webnovel

MENGEJAR CINTA MAS-MAS

Gladys Mariana Pradito "Sudah deh mi... aku tuh bosen dengar itu lagi itu lagi yang mami omongin." "'Makanya biar mami nggak bahas masalah itu melulu, kamu buruan cari jodoh." "Santai ajalah. Aku kan baru 24 tahun. Masih panjang waktuku." "Mami kasih waktu sebulan, kalau kamu nggak bisa bawa calon, mami akan jodohkan kamu dengan anak om Alex." "Si Calvin? Dih ogah, mendingan jadian sama tukang sayur daripada sama playboy model dia." **** Banyu Bumi Nusantara "Bu, Banyu berangkat dulu ya. Takut kesiangan." "Iya. Hati-hati lé. Jangan sampai lengah saat menyeberang jalan. Pilih yang bagus, biar pelangganmu nggak kecewa." "Insya Allah bu. Doain hari ini laku dan penuh keberkahan ya bu." "Insya Allah ibu akan selalu mendoakanmu lé. Jangan lupa shodaqohnya ya. Biar lebih berkah lagi." "Siap, ibuku sayang." **** Tak ada yang tahu bahwa kadang ucapan adalah doa. Demikian pula yang terjadi pada Gladys, gadis cantik berusia 24 tahun. Anak perempuan satu-satunya dari pengusaha batik terkenal. Karena menolak perjodohan yang akan maminya lakukan, dengan perasaan kesal dan asal bicara, ia mengucapkan kalimat yang ternyata dikabulkan oleh Nya.

Moci_phoenix · Urban
Not enough ratings
108 Chs

MCMM 85

Happy reading

"Dys, elo sudah siap kan?" tanya Khansa pada Gladys yang sedang dirias. Ya, hari ini adalah hari pernikahan Gladys dengan Lukas yang diadakan di resort milik keluarga Van Schumman.

"Sa, perasaan gue dari kemarin kok nggak enak ya.Gue mendadak nggak yakin deh."

"Hush.. jangan sembarangan ngomong. Pamali tau ngomong kayak gitu di hari pernikahan lo." Ayu mengingatkan.

"Jangan-jangan itu karena beberapa hari lalu elo bertemu dengan Banyu," celetuk Khansa.

"Yang benar Dys? Elo beneran ketemuan sama Banyu? Dimana? Ngapain?" Bertubi-tubi pertanyaan diajukan oleh para sahabatnya.

Gladys menatap satu persatu wajah sahabatnya. Saat bertatapan dengan Qori entah mengapa muncul perasaan tak enak di hatinya. Sorot mata Qori menunjukkan ada sesuatu yang ia sembunyikan.

"Wajar kok calon pengantin merasa ragu atau stress saat akan menikah. Gue aja dulu begitu pas mau menikah dengan Erick. Gue malah lebih parah, sampai jatuh sakit. Lo ingat itu kan, Dys?" tanya Qori. "Tapi saat melihat dia melakukan ijab qabul dengan ayah, perasaan was-was dan segala kecemasan gue menghilang. Dan lo liat sekarang di perut gue ada Erick junior."

"Iya Dys. Gue juga begitu waktu mau akad nikah dengan bang Ghif. Hampir pingsan gue gara-gara stress. Padahal sebelumnya gue yakin banget." Khansa berusaha menenangkan Gladys.

"Tapi semalam gue mimpi buruk. Sudah beberapa hari ini gue mimpi buruk. Gue nggak ingat cerita persisnya. Yang gue ingat seperti ada yang menarik gue menjauh dan gue terbangun sambil menangis." Pandangan Gladys terlihat menerawang.

"Itu mah bunga tidur karena elo stress aja kali," celetuk Intan. Yang lainnya mengangguk setuju kecuali Qori.

"Qoi, elo kenapa sih? Kayaknya hari ini elo lagi banyak pikiran ya?" tanya Wina yang rupanya dari tadi memperhatikan Qori.

