57 MCMM 56

Happy Reading ❤

"Kamu mau kemana, dek?" tanya Aminah saat dilihatnya Nabila bersiap-siap pergi.

"Janjian sama kak Gladys bu untuk menjenguk ayah." bisik Nabila sambil melirik ke sana kemari. Ia takut kepergok oleh sang kakak.

"Bukannya kemarin ya janjiannya?"

"Harusnya kemarin bu, tapi kemarin asisten pribadinya kasih kabar kalau kak Gladys ada keperluan mendadak. Makanya baru hari ini bisa pergi sama adek."

"Mas Aidan mana dek?"

"Mas Aidan lagi main basket bu bareng teman-teman SMP nya. Katanya sih nanti mau ikutan tapi langsung ketemuan di rumah sakit."

"Oh gitu."

"Ibu nggak mau ikut?"

"Buat apa?"

"Ya buat ketemu mantan pacarlah," ledek Nabila sambil cekikikan. "Bu, dulu kenapa bisa jatuh cinta sama ayah ?"

"Kamu masih SMP kok sudah kepo urusan asmara sih?"

"Wajar dong bu. Kan lagi usia puber."

"Huu... bisa aja kamu ini."

"Ceritain dong bu kenapa bisa menikah dengan ayah," rengek Nabila. "Apakah ibu sangat mencintai ayah?"

"Dulu ibu bertemu ayahmu saat kami masih sama-sama sekolah. Ayahmu dulu kakak kelas ibu. Tapi saat itu kami belum saling tertarik. Kebetulan dulu mas Arif, kakak sepupu ibu, tetanggaan dengan ayahmu. Kami bertemu kembali saat ibu main ke rumah pakde Arif. Saat itu ibu sudah kuliah semester empat, sementara ayahmu sudah semester akhir. Ayahmu itu orangnya cerdas. Dalam waktu pas 3,5 tahun dia menyelesaikan kuliahnya di jurusan manajemen. Padahal pada masa itu, biasanya orang menyelesaikan sarjana dalam waktu 5 tahun."

"Wah, ayah pintar ya bu?" Aminah mengangguk sambil tersenyum.

"Ayahmu pintar seperti kalian."

"Ibu dulu satu kampus dengan ayah?"

"Nggak, tapi kebetulan kampus kami bersebelahan. Ayahmu kuliah di salah satu PTN favorit di daerah kami. Sementara ibu kuliah di jurusan keguruan."

"Bagaimana ibu bisa jatuh cinta sama ayah padahal kalian nggak satu kampus?"

"Itu karena kejadian lucu saat kami sama-sama pulang kampung. Kebetulan kami duduk bersebelahan di bis. Kami asyik mengobrol sampai tiba di terminal. Dari terminal kami berpisah karena arah rumah kami berbeda. Sampai di rumah ibu baru sadar ternyata tas kami tertukar. Mbah putrimu bingung saat membuka tas ibu kok ada pakaian dalam laki-laki. Mbahmu sampai nangis-nangis karena mengira ibu melakukan hal-hal aneh saat kuliah."

"Kagetnya kayak waktu kak Gladys 'melamar' mas Banyu ya bu?" Aminah mengangguk sambil tertawa.

"Jaman itu belum ada handphone. Di kampung kami juga belum semua rumah memiliki telpon. Jadi ibu nggak bisa menghubungi ayahmu untuk memberitahu kalau tas kami tertukar. Besok paginya ayahmu datang ke rumah mbahmu untuk menukar tas. Ayahmu bertanya pada pakde Arif alamat rumah ibu. Rupanya saat di rumah ayahmu juga kaget melihat ada pakaian dalam wanita di tasnya. Sejak itu kami menjadi semakin dekat."

"Apa yang membuat ibu jatuh cinta pada ayah? Apakah karena dia ganteng seperti mas Banyu?"

