webnovel

Mengejarmu

Berawal dari Karen yang berusaha mendekati teman sekelasnya yang juga murid pindahan beberapa bulan lalu, Meshach. Laki-laki itu tidak banyak bicara, biasa saja dan tidak ada yang menarik untuk orang lain kecuali Karen. Di sisi lain, Meshach yang sedang menata kembali hidupnya merasa kehadiran Karen adalah kesialan dan keberuntungan yang datang bersamaan.

wickedangel · Teen
Not enough ratings
23 Chs

21. Karen

Bukan acara BBQ seperti ini yang diharapkan Karen ketika ia mengunjungi rumah Amora, ini lebih terlihat sebagai pesta kolam renang yang dilakukan malam hari, malah bisa disebut juga sebagai pesta rumah.

Terlihat ada beberapa orang yang sedang berdiri di depan panggangan sambil memegang sebotol minuman beralkohol, bertelanjang dada. Jelas sekali ini bukanlah pesta BBQ, itu hanya alasan Amora saja.

  "Amora nipu berapa banyak orang ya?" tanya Miki saat meneguk gelas keduanya.

Rendy mengambil gelas itu sebelum pacarnya itu minum lebih banyak lagi. "Berhenti." katanya yang langsung dituruti Miki saat itu juga sambil tersenyum geli.

Karen memalingkan wajahnya ketika Miki dan Rendy mulai berciuman terang-terangan di depan banyak orang. Ia memperhatikan Serena dan Adel yang berjarak sepuluh langkah darinya sedang menikmati alunan lagu yang diputar dengan suara lantang, berputar dan bergerak mengikuti lagu bersama beberapa teman lainnya.

Ia sedang menimbang apakah ia minum saja dan menikmati malam ini atau tetap sadar sembari memperhatikan teman-temannya yang kini sudah diambang kesadaran. Tapi sepertinya sudah cukup terlambat mengingat gelas kosong di jemarinya sudah diisi dua kali.

Berjalan menyusuri rumah luas yang kini ramai itu terasa seperti melihat pertunjukkan tiada akhir, ketika memasuki area luar Karen melihat beberapa orang sedang menggendong salah seorang lalu dilemparkan ke kolam renang, beberapa lainnya berseru sambil tertawa. Menyenangkan sekali sampai ia berpikir untuk ikut berenang.

Adel melambaikan tangan, mengajaknya ikut menari mengikuti alunan lagu bernada cepat tersebut, bahkan sampai menghampiri dan mengulurkan tangan, dengan senang hati disambut Karen.

Sebelum ikut menari ia kembali meneguk minuman di gelas milik Serena yang kesadarannya sisa setengah saja.

Belum ada lima menit Karen menikmati alunan lagu ia sudah dipanggil oleh alam, ia ingin buang air kecil tapi tidak tahu di mana letaknya jadi ia menyusuri ruangan tiap ruangan.

  "Toilet di mana?" tanya Karen ketika melihat Amora di kolam renang. "Itu," jawabnya menunjuk lurus tepat di samping Karen.

Ketika Karen akan memalingkan tubuh, tangannya sudah dipegangi Reza dan tanpa aba-aba tubuhnya dilempar ke kolam renang. Ia menjerit lalu tertawa kencang, sepenuhnya terlupa ia menahan ingin pipis.

Temannya ikut masuk ke kolam renang setelah melepas kaus putih yang dipakainya, memercikkan air dengan sengaja ke semua orang.

  "Gue ga bawa baju ganti!" kata Karen pada Reza yang sedang tertawa-tawa. "Sama hahahaha."

Saat sedang sibuk berenang ia melihat Esa yang berjarak dua meter darinya, tersenyum menatapnya dengan ponsel di tangan kanannya mengarah pada gadis itu.

Ketika ia menyadari Esa sedang merekam atau mungkin memotretnya ia berpose tersenyum riang sembari memanggil Esa untuk membantunya naik.

  "Jangan kelamaan di air, dingin." kata Esa di tepi kolam renang. "Okay!" gadis itu melanjutkan beberapa putaran.