"Nggak papa. Gue cuma nggak nyangka aja sahabat kita yang dulu selalu bilang belum mau menikah, hari ini bakal menjadi seorang istri." Qori menyusut sudut matanya. "Gue ikut bahagia, Dys. Gue doain semoga hari ini semuanya berjalan lancar dan tidak ada halangan apapun."

"Terima kasih Qoi. Buat kalian juga, terima kasih ya selalu ada buat gue. Selama ini gue selalu menjadi bridemaids kalian dan sekarang gantian kalian yang nanti malam menjadi bridemaids gue."

"Kak... kak Gladys.." Terdengar suara pelan menyapa ragu. Gladys menoleh ke arah suara tersebut dan dilihatnya Nabila berdiri di dekat pintu.

"Eh Bila.. baru datang, dek? Sini kakak kenalkan dengan sahabat-sahabat kakak. Kamu sudah pernah bertemu dengan beberapan orang dari mereka." Gladys melambaikan tangan meminta Nabila mendekat. "Kenalkan ini Nabila, adik bungsu mas Banyu. Nanti malam dia dan Aidan akan menjadi pengiring pengantin."

Semuanya dengan senang menyambut Nabila. Tak sedikit pujian dilontarkan pada Nabila sehingga membuatnya tersipu dan pipinya merah merona.

"Kak Khansa sudah pernah bertemu kamu beberapa kali, tapi melihat kamu hari ini kok pangling banget ya. Kamu kelihatan tambah cantik," puji Khansa.

"Ah, kak Khansa bisa saja. Ini gara-gara ibu dan kak Gladys yang menyuruh Bila dandan. Bila malu, kak."

"Lho kenapa malu. Kamu nggak kalah cantik lho dengan yang lain. Kak Wina yakin, yang lain nggak akan mengira kalau kamu masih SMP."

"Hihihi.. itu artinya wajah adek lebih tua dari umurnya dong." Semua tertawa mendengar ucapan Nabila. "Justru orang bingung kenapa ada anak kecil ikutan jadi bridemaids."

Tak lama, muncul Vania dari balik pintu. "Dek, Lukas dan rombongan sudah sampai. Kamu sudah siap?"

"Hmm... " Gladys terlihat ragu. Khansa memegang bahunya seolah memberikan kekuatan. "Insyaa.... Allah... kak."

"Dys, are you okay?" Vania kini mendekati Gladys. Dipegangnya tangan Gladys. Dingin. "How do you feel?"

"Aku merasa sesak kak. Jantungku berdegup lebih kencang dari biasanya. Badannku terasa aneh. Seolah nyawaku hanya setengah di badan ini," jawab Gladys.

"Coba kamu tarik nafas panjang dan hembuskan perlahan. Lakukan beberapa kali hingga kamu merasa tenang. Sepertinya kamu terkena panic attack." Vania memberikan instruksi. "Kalau sudah merasa tenang ayo kita keluar dan menuju tempat akad."

Setelah beberapa saat Gladys merasa lebih baik, walaupun entah kenapa masih terselip rasa tak nyaman yang ia tak tahu apa penyebabnya. Akhirnya Gladys bersama yang lain menuju tempat akad akan dilaksanakan. Khansa menepuk-nepuk tangan Gladys yang menggenggam erat lengannya.

"Bismillah saja Dys. Minta sama Allah supaya semuanya berjalan lancar."

Kini mereka telah memasuki ruangan akad. Lukas menatap penuh kekaguman pada Gladys yang hari itu terlihat semakin cantik dari biasanya. Matanya tak lepas memandang calon istrinya. Sementara itu jantung Gladys kembali berdegup kencang. Pegangannya pada lengan Khansa semakin erat. Khansa dapat merasakan tangan Gladys kembali dingin.

