webnovel

Mengejarmu

Berawal dari Karen yang berusaha mendekati teman sekelasnya yang juga murid pindahan beberapa bulan lalu, Meshach. Laki-laki itu tidak banyak bicara, biasa saja dan tidak ada yang menarik untuk orang lain kecuali Karen. Di sisi lain, Meshach yang sedang menata kembali hidupnya merasa kehadiran Karen adalah kesialan dan keberuntungan yang datang bersamaan.

wickedangel · Teen
Not enough ratings
23 Chs

13. Karen

  "Ngantuk?" tanya Esa.

Karen menggelengkan kepala, bagaimana bisa ia tidur di hadapan Esa? Pikirnya.

Ia menyandarkan kepalanya ke punggung kursi, berusaha mencari posisi yang nyaman untuk duduk, tapi sulit mencari posisi nyaman saat Esa adalah teman sebangkunya.

  "Senyum!" seru Amora dengan kamera di jemarinya.

Karen terkejut dengan kedatangannya, mungkin hasil fotonya nanti akan terlihat sangat jelek dan aneh sementara Esa akan terlihat normal.

  "Ulang dong, sekali lagi," pinta Karen.

  "Tenang," jawab Amora bersiap memotret lagi.

Karen menatap Esa, memintanya tersenyum ke arah kamera.

  "Okay, tunggu dikirim ya!" kata Amora riang lalu kembali memotret teman-temannya yang lain.

Bagaimana bisa gadis itu tidak mual berjalan-jalan di dalam bis yang sedang melaju di jalan bebas hambatan seperti ini. Memikirkannya saja sudah membuat Karen mual.

  "Lo ke rumah naik apa?" tanya Esa.

  "Taksi," kata Karen.

  "Gue antar." balas Esa sembari memejamkan matanya.

Esa termasuk orang yang mudah tertidur, laki-laki itu sudah terlelap beberapa saat sejak ia memejamkan matanya, meninggalkan Karen dengan pikirannya.

Mungkin Esa lelah, ia terjaga menemani Karen tadi malam.

Memikirkan kejadian malam tadi membuat Karen selalu senyum senang sekaligus tersipu malu.

Karen sebenarnya tidak tahu bagaimana harus bersikap di hadapan Esa sejak kejadian tadi malam, namun laki-laki itu berperilaku seolah tak ada hal baru yang terjadi diantara mereka.

Lebih anehnya lagi, Esa memasakkannya makan malam setelah kejadian itu.

  "Mau foto?" tanya Reza.

Di tangannya sudah terdapat kamera jaman dahulu milik ibunya yang kini sering ia bawa kemana-mana.

  "Yes." balas Karen.

Ia tidak merasa perlu membangunkan Esa karena laki-laki itu tertidur dengan nyenyak dan tidak terlihat seperti akan menghasilkan foto yang memalukan.

Hari ini banyak sekali foto yang sudah dilakukannya bersama banyak orang. Foto formal untuk sekolah, foto bersama teman-teman dekatnya, foto dengan Esa juga tak kalah banyak.

  "Thank you, my baby." kata Karen.

Temannya tersenyum geli. "You are my baby." katanya memberi penekanan pada kata you.

Laki-laki itu kembali berjalan menyambangi teman-temannya yang lain untuk dipotret, sesekali ia dan Amora bertengkar mengenai objek foto.

Perkemahan tahun ini adalah acara terakhir sebelum ia dan teman-temannya meninggalkan sekolah dan melanjutkan ke jenjang kehidupan yang lebih rumit yaitu perkuliahan.

Karen yang menyadari hal tersebut memandangi suasana yang sedang terjadi saat ini, beberapa teman yang bernyanyi riang, beberapa lagi bertengkar ringan dan juga beberapa terlelap seperti halnya Esa.