Jarang sekali Karen melihat Esa dalam pakaian selain seragam karena memang tidak pernah bertemu di luar sekolah selain saat kemah jika itu bisa dihitung bertemu di luar sekolah.

Esa berpakaian santai, sangat santai. Mungkin ia juga sama tertipunya seperti Karen yang mengira ini adalah acara BBQ biasa.

  "Lo renang emang bawa baju?" tanya Esa ketika mengulurkan tangannya untuk gadis itu.

Karen menggelengkan kepala sementara Esa terlihat hal ini sudah ada diprediksi olehnya. "Tunggu di sini, jangan kemana-mana." katanya saat di depan pintu toilet.

Bukan Karen jika ia menjadi anak penurut, ia tidak nyaman dan segera masuk ke toilet tanpa menunggu Esa. Di dalam toilet ia membasuh diri dan mengeringkan tubuhnya dengan handuk bersih yang tersedia dan sedikit mengeringkan rambutnya agar tidak terlihat seperti orang gila.

Suara ketukan terdengar samar di tengah riuhnya suara musik. "Ih sabar!" teriak Karen dari dalam.

  "Ini gue," terdengar suara Esa. "Ya terus? Mau masuk?" tanya Karen terkekeh geli.

Ia sepertinya sudah tidak terlalu dalam pengaruh alkohol sekarang setelah tiba-tiba didorong ke kolam dingin itu.

  "Gue ambilin jaket," kata Esa lagi yang membuat Karen membuka pintunya membuat Esa terkejut. "Tutup, Karen!" pekiknya.

Laki-laki itu melemparkan jaketnya ke lantai toilet dengan terburu-buru, sedikit mengenai cipratan air dari shower. Itu adalah jaket yang beberapa kali Karen lihat dipakai Esa, tidak terlalu sering.

Ukurannya terlalu besar untuk gadis itu hingga lebih cocok jika disebut dress pendek daripada sebuah jaket. Tapi hal tersebut tidak mengejutkan baginya karena Esa memang sangat tinggi.

Ketika keluar ia mendapati Esa sedang bersandar pada dinding, menunggunya.

  "Mau ke toilet juga?" tanya gadis itu.

Pertanyaan bodoh? Mungkin. Pertanyaan jenius? Mungkin juga. Ia tidak mau terlalu percaya diri Esa menunggunya di toilet selama hampir setengah jam penuh.

  "Kok udah naik aja sih?" seru Reza yang masih bermain-main di air. "Pakai baju gue aja di kamar, Kar." kata Amora.

Karen menggelengkan kepalanya, merasa nyaman dengan jaket Esa saat ini. Hangat.

Esa mengajaknya duduk di ayunan yang letaknya tak jauh dari kolam renang, berada di area taman. Gadis itu sedikit kesulitan mengingat ia menggunakan jaket sebagai baju.

  "Mau ditemenin ambil baju Amora?" tanya Esa, dijawab gelengan kepala oleh Karen.

Tangan laki-laki itu mengulurkan segelas minuman, membuat Karen heran tapi tetap meminumnya. Menikmati sensasi ketika cairan itu melewati tenggorokannya.

  "Padahal gue udah ga mabuk tadi," ujar gadis itu diiringi tawa. "Gue kira lo ga datang." lanjutnya.

Laki-laki itu mengeluarkan ponsel dari saku celana pendeknya, membuka kunci dan menunjukkan video yang diambil tadi. "Ada cewek cantik di sini, jadi datang." balasnya membuat Karen tertawa.

  "Kenapa sih lo kadang lucu banget tapi kadang juga jaga jarak?" tanya Karen.

Tanpa memalingkan tatapannya Esa berkata, "Kalo nempel terus kayak kue lapis dong hahahah." seolah tanpa dosa.

Jarang sekali Karen melihat Esa tertawa dengannya, ia biasa melihat Esa menertawakan lelucon yang dibuat Owen tapi tidak pernah melihatnya tertawa karena lelucon buatannya sendiri dan hal itu sangat lucu.