"Tenang Dys. Atur nafas. Elo nggak mau kan di youtube beredar video elo pingsan di hari pernikahan?" bisik Khansa berusaha menenangkan sahabat sekaligus adik iparnya. "Nanti malam bakal lebih deg-degan daripada sekarang. Hihihi..."

Akhirnya Gladys bisa tiba di samping Lukas yang terus menatapnya. "Kamu sangat cantik hari ini," bisik Lukas.

"Bisa kita mulai acaranya? Sepertinya calon mempelai pria sudah tak sabar. Dari tadi saya lihat tidak pernah melepaskan pandangannya dari calon mempelai wanita," ledek sang penghulu yang disambut tawa para kerabat yang saat itu hadir.

Setelah pembukaan dan sedikit wejangan dari penghulu, kini tibalah saatnya pelaksanaan ijab qabul.

"Sebelum kita memulai acara yang paling sakral ini, saya akan mengajukan beberapa pertanyaan. Apakah pernikahan ini atas dasar kemauan kedua mempelai?" Lukas dengan yakin mengangguk. Berbeda dengan Gladys yang sedikit ragu saat mengangguk. Praditho yang duduk di hadapan sang putri menatapnya prihatin. Ia tahu bagaimana putrinya hingga akhir masih belum bisa melupakan Banyu.

"Apakah ada pihak yang keberatan dengan pernikahan mereka?" Kembali penghulu mengajukan pertanyaan. Tak ada yang menjawab. "Baiklah karena tidak ada yang keb..."

"TUNGGU!! SAYA KEBERATAN DENGAN PERNIKAHAN INI!!" Tiba-tiba Geraldine menerobos masuk ke dalam ruangan. Walaupun hari itu dia berdandan sangat cantik, namun terlihat wajahnya yang lelah.

Semua kerabat terkejut melihat kehadiran gadis itu. Di belakangnya Erick berusaha menahan langkah gadis itu dengan memeluknya tapi Geraldine memberontak dan terus melangkah menuju meja akad. Pandangannya tajam tertuju pada Lukas. Robert yang duduk di kursi saksi bangkit berusaha menahan Geraldine. Namun semuanya sia-sia. Geraldine tetap memaksa maju.

"GE, JAGA SIKAP KAMU!" Tegur Robert keras sambil memeluk anaknya. Erick tetap berdiri di belakang Geraldine. Sementara itu, Zahra sang mama terlihat mulai menangis dipeluk oleh Qori. Eyang Tari dan Cecile saling berpandangan dengan heran melihat kejadian ini.

"NGGAK PA. KAK LUKAS NGGAK BOLEH MENIKAH DENGAN KAK ADIS!" Geraldine berkata keras namun dingin. "AKU NGGAK SETUJU MEREKA MENIKAH!!"

"GE, JANGAN NGACO KAMU! PAPA SUDAH BILANG, KAMU NGGAK USAH KESINI. PAPA SUDAH BILANG LUPAKAN HAL ITU!" Bentak Robert keras. Gladys langsung berdiri dari kursinya, Lukas menahan tangannya namun Gladys menepisnya.

Gladys berjalan mendekati Geraldine. Lukas berdiri dan mencoba menahan langkah Gladys dengan memeluknya. Namun Gladys melepaskan diri dari pelukannya. Ia terus mendekati Geraldine. Make up tak mampu menutupi wajah Gladys yang terlihat sedikit memucat. Tatapan matanya menunjukkan rasa terkejut sekaligus kecemasan.

"Om, biarkan Ge menyampaikan apa yang ia ingin sampaikan di hadapan semua orang," ucap Gladys dengan suara bergetar. "Ge, apa maksudmu dengan tidak menginginkan pernikahan di antara kami?"

"Kak Lukas tidak seharusnya menikahimu," ucap Geraldine dingin.

