webnovel

MENGEJAR CINTA MAS-MAS

Gladys Mariana Pradito "Sudah deh mi... aku tuh bosen dengar itu lagi itu lagi yang mami omongin." "'Makanya biar mami nggak bahas masalah itu melulu, kamu buruan cari jodoh." "Santai ajalah. Aku kan baru 24 tahun. Masih panjang waktuku." "Mami kasih waktu sebulan, kalau kamu nggak bisa bawa calon, mami akan jodohkan kamu dengan anak om Alex." "Si Calvin? Dih ogah, mendingan jadian sama tukang sayur daripada sama playboy model dia." **** Banyu Bumi Nusantara "Bu, Banyu berangkat dulu ya. Takut kesiangan." "Iya. Hati-hati lé. Jangan sampai lengah saat menyeberang jalan. Pilih yang bagus, biar pelangganmu nggak kecewa." "Insya Allah bu. Doain hari ini laku dan penuh keberkahan ya bu." "Insya Allah ibu akan selalu mendoakanmu lé. Jangan lupa shodaqohnya ya. Biar lebih berkah lagi." "Siap, ibuku sayang." **** Tak ada yang tahu bahwa kadang ucapan adalah doa. Demikian pula yang terjadi pada Gladys, gadis cantik berusia 24 tahun. Anak perempuan satu-satunya dari pengusaha batik terkenal. Karena menolak perjodohan yang akan maminya lakukan, dengan perasaan kesal dan asal bicara, ia mengucapkan kalimat yang ternyata dikabulkan oleh Nya.

Moci_phoenix · Urban
Not enough ratings
108 Chs

MCMM 66

Happy Reading ❤

"Dek... dek..." Gibran mengetok kamar Gladys. Namun tak terdengar sahutan. Gibran mendadak panik. Aduh, jangan-jangan si Gladys pingsan lagi nih. Segera Gibran membuka pintu kamar Gladys yang untungnya tidak terkunci.

"Deek.. elo dimana?" Masih tak terdengar sahutan. Ya ampun tuh anak dimana sih? Gibran mengetuk pintu kamar mandi tapi tetap tak ada sahutan. Dibukanya pintu kamar mandi yang lagi-lagi tak terkunci. Kosong. Kemana sih nih anak.

"Endaaaah... Endaaaah...!!" panggil Gibran dari depan kamar Gladys.

"Ada apa sih bang teriak-teriak aja? Kasihan eyang kakung dan eyang uti. Bisa kumat penyakit jantung eyang kakungmu." tanya Cecile yang baru keluar kamar.

"Gladys nggak ada di kamarnya, Mi." Gibran menghampiri Cecile.

"Cuma gitu aja kok panik?"

"Nanti kalau dia sakit lagi gimana? Kalau dia pingsan lagi gimana?"

"Duuh.. sayang banget ya sama adiknya." ledek Cecile.

"Ya bukan gitu juga, Mi. Nanti kalo adek kenapa-napa, siapa yang abang gangguin lagi?" elak Gibran.

"Tadi jam 6 Lukas jemput adikmu. Mau diajak olahraga ke stadion katanya."

"Lukas?" Cecile mengangguk.

"Kenapa bingung?"

"Bukannya dia nggak suka sama Lukas, Mi?"

"Dia bilang mau mencoba mengenal Lukas lebih jauh."

"Oh ya? Waah hebat tuh anak. Secepat itu move on dari Banyu."

"Bang, mami feeling guilty deh sama adikmu. Gara-gara mami paksa dia ikut ke acara diner itu, hubungan dia dan Banyu berantakan."

"Nggak salah mami jugalah. Memang sudah begitu jalannya, Mi."

"Iya mami tau itu memang sudah jalan dari Allah. Tapi tetap saja mami merasa bersalah karena gara-gara hubungannya dengan Banyu berantakan, adikmu stress dan jatuh sakit."

"Lalu sekarang gimana?"

"Mami ikut apa maunya Gladys aja deh. Kalau memang dia lebih memilih Banyu, mami nggak akan protes."

"Mami nggak malu kan punya menantu tukang sayur?" goda Gibran.

"Melihat Banyu, mami ingat papimu waktu muda. Pekerja keras dan pantang mundur. Itu yang bikin mami jatuh cinta sama papimu."

"Cieee nostalgia nih ceritanya."

"Ih, kamu itu paling bisa ya godain mami. Sana kamu ajak eyang kakung dan eyang uti sarapan. Papi nggak usah dibangunin. Kecapekan kayaknya."

"Hmm..." Gibran memperhatikan Cecile dari kepala hingga ujung kaki. Ia berjalan memutari Cecile layaknya seorang detektif.