Tawa Esa berhenti ketika ia menyadari sesuatu pada Karen dan itu membuatnya tidak nyaman karena dilihat begitu lama.

Ia melihat gadis itu dengan tatapan penuh curiga. "Sorry ga sopan, tapi lo ga lepas semua baju kan?" tanya Esa yang terlihat menuntut diiyakan sebagai jawaban.

  "Kenapa pakai baju basah?" tanya gadis itu terheran.

Jika bola mata bisa menggelinding di lantai mungkin hal itu akan terjadi pada laki-laki di hadapannya ini, ia terlihat begitu kaget hingga siapa saja mengira ia habis melihat sebuah peristiwa bersejarah.

  "Ayo, pulang sekarang." kata Esa saat menggenggam pergelangan tangan Karen. "Gada yang nyadar juga, gausah lebay." jawab gadis itu.

  "Aduh." kata Esa terlihat frustasi yang tidak dapat dimengerti oleh Karen.

Ia tidak mengerti kenapa Esa bersikap berlebihan seperti ini, lagi pula ini hanya pakaian. Meskipun ia saat ini tidak mengenakan apapun dibalik jaket wangi tersebut.

Esa memulai ceramah panjangnya mengenai Karen yang harus mengenakan pakaian karena ia bisa kedinginan dan orang lain bisa saja menyadari saat ini berjalan tanpa sehelai benang pun dibalik jaket tersebut.

Karen mendengarkan dengan seksama sambil menjelajah setiap sudut ruangan dengan matanya, memperhatikan Miki yang kini bermain jenga bersama Rendy, Nabila dan Adel.

  "Ayo main jenga!" pinta gadis itu langsung dituruti Esa yang masih frustasi. "Gausah lah, ada Rendy." kata Esa di tengah jalan menyadari Rendy juga laki-laki.

  "Yes, and?"

  "You're naked,"

  "I'm not!"

  "Don't do this, you're naked. At least grab some clothes on. I'll pick it up for you, I'll drive you home or else."

Itu salah satu kalimat terpanjang yang Esa katakan padanya.

  "Lo gapake baju?" tanya Amora di belakang Karen, memegang sepotong roti. Tidak terlihat terkejut sama sekali.

Karen memutar matanya dan memarahi Esa dengan tatapan jahatnya. "Naik sana ish cepat, keburu ada yang masuk!" kata Amora sambil menepuk bokong gadis itu lalu menariknya menaiki tangga.

Ia melihat Esa mengikuti di belakang, meperlihatkan senyuman tipisnya sambil menunduk seolah ingin menutupi. Pasti senang karena akhirnya kefrustasiannya akan segera menghilang.

Tidak ada orang yang memasuki area lantai dua, mungkin karena privasi dan juga tidak ada apa-apa di sini selain berbagai macam ruangan yang tertutup pintu.

Amora mengeluarkan kunci pintu kamar dan membukanya dengan mudah, memperlihatkan kamar yang dua kali lipat lebih luas dari kamar Karen.

Sedikit tercengang, Karen tanpa sadar memperhatikan setiap detail kamar bernuansa merah muda tersebut. "Ini masih baru, ambil dari lemari ini." kata gadis yang kini sudah menyelesaikan rotinya.

  "Lo pacaran sama Esa?" tanya Amora ketika Karen melepas jaket laki-laki itu.

Tak ingin pembicaraan ini didengar, Karen mencari di mana Esa saat ini apakah ia ikut masuk atau tidak. "Dia di depan." ujar Amora seolah mengerti.

  "No. We're just.. together." jawabnya tak yakin. "Doesn't matter, he's hot tho." balasnya dengan wajah sangat yakin yang meyakinkan.

Ia tidak begitu yakin dengan pernyataan Amora, di mata Karen Esa hanyalah laki-laki biasa yang sedikit pendiam dan penyayang.

  "Lo kenal Esa sebelum pindah ke sini?" tanya Karen hati-hati.