"Kenapa? Kamu tahu kami sudah merencanakan pernikahan ini. Kenapa tiba-tiba hari ini kamu menentang pernikahan ini?" tanya Gladys dengan suara lembut, berusaha berhati-hati agar Geraldine tidak marah.

"AKU NGGAK MAU AYAH DARI ANAKKU MENIKAH DENGAN KAK ADIS!" Ucapan Geraldine bagaikan petir di hari yang cerah. Tak sedikit terdengar pekikan kaget dari para kerabat. Bahkan Gladys terlihat mematung saat mendengar ucapan Geraldine. Demikian juga dengan Lukas yang tak bisa menyembunyikan keterkejutannya.

"APA MAKSUDMU?!" tanya Lukas dengan suara keras. "KAMU JANGAN BERCANDA GE! ITU SAMA SEKALI NGGAK LUCU!"

"AKU NGGAK BERCANDA KAK. AKU BENAR-BENAR HAMIL DAN INI ANAKMU!" Teriak Geraldine sambil berurai air mata. Suasana mendadak sunyi senyap. Tak ada yang mampu bersuara setelah mendengar ucapan Geraldine.

"Ge, apakah kata-katamu ini benar?" tanya Gladys perlahan dengan suara tenang. Reaksi yang berbeda dari yang diperkirakan. Geraldine langsung meghambur ke dalam pelukan Gladys dan menangis sesenggukan.

"Maafin Ge, kak. Maafin Ge." Gladys memeluk erat Geraldine. Air matanya luruh melihat betapa Geraldine sebenarnya saat itu lemah. Ia tak tahu kesulitan apa yang harus Geraldine hadapi saat menghadapi kenyataan tersebut.

"Mas .... " Semua mata memandang Gladys yang masih memeluk Geraldine. Lukas hanya bisa terdiam. Dia menatap Gladys dengan pandangan bingung. Ia benar-benar tak menyangka akan terjadi hal seperti ini di hari pernikahannya dengan Gladys.

"Sayang..." Lukas maju menuju Gladys, namun Gladys menyuruh berhenti dengan tangannya.

"Kamu harus menikahi Ge. Hari ini, disini." Ucapan Gladys benar-benar bagaikan bom yang dijatuhkan di tengah-tengah ruangan.

Meisya dan Cecile bersamaan terpekik mendengar ucapan Gladys. Sementara Zahra semakin keras menangis dalam pelukan Qori. Robert hanya bisa terduduk lemas. Praditho dan Bram hanya bisa saling pandang. Mereka tak tahu harus bereaksi seperti apa.

"Itu nggak mungkin Dis. Aku hanya mencintaimu." sahut Lukas. "Aku nggak mencintai Ge. Please, jangan suruh aku menikahi dia."

"Mas, jadilah pria bertanggung jawab. Tunjukkan pada semua orang, kamu pantas menjadi penerus Brama's Corp. Buktikan pada orang tuamu dan seluruh kerabat kita bahwa kamu bukan pria bajingan. Kamu adalah dokter Lukas Prawira yang mampu bertanggung jawab atas semua perbuatanmu. Inilah saatnya kamu menjadi manusia yang jauh lebih baik lagi."

"Sweetie... please.."

"Kalau mas tidak mau bertanggung jawab maka aku akan membencimu seumur hidupku. Ge adalah adikku. Aku menyayanginya. Tolong, ini permintaan terakhirku kepadamu. Buatlah aku bahagia dengan menikahi Ge. Aku akan sangat bahagia bila melihat orang-orang yang kusayangi bahagia. Kebahagiaan mas Lukas bukan bersamaku, tapi bersama Ge dan anak yang ada di dalam kandungannya."

Wajah Lukas tampak putus asa. Matanya terlihat berkaca-kaca. Ia sangat mencintai Gladys. Ia hanya menginginkan gadis itu. Namun saat ia melihat tatapan memohon di mata gadis pujaannya, ia tahu tak ada yang bisa dilakukan selain menuruti keinginannya. Menuruti keinginan gadis yang selama bertahun-tahun ini dicintainya dalam diam.