Ketika hari-hari biasa, Esa terlihat tenang dan damai, ia juga sesekali tersenyum pada celoteh Andre yang senang bercanda, ada juga hari di mana ia terlihat mengerutkan keningnya ketika ada orang yang membuatnya jengkel, dan ada hari di mana ia memperhatikan Karen dari kejauhan.

Kini, saat tertidur, Esa terlihat lebih damai dari hari-hari biasa tersebut. Ia membiarkan penjagaannya lepas ketika tertidur, membuatnya menjadi lebih santai dan tenang.

Karen mengalihkan pandangannya ke jendela, rintik hujan terlihat mengetuk-ketuk jendela bis yang ditumpanginya, pemandangan yang cukup mencekam.

Ia takut sekali duduk di dekat jendela dengan pemandangan langsung menghadap langit gelap dengan hujan sedang berpesta pora, jadi ia menarik tirai jendela untuk menutupi pemandangan tersebut.

Beberapa saat lagi mereka akan sampai di sekolah, mungkin kurang dari satu jam lagi.

Karen mulai mengingat-ingat barang apa yang harus diperhatikannya saat turun dari bis nanti, mengurungkan niatnya untuk melakukan hal itu sekarang karena akan membangunkan Esa.

Mikaila: pulang naik apa?

08:22 am

Karenia: Esa

08:24 am

Mikaila: naik Esa??? Girl I-

08:24 am

Karen langsung menutupi ponselnya dan melihat keadaan sekitar, khawatir ada yang memperhatikan percakapan Miki barusan.

Karenia: maksudnya diantar Esa!!!!

08:25 am

Mikaila: HAHAHA okay

08:25 am

Ia menyudahi obrolan dengan tidak membalas Miki dan beralih pada aplikasi bergambar kamera, menjelajahi banyak tempat.

Banyak teman-teman sekolahnya yang sudah mengunggah foto perkemahan yang baru berakhir sekitar satu jam lalu, menyenangkan sekali melihatnya.

Di beberapa unggahan tersebut terdapat potret dirinya yang tak sengaja tertangkap, ada juga yang memang dirinya sengaja agar masuk dalam foto.

  "Esa, ayo udah mau sampai." panggil Karen pelan.

Esa tak bergerak sedikit pun atau menunjukkan perilaku yang menandakan akan bangun.

  "Sa," panggilnya lagi dengan mengguncang punggung Esa.

Kini Esa membuka matanya, memperhatikan Karen perlahan-lahan.

  "Sorry," katanya.

Karen memberinya sebotol air mineral, pasti melelahkan tidur di perjalanan.

Ia sengaja membangunkan Esa agar tidak bosan menghabiskan waktu sendirian bermain ponsel dan memperhatikan teman-temannya yang sudah mulai bertingkah.

Esa terheran melihat Karen tidak tidur dan tetap terjaga dalam kebosanan, pikirnya gadis itu akan terlelap setelah bosan.

  "Sa, lo pakai kendaraan apa?" tanya Karen.

Ia ingin cepat sampai rumah dan tak ingin menunggu hujan reda, jadi jika jawaban Esa adalah membawa kendaraan roda dua, ia akan lebih memilih pulang sendiri atau ikut Miki dan Adele.

  "Mobil," jawabnya.

Karen tersenyum senang. "Okay!" jawabnya riang.

Tepat pembicaraan mengenai kendaraan selesai, bis yang dinaiki memasuki kawasan sekolah, terdengar suara senang beberapa temannya.

Esa turun terlebih dahulu, menunggu Karen bangkit dari kursi dan baru berjalan ketika Karen berdiri mengikuti.

Hujan masih mengguyur ketika ia menapakkan kaki di lobi sekolah, membuatnya sedikit basah ketika turun dari bis.

Bis yang ditumpangi Adele dan Serena sudah terlebih dahulu sampai, disusul bis Karen dan di belakangnya sudah antre bis yang ditumpangi oleh Miki.

  "Mau langsung pulang?" tanya Karen.