"Kamu ngapain sih, bang?" tanya Cecile jengah.

"Mami sama papi habis ngapain? Kok jam segini papi masih tidur? Terus itu kenapa rambut mami basah? Biasanya kalau pagi-pagi begini rambut basah... mami sama papi habis 'itu' ya?" tebak Gibran sambil tertawa-tawa.

"Nih anak paling bisa banget kalau ngegodain maminya. Pengen mami cubit ya?" Cecile pura-pura mengancam Gibran. Yang diancam hanya tertawa sambil berlari menjauh.

⭐⭐⭐⭐

"Mas, sudahan ya jalan paginya."

"Masak baru jalan setengah jam saja sudah capek. Kamu itu harus berolahraga supaya tubuh kamu bugar dan nggak gampang jatuh sakit."

"Iya, tapi..."

"Nggak ada tapi-tapian. Atau kamu mau aku gendong?" goda Lukas sambil tersenyum jahil.

"Ih, modus!" Gladys berjalan meninggalkan Lukas yang masih terus tersenyum.

"Sayang, kamu tahu nggak ini salah satu impianku sejak lama. Olahraga bareng kamu. Walaupun aku lebih memilih olahraga 'itu' sama kamu."

"Mas Lukas apaan sih? Pikirannya nggak jauj-jauh dari sel*****ngan. Dasar dokter mesum!" Gladys makin cepat berjalan meninggalkan Lukas yang kini tergelak di belakangnya.

"Kenapa sih nggak boleh mesum sama calon istri sendiri? Atau aku mesumnya sama cewek lain saja?" goda Lukas setelah berhasil mensejajari langkah Gladys. Dan semua itu bukan suatu hal yang sulit mengingat langkah Lukas panjang-panjang.

"Siapa calon istri kamu?" tukas Gladys kesal karena diingatkan lagi tentang hal itu. "Ingat, nggak usah bahas soal pernikahan. Atau aku benar-benar nggak mau ketemu kamu."

"Oke.. oke.. Sweetie. Aku nggak akan bahas itu lagi. Kita mulai pelan-pelan ya. Apapun kulakukan demi bertemu kamu."

Gladys menghela nafas kesal, namun di salah satu sudut hatinya ia mulai mengagumi kegigihan Lukas mendekatinya. Bahkan ia mulai terbiasa dengan panggilan mesra yang selalu diucapkan Lukas. Hey, elo sudah mulai jatuh cinta sama dia? tanya sang otak kepada hatinya. Mungkin kehadirannya bisa menggantikan sosok dia yang pernah menyakitiku, jawab sang hati. Tapi apa dia pantas jadi imam lo? kembali sang otak bertanya. Ibadah dan akhlaknya masih harus lo pertanyakan.

"Sweetie, kamu memikirkan apa sih? Kok wajahmu serius banget. Atau ada yang sakit?" Tiba-tiba Lukas sudah berada di sampingnya dan memeluk bahunya.

"Ah nggak mikirin apa-apa."

"Beneran? Sayang, habis ini kita sarapan dulu ya. Setelah itu aku akan mengantarmu pulang."

"Mas, nggak usah peluk-peluk gitu ah. Malu."

"Nggak apa-apa dong kalau aku mau peluk ca....." Lukas langsung menutup mulutnya saat melihat wajah gusar Gladys. Ia langsung melepaskan tangannya dari bahu Gladys dan sebagai gantinya ia menggandeng tangannya. "Eits, kalau ini kamu nggak boleh protes. Aku nggak modus, hanya ingin menggandengmu."

Gladys membiarkan Lukas menggandeng tangannya. "Mas, boleh aku tanya sesuatu?"

"Hmm..."

"Kenapa kamu ingin menikahiku?"

"Apa itu masih perlu dipertanyakan?"

"Kuubah pertanyaanku. Kenapa kamu mencintaiku?"

"Kalau kamu tanya apa alasannya, aku nggak bisa menjawabnya. Aku hanya mengikuti perasaanku. Tapi bukan love at first sight juga sih. Karena rasa itu muncul justru setelah aku sering ikut Ghiffari menjemputmu. Kalau nggak salah waktu itu kamu sedang persiapan ujian SMP."

"Berarti mas Lukas sudah kuliah kedokteran dong. Kok mahasiswa naksirnya sama anak SMP. Pedofil itu mah." Lukas tertawa mendengar ucapan Gladys.

"Lho, yang namanya cinta kan nggak pandang usia. Bahkan ada lho anak muda naksir nenek-nenek. Atau bahkan anak gadis menikah dengan kakek-kakek."

"Padahal pas aku kelas 9 itu, aku kan jelek banget. Dekil, jerawatan. Nggak glowing kayak sekarang."