Temannya mengangguk. "Ga secara langsung, cuma tahu." jawabnya singkat. "Tahu apa?" tanya Karen lagi.

  "Tahu beberapa gossipnya."

  "Serius?"

  "Iya. Mantan gue satu temannya Esa. Anak baik, salah pilih teman tapi ngga ikutan jadi nakal. Hebat kan?"

  "Lo berarti juga tau dong kenapa putus sama Nikita?" tanya Karen memberanikan diri. "Tau, karena Nikita selingkuh, tapi itu udah lama sih dan bohong soal dicekoki minuman sama Anzal."

Pakaian yang akan dipakainya hampir terjatuh saat mendengar hal tersebut, itu fakta baru yang sangat tidak terduga. Anzal terlibat di hubungan Esa dan Nikita.

Ia baru saja akan menanyakan lebih lanjut ketika ponsel di saku celana pendek Amora berdering, mendesaknya untuk segera turun karena seperti yang tidak mengherankan, Owen mengajaknya untuk taruhan dalam permainan.

Meninggalkan Karen sendirian di kamar yang sangat luas ini dengan fakta yang cukup menggemparkan pikirannya.

Karen duduk sebentar di tepi meja kayu yang dipoles berwarna putih, itu akan menjadi meja kesukaannya jika berada di kamarnya. Ia memproses informasi yang baru diperolehnya barusan, sulit dimengerti tapi entah kenapa masuk akal.

Anzal memang sering pergi untuk minum bersama teman-temannya, beberapa kali juga dengannya, tapi tidak pernah memaksa minum apalagi mencekoki minuman. Ia tidak sebrengsek itu jadi sudah pasti Nikita berbohong, tapi tidak ada bukti juga, atau mungkin ada tapi ia tidak tahu.

Tapi kenapa Anzal melarang Karen dekat dengan Esa? Tidak masuk akal.

Lebih masuk akal jika Esa memintanya untuk tidak terlalu dekat dengan Anzal karena Anzal lah yang menjadi ancaman pada sudut pandang Esa.

  "Kar?" panggil Esa disertai ketukan pintu.

Gadis itu terburu-buru memakai pakaiannya sambil meminta untuk diberi waktu satu menit. Masih berusaha menghubungkan dan memikirkan kemungkinan yang terjadi pada tiga orang tersebut.

Pakaian yang dikenakan Karen cukup simpel, sebuah kaus putih dan jeans, hanya saja kaus itu menampilkan perutnya.

  "Udah," kata Karen ketika membuka pintu dan menemukan Esa bersandar pada dinding sambil menyilangkan tangannya di dada. "Nah. Ngga kedinginan kan?" tanyanya.

Karen tertawa. Sejak tadi saat hanya mengenakan jaket ia tidak merasa kedinginan sedikit pun dan semua orang berlebihan.

  "Rambutnya masih basah," jemari Esa meraih beberapa helai rambut Karen, memainkannya selama beberapa saat. "Loh yang bikin buru-buru siapa?" tanya gadis itu menyingkirkan jari Esa.

Gadis itu kemudian masuk lagi ke kamar mandi pribadi milik Amora dan mengeringkan rambutnya, berusaha menata dengan rapi tanpa banyak usaha.

Pengering rambut ini sangat bagus dan cepat mengeringkan rambut, luar biasa, batin Karen. Ia menyukai hampir segala hal yang ada di kamar ini.

Termasuk Esa yang kini sedang bersandar di ambang pintu, memperhatikan Karen mengeringkan rambut.

  "Apa?" tanya Karen.

Esa mengerutkan dahinya, "Apa?" ia menirukan gadis itu, lalu tertawa ketika melihat Karen terlihat kesal.

Melalui cermin Karen melihat Esa dengan wajah lucu menggoyang-goyangkan tas kecil di tangannya. "Kok tahu gue butuh tas ini?" tanya gadis itu senang.

  "Siapa tahu mau make up," jawab Esa  senang ia membantu gadis itu mendapatkan apa yang dibutuhkannya.