Esa menjulurkan tangannya, memeriksa hujan yang turun. "Terserah," balasnya.

  "Ayo, hujan tanggung gini selesainya lama."

Tanpa banyak basa basi karena beberapa hari lagi juga ia akan kembali bertemu teman-temannya, jadi ia langsung berjalan menuju lapangan parkir bersama Esa.

Ia menggunakan tangannya untuk menghadang hujan yang hendak menyerang kepalanya, sementara Esa terlihat santai berjalan dengan jaket bertudungnya.

Beberapa anak yang sedikit nekat seperti Esa alias anak-anak yang memarkirkan kendaraan di sekolah, terlihat berjalan menuju lapangan parkir, cukup ramai hingga pemandangan ini terlihat seperti parade mandi hujan.

Karen memainkan pintu kendaraann Esa yang sengaja belum dibuka agar gadis itu kesal sementara Esa memandanginya dengan senang.

  "Esa ayo!" teriak Karen.

Esa tak kunjung membuka kunci, malah membuka ponselnya dan memotret Karen beberapa kali hingga Karen benar-benar jengkel.

  "Moron," kata Karen ketika akhirnya Esa membuka kunci.

Kini Esa tertawa sambil memasukkan dirinya ke kendaraan, laki-laki itu menyalakan pemanas ruangan agar Karen tidak kedinginan apalagi terkena flu.

  "Sabar, jalan ga macet kok." balas Esa

Karen setengah mendengarkan karena ia sibuk menggunakan tissue pada rambutnya agar tidak terlalu basah dan terlihat seperti kucing yang baru saja mandi.

Esa meluncur melintasi jalanan licin ditemani suara hujan yang kian deras mengguyur.

Perhatian Karen buyar dan memfokuskan dirinya memejamkan mata sambil memeluk dirinya sendiri karena kedinginan.

Tak ada pemikiran lain selain susu panas, sweater hangat dan tempat tidurnya saat ini. Pasti menyenangkan sekali untuk bisa cepat sampai ke rumah dan meraih hal tersebut.

Mungkin akan lebih nyaman jika Esa ikut meraihnya, pikir Karen.

Gadis ini memang menuju ambang batas kehilangan kewarasannya.

  "Mau mampir ngga?" tanya Karen ketika laju kendaraan sudah mulai memasuki jalan rumahnya.

  "Ngga," jawab Esa singkat.

  "Okay."

Esa memarkirkan kendaraannya di depan gerbang rumah Karen, entah minta dibukakan gerbang atau hanya sampai sini saja ia mengantar gadis itu.

  "Belum mau pulang?" tanya Esa dengan wajah datar seperti biasanya.

  "Hujan,"

  "Pakai jaket, cuma sebentar. Jarak gerbang ke rumah juga dekat." kini Esa melepas jaketnya dan memberikannya pada Karen.

Secara mengejutkan pintu gerbang rumah Karen terbuka, menampilkan laki-laki berusia paruh baya yang menggenggam payung di jemarinya.

  "Money bag!" jerit Karen dengan wajah senang dari dalam mobil.

Gadis itu kini mendekatkan dirinya ke arah jendela yang sudah dibukanya setengah.

  "Money bag!" panggil Karen.

Laki-laki itu mendekat dengan wajah yang tak kalah senang.

  "Terima kasih ya sudah antar Karenia," sapa Papa Karen pada Esa yang terlihat kebingungan.

  "Sama-sama, Om." jawabnya gugup.

Karen membuka pintu kendaraan dan ikut berteduh di bawah payung Papanya tersebut. "Thank you, Esa." kata Karen.

  "Ayo mampir dulu," ajak Papanya.

  "Terima kasih, Om. Saya langsung pulang aja," jawab Esa dengan lugas.

  "Lain kali mampir ya, hati-hati di jalan." akhir Papa Karen.

