikan dan gazebo.

"Kenapa di tujuh tahun pernikahan aku baru tahu. Cintaku bertepuk sebelah tangan. Rumah tangga macam apa ini ...," Rania tampak kacau badannya luruh ke lantai marmer, rambutnya acak-acakan dan matanya mulai membengkak.

Air mata seakan tak ingin berhenti. Menggambarkan akan hatinya yang terluka karena sebuah kebohongan. Topeng yang selama ini Baron tutupi, ternyata terbuka dengan sendirinya

Tujuh tahun bersama tak pernah sedikit pun Rania melihat ada kebohongan dari suaminya. Bahkan dia ingat betul perjuangan Baron saat mendekatinya dulu.

"Aktingmu sangat memukau Mas. Kamu harus mendapatkan penghargaan Mas hukhukhuk," seperti orang tidak waras Rania terus meracau diiringi tangisan.

"Aku yang bodoh atau kamu yang terlalu piawai dalam permainan ini."

Rania bangkit berdiri melihat map di atas nakas samping ranjangnya. Di raihnya dan dipeluk. "Terima kasih ya Allah ... sebelum ini di tanda tangani lelaki yang materialistis itu Kau tunjukkan siapa dia. Terima kasih." Ucap Rania lirih. Ada figuran berlafaz Allah lalu telapak tangan kanannya menyentuh itu.

Hari ini adalah hari jadinya Baron yang ke 34 tahun. Bertepatan dengan anniversarry pernikahan mereka yang ke tujuh tahun. Rania sudah sangat matang dalam mempersiapkan kado teristimewa. Rumah beserta sertifikat yang tinggal di tanda tangani Baron. Jadi kepemilikan atas nama Baron Samsuri.

Sudah dari sembilan bulan yang lalu Rania menyiapkan semuanya. Hanya para karyawan baik yang di toko utama yang Rania kelola, maupun toko cabang yang di urus suaminya yang tahu.

Menghubungi Dewi sang sahabat agar menemuinya. Setelah sampai bukannya di ajak masuk ke rumah baru malah minta diantarkan ke pantai.

Gemuruh ombak menciptakan alunan nada. Angin sebagai instrumen seakan mereka menjadi saksi. Saksi akan rasa pilu cinta yang hanya sebatas materi semata.

Rania memejamkan mata bulatnya. Dia berdiri di pesisir pantai hingga kakinya terkena hempasan ombak. Dewi hanya memantau dari jarak agak jauh dengan duduk santai di atas motor gedenya.

"Aku harus melangkah. Menapaki tiap jejak yang baru. Aku sendiri yang menentukan akan seberarti apa hidupku. Tidak perlu meminta belas kasih akan cinta. Karena cinta hanya untuk jiwa yang tulus akan memaknainya."

"Mengapa semenyedihkan ini. Salahkah menginginkan cinta yang tulus dari pasangan halal sendiri. Ya Allah kuatkan aku."

Hampir satu jam Rania berdiri membuat Dewi memanggilnya dan mengajak pulang. Dengan terseok Rania menghampiri sahabat dari masa kecil hingga kini. Sesampainya di rumah mata Rania terbelalak.

avataravatar
Next chapter