"Wajah ayahmu ganteng. Tapi bukan itu yang membuat ibu jatuh cinta. Ibu senang melihat kegigihannya berusaha menaklukan ibu. Setiap hari dia datang ke tempat kos ibu dan setiap hari pula ibu usir dia. Karena saat itu ibu memang belum mau pacaran. Setelah setahun mengejar, akhirnya ibu menyerah. Apalagi waktu itu ayahmu rela menunggui ibu di rumah sakit saat ibu harus operasi buntu. Dari situ ibu mulai jatuh cinta sama ayahmu."

"Ibu masih mencintai ayah?" Aminah menggeleng sambil tersenyum

"Buat ibu, semua rasa cinta ibu sekarang hanya untuk kalian." Nabila langsung memeluk Aminah.

Tak lama Banyu masuk. Ia baru pulang dari kios. Tadi pagi-pagi sekali ia berjualan keliling mengantarkan pesanan para pelanggannya.

"Ada apa nih adek dan ibu pelukan begitu? Kayak teletubbies aja."

"Ih, mas Banyu kepo deh. Ini urusan cewek."

"Ibu dan adek mau pergi?"

"Ibu cuma mau ke rumah bu ustadz. Kemarin bu ustadz mengajak ibu ke acara pengajian bulanan di RW sebelah."

"Kamu mau kemana dek?"

"Mau pergi sama kak Gladys." Banyu hanya diam dan tak bereaksi mendengar jawaban Nabila. Aminah langsung tahu ada yang tak beres.

"Nyu, kamu kenapa? Kamu nggak sakit kan?"

"Nggak bu. Cuma capek saja. Banyu istirahat dulu ya."

"Ya sudah sana kamu istirahat dulu. Nanti kalau nak Gladys datang menjemput adek, ibu panggil kamu."

"Nggak usah bu. Banyu mau tidur. Semalam kurang tidur gara-gara ngecek makalah para mahasiswanya pak Yogi."

Nabila dan Aminah saling berpandangan heran melihat reaksi Banyu yang tak biasa.

"Bu, apakah mas Banyu dan kak Gladys berantem?"

"Kayaknya begitu. Sejak semalam wajah kakakmu bete," jawab Aminah.

"Belum lama jadian kok berantem ya bu? Dulu ibu dan ayah begitu?"

"Nggak. Dulu sebelum menikah ayah dan ibu jarang bertengkar. Ibu juga bingung. Kemarin pas masak makanan untuk nak Gladys mukanya ceria banget. Tau-tau malamnya bete."

"Ada apa ya bu?" Aminah hanya mengangkat bahu bingung.

⭐⭐⭐⭐

"Assalaamu'alaykum."

"Eh, kak Gladys sudah datang. Masuk dulu kak. Nabila panggil ibu dulu ya. Tadi ibu mau titip kue buat ayah." Nabila mengucapkan kalimat terakhir sambil berbisik.

Gladys menunggu di ruang tamu. Gladys melihat-lihat foto yang terpajang di dinding rumah. Saking asyiknya ia tak menyadari kehadiran Banyu.

"Selamat ya." Gladys terjengit kaget saat mendengar suara bariton menyapa rungunya. Gladys berbalik dan dilihatnya Banyu bersandar di dinding dengan tangan terlipat di dada. Pandangan matanya tajam menusuk. Kedua sudut bibirnya terangkat memberikan senyum sinis. Namun tak ada senyum di matanya.

"Mas.... "

"Sekarang kamu nggak usah lagi berpura-pura baik pada keluargaku. Urusan kita sudah selesai."

"Mas, aku bisa jelasin. Dari semalam aku...."

"Nggak perlu dijelaskan lagi. Semuanya sudah jelas. Bahkan seluruh indonesia tau ceritanya. Sebelum adik-adikku semakin lengket sama kamu, sebaiknya kamu menjauh." Gladys mencoba mendekati Banyu namun Banyu mengisyaratkan untuk berhenti.

"Mas, kenyataannya nggak seperti itu. Apa yang media ungkapkan jauh dari kebenarannya."