  "Stop." kata Karen tiba-tiba.

Wajah Esa berubah, terkejut dan heran. "Aduh, ngga bisa nih kalau begini." gumam gadis itu yang membuat laki-laki itu semakin heran.

Tidak bisa Esa bertindak semanis ini terus menerus dan membuat pertahanannya goyah, ia mulai menyukainya dan takut akan bergantung padanya sementara mereka bukan pasangan atau teman yang dekat.

Ini hal mengerikan bagi Karen, hubungan tanpa kejelasan. Tapi ia juga tidak mau menuntut kejelasan lebih dulu karena akan dikira terlalu menuntut, tapi ia membutuhkan hal itu.

Menyebalkan sekali.

Meskipun pada lubuk hati dan pikirannya Karen merasa ia memang sudah memiliki hubungan dengan Esa, hal itu tetap memusingkan. Tidak ada komitmen di hubungan ini.

  "Ayo turun," kata Karen ketika menyelesaikan pulasan terakhir pada bibirnya.

Esa menegapkan posturnya setelah selama lima menit penuh memperhatikan gadis itu dalam diam sambil membayangkan apa yang salah pada dirinya.

  "Besok.." ucap Esa ketika mereka sedang menuruni tangga. "Hm?" gadis itu menoleh dan menunda langkahnya.

Laki-laki itu menatapnya, meski di cahaya yang redup ia masih bisa melihat jelas wajah itu, wajah ragunya saat itu.

  "Mulai besok jangan duduk sama Reza lagi, Kar. Ayo duduk sama gue." ucapnya dalam satu kali tarikan napas. Menyisakan senyum di akhir kata.

Karen tersenyum. Lama sekali waktu yang dibutuhkan untuk laki-laki di depannya ini menuntut sesuatu.

  "Okay." jawab Karen singkat dengan senyum di wajahnya. Ia senang sampai tidak tahu harus merespon seperti apa.

Esa ikut tersenyum dan menyentuhkan tangannya pada rambut Karen. "Good girl." katanya yang langsung memindahkan tangannya ke jemari gadis itu, mengenggamnya.

  "Don't call me a good girl, I'm not your girl."

Perkataan tersebut membuat Esa memalingkan wajahnya, ia hendak turun ketika gadis itu berkata demikian.

  "You're not?" tanyanya dengan wajah jahil. "You sober?" ia lanjut bertanya.

Karen tidak merasakan efek minuman tadi, sebenarnya ia sudah tidak merasakannya sejak satu jam lalu saat ia menyentuh kolam renang.

Itu seperti menariknya keluar dari zona kehilangan kesadaran.

Gadis itu mengangguk tanda ia saat ini sedang sadar. "Bagus, jadi lo ga akan lupa." balasnya yang membuat Karen bertanya-tanya.

  "Lupa apa?" tanya Karen tepat beberapa detik sebelum Esa menarik tangannya agar mendekat.

Terlalu dekat.

Terlalu dekat.

Terlalu dekat.

Wajah Esa hanya berjarak satu jengkal darinya, terlalu dekat. Laki-laki itu tersenyum teduh, terlihat manipulatif.

  "Ngga ini masih ada tipsy," katanya setelah selama beberapa saat yang bagi Karen terasa sangat lama.

Kilat cahaya mengejutkan Karen dan Esa yang langsung mencari ke sumber cahaya, itu adalah Amora dan kamera miliknya lagi seperti yang dibawanya saat acara kemah.

Dengan suara tawa yang riang Amora berteriak meminfa maaf lalu pergi memotret orang lain, ia pasti mengambil banyak foto untuk kenang-kenangan.

Karen tersenyum senang, ia akan memiliki foto lain bersama Esa yang diambil secara tidak sadar jadi pasti terlihat natural.

  "I know you wanna kiss me hahaha," gadis itu terkekeh geli dengan omongannya sendiri.

Wajah Esa mengatakan tidak setuju dengan pernyataan tersebut. "Ngga, mau bilang gue suka lo, banget." balasnya.

