24 Mengalir

Kulihat keadaan Kayla makin membaik, Alhamdulillah bidadari kecilku akan pulang esok hari. Rindu dan sangat rindu lekukan bibirnya yang manis dan ayu.

"Nduk andaikan dirimu menjadi istriku, dunia ini bagaikan syurga yang nyata" gumamku.

***

Kang Ali, sosok kakak yang selalu perhatian dan tulus serta terkadang membuatku bingung dengan tingkahnya.

Keesokan harinya, kakiku melangkah menuju luar tempat berkumpulnya orang yang lemah dan rapuh. Iya, hari ini aku bisa bebas dengan melihat indahnya ciptaan Yang Maha Kuasa.

Kang Ali dengan sunggingan senyumnya menatap dalam ke arahku. Entah apa yang Ia fikirkan aku pun tak mengerti. Matanya terlihat berkaca-kaca saat menatap kedua bola mata ini.

"Alhamdulillah, sampean sudah sembuh Nduk," ucapnya yang membuatku sekedar tersenyum.

Tak lama kemudian Gus Zein berjalan tepat di hadapan kami dan keluarga.

"Alhamdulillah Ning Kayla sampun sembuh" ucapnya dengan wajah sumringah.

"Jadi, sebentar lagi balik pondok kan? Abah harus tau ini, agar pernikahan kita bisa di laksanakan," ucapnya membuatku kaget.

Ya Allah apakah Gus Zein adalah jodohku. Mataku hampir saja menganak sungai. Ku lihat KangAli dengan pandangan mata yang tajam dan tersenyum meskipun terpaksa. Aku pun menyelaminya dan kutahu Kang Ali menahan air matanya.

Ku lihat Mas Syarif dan Mbak Azizah tersenyum ria saat mendengar kata-kata dari Gus Zein.

Sampai di Pesantren, Kang Ali begitu saja meninggalkanku tanpa permisi. Aku tau perasaanmu Kang, Aku pun tak dapat berbuat apa-apa.

Kulihat Gus Zein bercengkrama dengan keluarga. Nampak Abah masih pucat, sepertinya Abah masih belum sehat. Aku pun menuju kamar untuk beristirahat.

Terdengar dari sudut kamarku pembicaraan mereka perihal rencana pernikahanku dengan Gus Zein. Ya Allah aku tak siap jika harus menikah dengan orang yang sama sekali aku cintai. Walaupun tak semua perjodohan akan mengalami kegagalan dalam gerbang pernikahan.

Aku pun melupakan pikiranku tentang pernikahan itu dan mengambil wudhu sekaligus mushaf yang terbuka di atas meja almariku.

Pandanganku tak lepas dari mahkota bunga padi yang di berikan Kang Ali maaih terpajang rapi meskipun agak rapuh. Anganku tak karuan melihat segala kenangan indah di balik rangkaian mahkota tersebut.

Mushaf atau surat cinta dari Sang Maha Cinta kubuka, berharap ada titik cahaya yang dapat membuat hatiku tenang.

"Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamu lah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman". (QS. Ali-Imron : 139)

Kulihat Allah menegurku lewat surahnya. Ya Allah ampuni aku. Tak lama kemudian terdengar suara yang tak asing di telingaku. "Kayla. buka nduk," ucapnya dengan lembut.

Aku yakin itu pasti Kang Ali. "buka saja Kang, pintunya ndak dikunci,"

Kulihat Ia dengan tangan kanan membawa sepiring makanan dan tangan kiri membawa segelas air putih menuju kepadaku meletakkannya dan pergi begitu saja.

"Kang," Ia pun menghentikan langkahnya dan berbalik ke arahku.

"Nopo Ning?" kata Kang Ali dengan mata yang tajam menatap tanpa berkedip.

"Matur suwun," ucapku sedikit menundukkan pandangan. Baru kali ini aku tak berani menatap langsung kepada KangAli dan Ia pun beranjak pergi.

Kulihat Kang Ali ikut dalam perbincangan yang lainnya. Matanya pun mengarah kepadaku yang membuka celah kelambu sedikit untuk melihat apa yang terjadi. Lagi-lagi aku tak sanggup menatap mata Lek Ali dan kututup kelambu.

Dari ujung jendela aku melihat Kyai Faqih beserta Bu Nyai dan beberapa Abdi Ndalem yang turun dari Mobil. Aku tak bisa berfikir jernih. Kenapa mereka sangat buru-buru ingin menjodohkanku dengan Gus Zein? Padahal aku tak menginginkan pernikahan itu terjadi.