"Mulut manusia gampang sekali berkata dusta walaupun manusia tahu dusta adalah salah satu hal yang lebih banyak mendatangkan kerugian. Kalaupun ada kebahagiaan di balik dustamu, namun itu semua semu."

"Mas, tolong dengarkan dulu penjelasanku."

"Kebohongan apa lagi yang mau kamu ucapkan. Cincin di jari manismu sudah mengatakan semuanya."

Astaga, gue lupa melepasnya. Dasar Gladys bego, stupid, go***k, idiot.

"Apakah saat ini kamu sedang memaki dirimu sendiri karena lupa melepas cincin itu?" Gladys hanya terdiam tak tahu harus menjawab apa.

"Akhirnya kamu tak perlu lagi berpura-pura mengharapkanku menjadi calon suamimu. Sekali lagi selamat untuk pertunanganmu." Banyu masuk ke dalam kamar tanpa menoleh lagi kepada Gladys. Ia meninggalkan Gladys yang masih berdiri mematung dengan air mata yang mulai menetes membasahi pipinya.

"Assalaamu'alaykum.... Lho, kak Gladys kenapa?" tanya Aidan yang baru saja pulang. "Bu..! Adek..! Mas..!"

Aminah dan Nabila tergopoh-gopoh keluar dari kamar.

"Lho, nak Gladys kenapa?" Aminah mendekati Gladys yang langsung memeluknya. Ia menangis sepuasnya di dalam pelukan Aminah.

"Maafin Gladys bu... Gladys nggak bermaksud menyakiti mas Banyu.. Gladys sama sekali nggak tau akan begini jadinya. Maafin Gladys..." bisiknya lirih di antara sedu sedannya.

"Banyu....! Aidan, panggil kakakmu!"

"Mas Banyu mengunci kamarnya, bu." Lapor Aidan setelah dia berusaha memanggil kakaknya.

"Nak Gladys ada apa ini?" tanya Aminah sambil mengajak Gladys duduk.

"Maafin Gladys bu..."

"Dek, buatkan teh manis hangat untuk nak Gladys."

Tak lama Gladys tampak lebih tenang setelah meminum teh manis hangat yang dibawakan Nabila.

"Nak Gladys, sebenarnya apa yang terjadi? Apakah kalian bertengkar?" Gladys hanya mampu terisak.

"Kak Gladys bisa cerita kepada kami ada apa sebenarnya antara kalian," ucap Nabila berusaha menenangkan Gladys yang masih sesenggukan.

"Gladys yang salah bu. Gladys sudah menyakiti mas Banyu." Aminah melepaskan pelukannya dan berjalan ke arah kamar Banyu.

"Nyu, buka pintunya. Ibu mau bicara sama kamu." Lama tak terdengar jawaban hingga akhirnya terdengar suara kunci pintu diputar. Tak lama muncullah wajah Banyu dari balik pintu.

"Boleh ibu masuk?" Banyu tak menjawab namun membiarkan Aminah masuk ke dalam kamar.

"Biarkan dia pulang bu."

"Kenapa Nyu? Apa yang terjadi sehingga kalian bertengkar seperti ini?"

"Ibu tanyakan saja pada dia apa yang terjadi. Selama ini dia menjadikan keluarga kita sebagai lelucon."

"Mas, aku nggak pernah menjadikan keluargamu sebagai lelucon." Tiba-tiba Gladys sudah masuk ke dalam kamar. Aidan dan Nabila mengikuti namun tak berani masuk. Mereka hanya berdiri di depan kamar dengan rasa penasaran.

"Aidan, Nabila, tolong kalian kasih tahu bu ustadz kalau ibu nggak ikut pengajian dulu."

Aidan langsung mengerti. Ia menarik Nabila untuk menjauh dari pintu kamar.

"Mas, tangan adek nggak usah ditarik-tarik. Nanti kalau copot gimana?"