"Itu kan menurut kamu. Banyak lho teman-teman Ghiffari yang naksir kamu. Salah satunya Ardhan, yang sekarang jadi CEO muda perusahaan farmasi. Lalu ada Restu yang kini menjadi Kapolsek. Ada juga Firman yang kerja di Kejaksaan. Masih banyak lagi deh."

"Oh iya kalau bang Ardhan dan kak Firman aku masih ingat. Sampai sekarang mereka masih suka komen di IG-ku. Bahkan dulu pas aku kelas 11 kak Firman sempat nembak aku."

"Ngapain mereka masih suka komen? Mereka kan sudah pada nikah." Terdengar nada tak suka dari Lukas.

"Ya komen biasalah. Sama kayak kamu suka komen postinganku. Nggak ada bedanya."

"Tapi mereka kan sudah menikah." Lukas menunjukkan rasa cemburunya. "Kenapa dulu nggak pacaran sama Firman?"

"Dia nembak saat aku masih pacaran sama Revan. Ya nggak mungkinlah aku terima dia."

"Oh Revan, pacar kamu waktu SMP itu. Yang selingkuhin kamu, kan? Dasar cowok go***k. Cewek secantik kamu kok malah diselingkuhin."

"Kok kamu yang sewot, mas? Itu kan kejadian-kejadian yang sudah lalu. Kamu cemburu ya? Kalau begitu kenapa kamu nggak pernah menyatakan perasaanmu tapi malah gonta-ganti teman tidur. Asal kamu tahu ya mas, aku carinya perjaka tingting. Bukan yang sudah bekas."

"Yakin mau sama perjaka tingting yang nggak ngerti apa-apa? Lagipula kalau cowok kan nggak ada bekasnya, sayang."

"Ih, tetap saja jijik membayangkan kamu pernah tidur dengan cewek lain. Euugh."

"Jijik apa cemburu?" ledek Lukas.

"Ih, siapa juga yang cemburu. Sudah ah, pulang yuk," ajak Gladys.

"Hmm.. nggak sabar pengen ke apartemenku ya?"

"Idiih.. mulai deh mesumnya. Kata siapa aku mau ke apartemen kamu. Lagipula bukannya kamu hari ini ada praktek jam 10. Nanti kalau kelamaan olahraganya, kamu bisa telat."

"Wah, kamu sudah mulai hafal jadwalku rupanya."

"Gimana nggak hafal kalau sekretarismu mengirim jadwalmu. Komplit sampai kapan jam kamu nge-gym, meeting sama siapa, dimana, jam berapa. Aku bacanya aja pusing. Itu baru jadwal seminggu."

"Ya kamu harus mulai terbiasa melihat jadwalku yang padat. Suatu hari nanti mungkin kamu yang akan mengatur jadwalku."

"Ih itu mah mau kamu. Kamu kan punya sekretaris. Ya biar aja sekretarismu yang atur."

"Lho, kalau kita sudah menikah, sebagai istriku nanti kamu harus ikut mengatur jadwalku."

"Senang banget sih membahas masalah menikah." sahut Gladys dengan wajah jutek

"Oke, kalau kamu belum mau menikah apa itu artinya kamu maunya pacaran sama aku?" tanya Lukas serius.

"Nggak tau ah. Pulang yuk."

"Sayang, aku serius lho!!"

⭐⭐⭐⭐

Gladys >> Mas, kapan kita bisa bertemu?

Banyu membaca pesan yang masuk. Keningnya berkerut membaca pesan dari Gladys. Ada apa dia mengajak bertemu. Bukannya sudah tak ada yang perlu dibahas lagi? Dia sudah memilih Lukas. Bahkan keluarganya sudah menyetujui. Siapa sih yang akan menolak calon menantu seperti Lukas. Muda, kaya, sukses.

"Siapa Nyu? Gladys?" tanya Senja. Siang itu mereka sedang makan siang bersama Thoriq dan Mila.

"Iya," jawab Banyu singkat sambil mengantongi ponselnya.

"Kok nggak lo balas?" tanya Mila kepo. "Kalian masih berantem gara-gara urusan lamaran? Elo sudah pernah bahas itu dengan Gladys?"

"Gladys itu siapa?" Kali ini Thoriq yang kepo.

"Calon istrinya Banyu," jawab Mila sambil mencomot tempe bacem dari piring Senja. "Lo nggak mau makan ini kan?"

"Kebiasaan lo Mil. Sudah ambil baru ngomong." omel Senja.

"Nyu, beneran lo punya calon istri?" tanya Thoriq penasaran.