Setelah mengucapkan salam dan berpisah dengan Karen, Esa menancap gas dan mengemudi dengan perasaan yang tidak diketahuinya.

Sementara Karen kini senang Papanya sudah kembali, kini tak perlu khawatir mengenai uang jajan atau hal lainnya.

  "Papa baru pulang?" tanya Karen.

  "Engga juga sih, beberapa jam lalu," jawab Papanya sambil menutup kembali gerbang.

Karen tidak langsung membersihkan dirinya ketika sampai rumah, malah langsung menyantap sarapan untuk kedua kalinya setelah tadi pagi ia sarapan di perkemahan.

Menu sarapan hari ini adalah kesukaan Karen, yaitu nasi goreng dengan telur mata sapi setengah matang. Ia menyantap makanan itu dengan senang.

  "Ohiya, kakak kamu hari ini datang." kata Papahnya.

Karen menatap Papanya dengan wajah terkejut, Papanya ini selalu memanggil Anzal dengan sebutan 'Kakak' jika membicarakannya dengan Karen.

  "He's not your son," ucapnya datar.

  "Its your mother's step son," jelas Papanya.

Anzal hanya berbeda setahun dengan Karen, kini ia sudah berada di tahun pertama perkuliahan. Ia tidak tinggal di kota ini, tidak juga di kota tempat Ibu Karen tinggal.

Dengan kata lain, Anzal adalah orang asing.

Saat kecil mereka sering menghabiskan waktu bersama, itu pun hanya ketika Karen tinggal di rumah Ibunya saat liburan sekolah.

Karen tidak membenci Anzal, tetapi tidak juga menyukainya. Hanya saja belakangan ini ia menyadari bahwa laki-laki itu mendapat lebih banyak perhatian dari Ibunya dibanding dirinya sendiri.

  "Kenapa Anzal tiba-tiba ke sini? Libur?" tanya Karen.

  "Mungkin? Papa ga nanya, kakakmu cuma bilang mau tinggal disini satu minggu."

Anzal berkunjung saja sudah cukup mengejutkan, laki-laki itu akan tinggal di sini selama satu minggu sangat mengejutkan.

Kata berisik bahkan bukan kata yang tepat untuk menggambarkan Anzal, ia terlalu sering membuat kegaduhan. Ia sangat aktif dan tidak suka berdiam diri selama sejam lebih kecuali saat tertidur.

  "Kamu kalau mau istirahat gapapa nanti Papa bilang ke Anzal kamu tidur, jadi ngga ganggu." kata Papanya.

Ya, betul. Karen membutuhkan istirahat karena selama tiga hari ia merasa seperti disiksa di hutan belantara.

Makan tidak teratur, tidur kedinginan dan bahkan melihat teman dekatnya kerasukan hantu.

Sungguh tiga hari yang aneh.

Karen pamit istirahat setelah selesai makan dan menghabiskan beberapa potong kerupuk ikan, membawa tas besar yang berisi pakaian kotor dan satu buah selimut.

Ia menolak untuk terlena pada godaan berbaring dan kembali tidur, ia harus membersihkan diri terlebih dahulu sebelum menyentuhkan dirinya dengan tempat tidur.

Suara ketukan pintu kamarnya membuat Karen mengalihkan perhatiannya dari ponsel, menunggu si pengetuk menyampaikan maksud, tapi tidak ada sepatah kata yang terdengar.

  "Karen tidur, Zal. Ikut main golf, yuk?" terdengar suara Papa Karen.

Untung belum buka pintu, batin Karen dalam hati.

  "Boleh, di mana? Aku gapapa ikut?" suara Anzal terdengar samar-samar menghilang.

Karen tidak akan pernah mengerti dengan sikap Papanya pada Anzal. Anzal bukan anak laki-lakinya dan meski ia anak sambung dari Mamanya tetap saja itu bukan alasan untuk akrab dengan anak dari laki-laki yang mempersunting Mamanya itu.