"Cerewet banget, kamu. Ayo buruan" Aidan tak peduli dengan rengekan Nabila. Setelah keluar dari rumah barulah ia melepaskan cekalan tangannya.

"Ada yang gawat. Sudah jangan protes."

⭐⭐⭐⭐

"Kalian berdua duduk." Terlihat suasana tegang terutama di antara Banyu dan Gladys. Kini mereka berada di ruang tamu.

"Siapa duluan yang akan bercerita mengenai kejadian hari ini?" tanya Aminah lembut namun tegas. "Kalian sudah dewasa. Seharusnya kalian bisa membicarakannya dengan kepala dingin."

"Silahkan ibu tanya kepada dia." Banyu menunjuk Gladys. Wajahnya tampak kusut.

"Nak Gladys bisa menjelaskan apa yang baru saja terjadi?" Gladys diam menatap kakinya. Lidahnya terasa kelu. Lebih mudah baginya bila ia hanya berhadapan dengan Banyu.

Melihat keterdiaman Gladys membuat Banyu kesal, gemas sekaligus kasihan. Tapi semua ini membutuhkan penjelasan langsung. Ia memang sudah membaca berita online tentang lamaran Lukas. Berita yang disertai foto saat Gladys dicium.

"Kamu yang cerita atau aku?" tanya Banyu dingin. "Karena hanya kamu yang tahu kebenarannya. Atau kamu mau ibu tahu dari laman berita online itu?"

Gladys tetap terdiam tanpa mengangkat wajahnya. Air mata kembali menetes membasahi pipinya. Sekuat tenaga ia menahan isak tangisnya. Karena Gladys tak juga berbicara akhirnya Banyu membuka hpnya dan memperlihatkan berita tersebut kepada Aminah.

"Astaghfirullah... ini benar nak Gladys? Kamu sudah dilamar oleh pria yang bernama Lukas ini?"

Gladys tak sanggup menjawab. Suara Aminah terdengar kecewa. Kini ia tak sanggup lagi menahan isakannya. Ia merasa menjadi orang jahat yang sudah menyakiti hati wanita baik di hadapannya. Kini ia terduduk bersimpuh di lantai di hadapan Aminah. Tentu saja Aminah dan Banyu terkejut. Mereka tak menyangka Gladys akan melakukan itu.

"Bangun nak Gladys. Kamu jangan begitu." Aminah menghampiri Gladys mencoba mengajaknya kembali duduk di kursi namun Gladys menolak.

"Maafkan Gladys bu. Gladys sama sekali nggak bermaksud menyakiti mas Banyu. Semua itu terjadi begitu cepat." Gladys tak sanggup menceritakannya karena isak tangisnya semakin kencang.

Sementara itu Banyu menatapnya dingin tanpa ada keinginan membantu kekasihnya berdiri.

"Sudahlah bu. Untuk apa kita lanjutkan semua ini. Ibu lihat sendiri kan bagaimana dia mempermainkan keluarga kita. Ibu tahu kan kenapa Banyu menolak keinginan dia? Dia ini nggak lebih dari drama queen yang manja dan egois. Yang melakukan segala sesuatunya hanya demi kepentingan dia. Mana pernah sih dia memikirkan orang-orang sekitarnya yang mungkin tersakiti."

"Mas, aku sama sekali nggak berniat menyakitimu atau mempermainkan keluarga ini. Sampai detik inipun aku masih mencintaimu."

"Mana mungkin seorang tuan putri yang berasal dari keluarga konglomerat bisa mencintai seorang tukang sayur. Itu hanya mimpi, Dys."

"Mas, tolong dengarkan aku dulu." Suara Gladys terdengar lemah. Aminah mulai kasihan melihat Gladys bersimpuh di lantai dengan kepala tertunduk dan berlinang air mata.

"Nggak ada lagi yang perlu dijelaskan. Kamu sudah dengan sukses mempermainkan perasaan keluarga ini. Kamu berikan harapan kosong kepada adik-adikku. Itu jauh lebih menyakitkan daripada apa yang kamu lakukan terhadapku."