"Apakah kamu benar-benar akan bahagia bila aku menikahi Ge?" tanya Lukas lemah. Tak terlihat lagi rasa percaya diri yang selama ini selalu terpancar dari dirinya. Kini yang tampak hanyalah Lukas yang putus asa dan sedih.

"Iya mas. Aku akan sangat bahagia bila itu terjadi," jawab Gladys. "Nikahi dan cintai dia seperti mas mencintaiku dan lupakan rasa cintamu kepadaku."

"Tapi Dys... Itu bukan hal mudah untukku. Mungkin aku bisa menikahinya, tapi aku tak tahu apakah aku bisa mencintainya."

"Please mas, lakukan itu untukku," pinta Gladys sambil tersenyum menenangkan. Diraihnya tangan Lukas dan disatukannya dengan tangan Geraldine. "Aku bersyukur pernah merasakan cinta darimu mas. Namun aku lebih bersyukur karena Ge menikah dengan pria sepertimu. Aku yakin kalian akan saling melengkapi dan saling membahagiakan."

"Kak, maafin Ge," bisik Geraldine. "Ge terpaksa merenggut kebahagiaan kak Adis."

"Aku ikhlas mengorbankan kebahagiaanku bila itu bisa membuat orang-orang yang kusayang bahagia. Menikahlah dengan mas Lukas. Berbahagialah dengannya. Jadilah wanita, istri dan ibu yang baik untuk mas Lukas dan anak yang ada di dalam kandunganmu. Ini saatnya kamu memperbaiki hidupmu. Aku sayang kalian, kamu dan mas Lukas."

Gladys mendorong keduanya ke meja akad dimana ijab qabul akan diadakan. Setelah keduanya duduk, Gladys memutar tubuhnya menghadap para kerabat.

"Adis mohon maaf atas apa yang terjadi saat ini. Tindakan ini Adis ambil bukan karena tidak menghormati mami, papi, om Bram dan tante Meisya. Mungkin Adis dan mas Lukas memang tidak berjodoh. Sengotot apapun kami berusaha, rencana Allah selalu yang terbaik untuk semua."

Kali ini Praditho bangkit dari kursinya dan langsung memeluk erat putri kesayangannya. Tak banyak yang diucapkan seolah mereka saling mengerti jalan pikiran masing-masing.

"Adek sudah dewasa. Anak kesayangan papi sudah dewasa," bisik Praditho.

Tak lama akad selesai dilaksanakan. Lukas langsung mencari Gladys, namun ia tak dapat menemukannya.

"Ghif....." Belum selesai Lukas bicara, bogem mentah sudah mendarat di pipinya. Lukas tak berusaha melawan karena tahu ia telah melakukan kesalahan.

"Terima kasih karena nggak jadi menikahi adik gue. Jaga Ge dan jadilah suami serta ayah yang baik." Ghiffari langsung meninggalkan Lukas setelah selesai mengucapkan hal itu. Lukas hanya mampu menyusut darah di ujung bibirnya. Tiba-tiba.....

"Ge... bangun Ge.. bangun!" Lukas menoleh dan dilihatnya Ge, istrinya, tergolek di lantai. Lukas langsung mendekat dan memeriksa. Tanpa banyak bicara Lukas langsung mengangkat tubuh Geraldine dan membawanya ke rumah sakit terdekat.

Sementara itu Gladys dan Endah dalam perjalanan pulang. Air mata mengalir di pipinya. Ia menangis bukan karena tak sanggup melihat Lukas diambil oleh Geraldine namun ia merasa sangat lelah setelah selama ini menahan berbagai macam emosi. Rencana Allah adalah yang terbaik untukku, bisik Gladys dalam hati. Aku bersyukur Allah menjauhkanku dari berpura-pura seumur hidup.

⭐⭐⭐⭐