"Niat yang baik lebih baik jangan ditunda-tunda"

"Saya terserah anaknya saja,"

"Kayla sudah khatam Qur'an to? Jadi mau menunggu apa?"

"Dalem setuju mawon Yai, Nyai. Lebih cepat lebih baik"

"Kayla mesti gelem," sahut Mbah Uti.

"Menurutmu piye Le Al?" lontar Umi pada Kang Ali.

"Dalem, nderek mawon yang terbaik kagem Ning Kayla," jawabnya.

Kenapa Kang Ali tak berterus terang saja. Pasrah? Bukan seperti itu caranya. Dalam kepasrahanpun ada ikhtiar di dalamnya.

"Yo wes dua bulan lagi pripun?" tanya Kyai Faqih dan semua setuju dengan usulan beliau.

Dua bulan lagi? Waktu yang singkat untukku menerima kenyataan ini.

Malam hari

Dentingan pohon bambu menemaniku dalam malam yang sunyi. Rumah terlihat kosong hanya ada aku dan Abah karena semua ada di Pesantren. Akupun duduk termenung menikmati angin yang tak sehat ini.

"Mpun dalu, mlebeto. Angine elek," suara itu terdengar di belakangku.

Ia pun duduk di sampingku.

"Tresno jalaran soko kulino" tuturnya "Sampean akan bisa mencintai Gus Zein ketika kalian sering bersama."

Aku terkejut dengan lontaran kalimat itu. Bahkan Ia tak berfikir Ia adalah orang yng dari kecil hidup bersama keluargaku dan dekat denganku. Aku pun hanya diam tak menanggapi apa yang dikatakannya.

"Kay, Cinta itu gak mesti harus memiliki," sahutnya lagi.

"Tapi Cinta pun fitrah manusia yang tak bisa di paksakan Kang," tanggapku

Hening

"Maafkan aku ning, Aku tak bisa berbuat apa-apa."

Sudah kuduga kata-kata itu yang akan keluar dari Kang Ali.

"Mungkin belum takdirnya dek," katanya lagi menundukkan pandangannya.

"Aku pernah ikrar dek,"

"Nopo?"

"Aku takkan menikah dengan siapapun kecuali dengan Kayla Nadhifa Almaira."

Deg

"Apa Kayla boleh berikrar yang sama dengan Kang Ali? Hanya ingin menikah dengan Muhammad Ali Miftahuddin?"

"Ojo dek,"

"Kenapa Kang?"

Tak menjawab dan diam saja.

"Jawab Kayla Kang!"

"Jangan lukai hati Abah dan Umi." tuturnya.

"klontang" bunyi barang jatuh dari rumah. Kurasa ada yang mendengar pembicaraan kami. Aku berfikir itu Abah.

Kami pun segera masuk ke dalam. Nampak Abah berdiri menatap kami dan tiba-tiba air matanya menetes.

"Abah kengeng nopo?"

"Kenopo sampean mendel mawon nduk? Al?"

Aku dan Kang Ali tak mengerti maksud Abah berkata seperti itu.

"Kenopo kalian memutuskan keputusan seng nggawe atimu loro?"

"Abah mireng sedoyo?"

"Aku tak telpon Yai Faqih ben di batalkan pernikahane Gus Zein karo Kayla"

Aku dan Kang Ali terkejut dengan apa yang dikatakan Abah.

"Mboten usah Pak dhe, dalem ikhlas dek Kayla kalih Gus Zein."

Tiba-tiba jantung Abah sakit lagi dan beliau Jatuh dipelukan Kang Ali. "Al, tulung jogo Pesantrenku." kata Abah dengan nafas yang terputus-putus.

"Abah, ampun tinggalkan Kayla!"

"Aku titip Kayla yo Al, jadikan dia istrimu,"

"InsyaaAllah Yai,"

"Aku iso tenang ninggal kabeh,"

Tak lama kemudian kaki Abah terlihat tak bernyawa lagi. Dengan tuntunan kalimat Syahadat dari Kang Ali. Abah akhirnya meninggal dengan keadaan tersenyum.

"Abah...!!!" tak kusangka beliau meninggalkanku secepat itu. Aku pun berlari ke Pesantren tanpa alas kaki dengan hijab yang sedikit berantakan untuk mengabarkan Abah telah tiada.

Umi pun yang mendengarkan sontak kaget dan pingsan. Suara tangisan menyelimuti Pesantren Al-Fatah Malam hari ini. Sosok Kyai besar yang tawadhu dan sangat ramah dengan siapapun kini telah tiada. Meskipun begitu nama beliau selalu harum dalam hati para penghuni Pesantren.

avataravatar
Next chapter