"Sudah jadi mantan calon istri, Riq." ucap Mila ketus. "Gue nggak pernah ngerti sama elo, Nyu. Jelas-jelas ada cewek cantik, baik dan tajir yang meminta elo jadi calon suaminya. Eh, elo malah nungguin mantan jadi janda. Move on, dong."

"Mil, jaga ucapan lo. Senja itu kan sepupu lo." tegur Banyu tak suka.

"Sen, walaupun elo saudara gue. Tapi gue nggak paham kenapa elo malah bolak balik menghubungi Banyu. Elo tau kan kalau suami lo tuh curigaan habis sama Banyu. Eh, elo malah curhat sama dia. Banyu belum bisa move on dari elo, Sen. Dengan elo menghubungi dia, semakin susah dia move on dari elo. Bahkan dia menolak Gladys demi elo." omel Mila.

"Jangan pernah menyalahkan Senja. Dia nggak salah. Gue bubar sama Gladys bukan gara-gara Senja, tapi gara-gara dia lebih memilih pria itu dibanding gue." Banyu terdengar marah.

"Walau Senja saudara gue, tapi gue nggak bisa membenarkan sikap dia. Gue nggak heran kalau Gladys lebih memilih cowok lain. Elo sering menyakiti dia, Nyu. Beberapa kali gue ketemu sama Gladys, gue bisa lihat dia mencintai elo. Bahkan dia rela mengejar-ngejar elo, di saat dia bisa mendapatkan pria manapun."

Senja hanya bisa terdiam mendengar ucapan Mila, yang sedikit banyak ada benarnya. Thoriq yang tak mengerti apa-apa hanya menyimak pembicaraan mereka. Ia mencoba menyimpulkan inti pembicaraan tersebut.

"Sekarang gue mau tanya sama kalian, apakah kalian berdua ada niatan untuk kembali?" tanya Thoriq. "Gue agak ragu bisa memenangkan kasus perceraian elo, kalau kalian memang masih saling berhubungan. Karena hubungan kalian bisa menjadi bumerang untuk Senja."

"Gue berniat seperti itu," sahut Banyu mantap. Senja yang duduk di sebelahnya tampak terkejut.

"Sen, elo tau tentang hal ini?" tanya Thoriq. "Sebagai pengacara lo, gue perlu tahu gimana rencana kalian. Gue nggak mau gugatan ini berbalik ke elo, Sen. Awan bisa balik menuntut kalian dengan tuduhan perselingkuhan."

"Tapi kita berdua nggak selingkuh, Riq. Bahkan sebelum ini gue nggak pernah menghubungi dia." Senja berusaha membela dirinya.

"Senja, elo tuh go***k banget. Sudah tau suami lo cemburuan. Apalagi sama Banyu. Dia kan bisa liat call history di hp lo. Apalagi lo bilang akhir-akhir ini dia makin rajin memeriksa hp lo." sergah Mila kesal. "Cinta boleh, tapi jangan ogeb deh."

"Mil, kok elo kasar banget sih sama Senja. Elo tau kan saat ini dia dalam keadaan rapuh dan butuh dukungan kita semua. Elo sebagai saudaranya seharusnya mendukung dia bukannya mem-bully dia kayak begini," tegur Banyu keras.

"Nyu, dari dulu elo sudah tau gimana sifat gue. Sumpah, gue paling benci kalau harus berpura-pura di depan orang lain. Apalagi dia saudara gue. Itu justru membuat gue berkewajiban meluruskan jalan dia. Kalau dia memang mau cerai ya cerai saja. Tapi nggak usah mengharapkan simpati dari mantan." Senja hanya diam mendengarkan ucapan Mila yang lagi-lagi tepat menohok hatinya.

"Iya tapi nggak gitu caranya. Elo kan bisa sampaikan dengan cara baik-baik." Banyu masih membela Senja.

"Terserah kalian aja deh. Tapi menurut gue lo akan menyesal karena meninggalkan gadis sebaik Gladys."

"Mil, berapa kali gue pernah bilang sama elo. Gue dan Gladys itu ibarat langit dan bumi. Terlalu banyak perbedaan di antara kami."

"Sudah.. sudah... kenapa kalian jadi ribut sih? Oke gue yang salah Mil! Gue yang salah karena nggak bisa jadi istri yang baik. Gue bukan perempuan sempurna karena hingga saat ini bisa memberikan keturunan buat Awan. Gue juga yang salah karena menghubungi Banyu!!" jerit Senja diiringi isak tangisnya. Membuat para pengunjung rumah makan tersebut memperhatikan mereka.

"Awan melakukan itu bukan semata karena cemburu pada Banyu. Tapi ia marah karena selama ini aku tak kunjung hamil"

⭐⭐⭐⭐