Seketika Karen seperti menyesal mengatakan hal tersebut, ia belum pernah menerima pernyataan rasa suka secara langsung di jarak sedekat ini dari orang yang memang disukainya.

Ia menahan napas, terlalu kebingungan mencari cara untuk bernapas. Seolah pekerjaan itu dilakukan manual.

  "Agak cepat ga sih?" tanya Esa setelah melihat ekspresi Karen yang diam mematung. "...Gue akan bilang lagi nanti saat sober." lanjut Esa akhirnya.

Karen tersenyum menampilkan deretan giginya dengan sedikit mengerutkan hidungnya, merasa tidak dapat menyembunyikan rasa senangnya.

  "Kenapa lama banget?" gadis itu menggerutu.

Diraihnya jemari Esa lalu menuruni tangga dengan senang membelah kerumunan orang yang sedang sibuk berliuk-liuk menari mengikuti lantunan musik.

Ia sangat senang hari ini karena Esa menyukainya, laki-laki itu mengakuinya setelah hampir dua bulan mereka mulai dekat satu sama lain, dua minggu setelah ciuman di bawah hujan kembang api.

Tidak ada yang lebih menyenangkan dari ini setelah sekian lama.

Terlalu cepat? Tidak, ini terlalu lama. Mereka terlalu banyak membuang waktu dan terlalu banyak membuang waktu.

  "Hati-hati," laki-laki itu mengencangkan genggaman tangannya agar gadis berambut panjang itu tidak bertubrukan dengan orang yang sedang menuangkan minuman.

Langkahnya perlahan tapi pasti mengambil gelas dan ikut menuangkan cairan tersebut ke gelasnya, senang ketika suara percikan air tersebut mengalun lembut.

Tangannya mengangkat botol yang hampir habis tersebut, menyodorkannya ke Esa yang menolak dengan menggelengkan kepalanya. "Kenapa? Lo nyetir ke sini?" tanya Karen.

  "Iya, tapi tadi udah minum sedikit." jelasnya yang tidak terlalu terdengar oleh Karen karena volume musik yang baru saja dilantangkan.

  "Hah?" teriak gadis itu tanda tidak mendengar.

Esa mendekatkan diri pada Karen dan sedikit berteriak, "Iya nyetir, tadi udah minum sedikit."

Seluruh tubuh Karen rasanya seperti akan meledak saat Esa berbicara dengannya dalam jarak sedekat ini, ia langsung menjauhkan tubuhnya dari Esa agar tidak terlihat ia sedang salah tingkah.

  "Is it desire? Or is it love that I'm feeling for you?"

Teriak kerumunan orang mengikuti lirik lagu Desire milik Years & Years.

Karen terkejut tapi dengan cepat mengikuti alunan musik tersebut sementara Esa hanya tersenyum dan membuat pagar agar gadis itu tidak bersinggungan langsung dengan orang lain saat ia mulai anarkis bernyanyi. dan sesekali melompat kecil.

Saat lagu akan berakhir gadis itu terlihat begitu bersemangat sekaligus santai. Ia menatap Esa, memperhatikan bagaimana laki-laki itu masih menjaga kewarasannya di tengah acara ini.

  "You know that you've got me you locked me down. You tell me you want me now.." ia masih menatap Esa yang kini tersenyum.

Seolah ada jeda pada lagu tersebut, kini Karen merasa ia menatap Esa selamanya karena sangat lama.

Gadis itu merasakan jemari Esa kini berada di pipinya, mengusapnya dengan lembut tapi terasa seperti mengalirkan listrik ke seluruh tubuhnya.

Ia sudah tahu apa yang akan dia hadapi ketika Esa mendekatkan kepalanya dan berbisik, "No, you're the one that locked me down."

Rasanya? Karen ingin meleleh saat itu, detik itu juga.

Setelahnya Esa menatap Karen tepat di mata dengan jarak yang sangat dekat, sangat dekat sampai begitu mudah laki-laki itu mendekatkan bibirnya ke bibir Karen, menciumnya dalam.

tbc