Anzal dan Papanya cukup menghabiskan waktu bersama untuk ukuran orang yang tidak memiliki hubungan darah, seolah memang ayah dan anak.

Aneh.

Karen menghabiskan waktunya memilah foto-foto untuk diunggah ke sosial media, ada banyak foto aneh di sini yang tidak disukainya. Namun, ia akan tetap mencetak semua foto tersebut dalam bentuk fisik untuk disimpan di album foto koleksinya.

Saat jemarinya sedang bermain-main pada layar ponsel, Karen menemukan fotonya bersama Esa di perkemahan. Foto itu diambil ketika Esa datang menghampirinya untuk menanyakan bagaimana kabarnya, menggemaskan sekali.

Karen mulai berpikir ia menyukai Esa. Bagaimana bisa tidak suka pada laki-laki yang merawat ketika sakit dan menghajar sekumpulan cowok jahat? Pikir Karen.

Apa ia mulai berubah menjadi gadis mesum? Ia memikirkan bagaimana rasanya ketika Esa menciumnya dan menariknya mendekat semalam.

Bibir Esa terasa lembut, berbanding terbalik dengan ciumannya yang terkesan menuntut. Wah, mulai gila, pikir Karen.

Sekarang seperti apa hubungan mereka? Apa masih teman satu kelas yang sering menghabiskan waktu bersama? Pertanyaan ini memusingkan Karen.

Menurut Karen, hubungan mereka terlalu cepat. Mereka baru dekat beberapa minggu dan semalam sudah berciuman, secepat kilat.

Memikirkan Esa sangat memusingkan dan membuatnya lelah, hingga ia benar-benar tidak sengaja tertidur dengan masih memegang ponsel di tangan.

  "Kar, bangun. Ayo makan malam," terdengar suara ketukan disertai ucapan.

Ketukan itu tak kenal ampun.

  "Iya nanti nyusul," balas Karen setengah sadar.

  "Ayo gue udah lapar, cepat sebelum gue dobrak!" kata Anzal.

Karen benar-benar akan membunuh Anzal suatu saat nanti jika ia terus mempertahankan sikap menjengkelkannya itu.

  "Iya nanti turun! Astafirullah istighfar gue,"

  "Kita ga makan di rumah, ayo cepetan."

Gadis itu bangkit dan mencuci wajahnya, memulas beberapa make up agar terlihat segar dan bagian paling membuatnya pusing adalah mencari pakaian untuk dipakai.

Khawatir akan mendatangi tempat makan yang cukup bagus, Karen menggunakan dress yang terlihat tidak terlihat formal dan tidak juga terlalu lusuh.

"Ayo lama banget lo," kata Anzal yang mendatangi kamar Karen untuk kedua kalinya.

Anzal benar-benar membuatnya jengkel dengan mulut bawelnya itu, anehnya ia hanya berisik pada Karen dan menjadi pendiam saat berada di dekat Papanya atau bahkan Ayahnya.

"Anzal bawel banget mulut lo gapernah dicabein nyokap lo?" tanya Karen saat laki-laki itu tetap mengoceh di perjalanan menuju tempat makan.

Anzal tertawa mendengar perkataan Karen. "Jangankan cabein mulut gue, gendong gue aja belum pernah dia keburu meninggal."

"Psycho." balas Karen singkat.

Mereka sampai di tempat makan sushi, sedikit jauh dari ekspektasi Karen, tapi ia tidak akan menolak sushi karena itu adalah salah satu makanan kesukaannya.

Anzal juga terlihat senang sementara Papanya terlihat lebih senang lagi. Karen memiliki teori kalau Papanya sebenarnya menginginkan anak laki-laki dibanding perempuan, itulah alasan ia memperlakukan Anzal seperti Karen.

"Kar, itu teman kamu 'kan?" tanya Papanya menunjuk laki-laki yang duduk empat meja di belakangnya.

tbc