"Mas aku mengaku salah karena membiarkan hal itu terjadi. Tapi aku benar-benar tak menyangka kejadiannya akan seperti itu. Tadi malam akupun merasa terjebak. Aku nggak siap dan nggak tahu harus bagaimana."

"Kamu bisa menolaknya. Bahkan kamu bisa menolak sejak awal untuk datang ke undangan diner itu."

"Seandainya semudah itu."

"Kalau memang kamu sungguh-sungguh mencintaiku seharusnya hal itu bukan hal yang sulit. Tapi pada kenyataannya rasa cintamu tak sedalam itu. Cincin berlian itu jauh lebih penting untukmu."

"Mas, apakah kamu sanggup menolak bila ibu menginginkanmu melakukan sesuatu yang kamu tahu pasti akan membahagiakan beliau walau sebenarnya kamu tak menginginkannya?"

"Kenapa jadi bawa-bawa ibu dalam hal ini?" tanya Banyu ketus.

"Karena itulah yang sesungguhnya kemarin terjadi. Sulit bagiku menolak keinginan mami. Namun ternyata hal itu fatal dan menempatkanku dalam posisi ini."

"Tenang saja, aku cukup sadar diri kok. Itu sebabnya aku selama ini menahan diriku untuk tidak mencintaimu."

"Mas, seandainya kamu berada di posisiku apa yang akan kamu lakukan?Aku sebenarnya berharap bisa menolak lamaran Lukas. Aku belum mengatakan aku bersedia, namun dia sudah memasangkan cincin ini di jemariku. Apa salah kalau saat itu aku berdiam diri demi menjaga nama baik banyak pihak? Keluargaku dan keluarga Lukas."

"Setidaknya kamu bisa menolak saat dia menciummu. Bukan hanya pasrah bahkan sepertinya menikmatinya. Ternyata kamu tak sepolos yang kukira."

"Terserah kamu mau menganggapku apa. Sejak semalam aku mencoba menghubungimu untuk menjelaskan semuanya sebelum kamu melihatnya dari berita namun kamu menghindariku. Sepertinya semua ini memang salahku. Aku telah jatuh cinta pada orang yang salah. Aku telah jatuh cinta pada seseorang yang tidak mencintaiku dan tidak mau memperjuangkanku."

"Nak Gladys....."

"Ibu, terima kasih ibu dan adik-adik mau menerima Gladys. Tapi mungkin ini saatnya Gladys menyerah. Untuk apa memperjuangkan seseorang yang tak pernah mengungkapkan rasa cintanya." Usai mengucapkan hal itu, Gladys meraih tangan Aminah dan mencium punggung tangannya.

Aminah tak kuasa menahan tangisnya. Tanpa disangka, gadis ini telah mengisi sudut hati anggota keluarga ini. Keceriaan, kepolosan dan kasih sayangnya membuat rumah ini terasa hidup. Teringat bagaimana ia berkali-kali melukai tangannya saat belajar memasak. Namun gadis ini tak menyerah.

"Bu, Gladys pamit ya. Semoga setelah kejadian ini ibu tidak mengangap Gladys sebagai gadis brengsek. Gladys ingin tetap menjalin hubungan baik dengan keluarga ini, terutama dengan adik-adik. Itu pun kalau ibu mengizinkan."

Aminah langsung merengkuh Gladys ke dalam pelukannya. Apapun kesalahan yang mungkin dilakukan gadis ini, Aminah tak bisa memungkiri ia telah jatuh hati dan menyayangi gadis ini.

"Apapun yang terjadi antara kalian nanti, jangan putus silahturahmi di antara kita. Aidan dan Nabila sudah menganggapmu sebagai kakak. Nanti ibu akan mencoba menjelaskan pada mereka apa yang sebenarnya terjadi. Semoga mereka bisa lebih dewasa menghadapi masalah ini."

⭐⭐⭐⭐

avataravatar
Next chapter