webnovel

MCMM 48

Happy Reading❤

Jam menunjukkan pukul 04.10 waktu setempat. Banyu yang sudah terbangun sejak jam 03.15 terlihat sudah segar. Dengan mengenakan baju koko dan sarung, Banyu duduk di atas sajadah sambil berdzikir setelah selesai melaksanakan shalat malam. Tadi ia terbangun karena ada notifikasi pesan yang masuk. Dengan setengah sadar ia membaca pesan yang ternyata dari Senja.

Senja >> Nyu, kok pesanku semalam nggak dibalas? Kamu marah? Apakah aku mengganggumu?

Banyu membacanya dengan kening berkerut. Ia ingat tadi malam saat hendak membalas pesan Senja, ter-distract dengan panggilan video dari Gladys.

Banyu >> Maaf, semalam habis membaca pesanmu, aku tertidur.

Senja >> Tapi aku lihat, kamu masih online sampai jam 12 malam.

Banyu >> Oh itu... semalam setelah aku tidur Aidan menelponku. Biasa, ada yang mau dia tanyakan.

Senja >> Kamu nggak usah berbohong, Nyu. Kamu bisa kasih tahu aku kalau memang pesan-pesan dariku mengganggumu.

Banyu >> Kamu nggak mengganggu, gadisku. Maaf, aku benar-benar kecapekan.

Senja >> Kamu masih di Bali?

Banyu >> Iya. Insyaa Allah besok sore aku pulang.

Senja >> Proyeknya belum selesai? Atau ada proyek lain? Atau kamu sedang liburan?

Banyu >> Kamu kok kepo?

Senja >> Ah, nggak juga. Cuma pengen tau aja. Karena waktu itu kamu bilang, nggak lama di Bali. Tapi ternyata kamu menambah 4 hari lebih di sana.

Banyu >> Kamu stalking aku?

Senja >> Nggak. Dua hari lalu aku main ke rumah, ketemu ibu dan adik-adik. Mereka yang bercerita kalau kamu menambah waktu stay kamu disana.

Banyu >> Ya, kebetulan masih ada sedikit urusan disini.

Senja >> Bersama Gladys?

Banyu terdiam dan tak membalas pesan tersebut. Ah, pasti ibu dan adik-adikku yang memberitahu Senja mengenai Gladys.

Senja >> Kok nggak dibalas? Gladys adiknya Gibran? Kata ibu, Gladys memintamu menjadi calon suaminya? Apa benar?

Banyu >> Gadisku.....

Senja >> Aku bukan gadismu lagi, Nyu. Sudah ada Gladys yang menjadi gadis di hatimu. Maaf, kalau aku tahu kamu memiliki hubungan dengannya, aku takkan mengganggumu

Banyu >> Kamu tidak mengganggu siapapun. Sampai kapanpun kamu tetap gadisku. Kamu tetap orang yang istimewa di hatiku.

Senja >> Itu nggak fair buat Gladys, Nyu. Aku hanya masa lalumu. Maafkan aku yang berharap kamu masih memiliki perasaan yang sama seperti dulu. Maafkan aku karena berharap kamu tak berubah.

Banyu >> Jangan ngomong seperti itu, gadisku, Aku akan selalu ada untukmu. Kamu jangan ragu untuk meminta pertolonganku.

Senja >> Tidak, Nyu. Gladys lebih berhak terhadap dirimu. Dia CALON ISTRIMU. Makasih ya sudah mau membalas pesan-pesanku.

Aargh.. kenapa semua jadi complicated begini. Aku masih belum bisa melupakannya. Aku masih mengharapkannya. Namun aku juga ingin mencoba menjalani hubungan dengan Gladys. Aku mulai merasa nyaman berada di dekatnya. Aku mulai merasa kangen bila berjauhan darinya. Aku mulai membutuhkannya untuk mengisi hati yang pernah terluka ini. Dengan segala kegalauan itu Banyu memilih mandi dan sesudahnya melaksanakan shalat malam. Berharap dapat mengadu kepadaNya dan meringankan pikirannya.

Jam lima pagi, Banyu dan Gladys sudah berjalan di bukit Campuhan yang lokasinya memang tak terlalu jauh dari tempat mereka menginap. Suasana pagi itu cukup dingin mampu membuat orang menggigil. Apalagi semalam hujan sempat turun.

"Dys, kamu nggak kedinginan pakai baju begitu?" tanya Banyu saat melihat Gladys memakai kaos lengan pendek. "Nggak bawa jaket?"

"Nggak. Kan ada kamu." jawab Gladys.

"Maksudnya? Kamu minta dipeluk biar hangat?" tanya Banyu.

"Ih, itu mah maunya kamu."

"Kalau kamu mau juga, ya nggak papa kan," goda Banyu sambil memeluk bahu Gladys.

"Bukan itu maksudku." Gladys mendorong tubuh Banyu, namun Banyu tak mau melepaskan tangannya dari bahu Gladys. "Maksudku, kamu pasti akan meminjamkan jaket kamu untuk aku."

"Hari ini aku akan meminjamkan lenganku untuk menghangatkanmu." Banyu memeluk erat bahu Gladys.

"Ah, itu memang maunya kamu."🤭

"Memangnya kamu nggak mau?" Kembali Banyu menggoda Gladys. Dengan berani diciumnya puncak kepala Gladys. Dihirupnya wangi shampo yang dipakai Gladys.

"Nggak tau ah?" Gladys langsung membuang pandangnya karena malu.

"Princess, kamu yakin akan memberitahu kedua orang tuamu tentang kita?"

"Kenapa? Kamu belum siap?"

"Kamu tahu bagaimana kisahku bersama Senja, kan?"

"Apakah karena itu sejak awal kamu menolakku?" tanya Gladys. Ia berhenti berjalan dan menatap Banyu serius.

"Aku hanya sadar diri, Princess. Orang sepertiku memang nggak cocok bersanding dengan gadis sepertimu."

"Mas, kamu pernah bilang sama aku bahwa semua manusia itu sama di mata Allah. Yang membedakan adalah keimanannya. Itu yang membuatku yakin untuk memilihmu."

"Bagaimana kalau orang tuamu menolakku? Apalagi mereka sudah menyediakan calon untukmu. Calon yang lebih pantas bersanding bersamamu."

"Kamu masih trauma?"

"Entahlah apakah ini yang namanya trauma atau bukan namun aku tak ingin mengalami kegagalan seperti itu sampai dua kali. Itu sebabnya aku belum bisa memberikan 100% hati dan perasaanku padamu. Aku tak ingin kembali mengalami sakit hati seperti yang dulu kualami."

"Kali ini berbeda mas. Aku takkan meninggalkanmu seperti Senja meninggalkanmu dulu. Aku akan memperjuangkanmu. Lagipula aku tahu kalau keluargaku juga kagum kepadamu. Kepada perjuanganmu menopang ibu dan adik-adikmu. Keluargaku, terutama papi sangat menghargai dan menyukai orang-orang yang mau berjuang sepertimu. Karena dulu papi juga berjuang hingga bisa seperti sekarang ini."

"Dys, kamu bilang akan mencintai secukupnya. Bagaimana bila ternyata..."

"Bila ternyata kamu ingin kembali pada Senja?" Banyu terkejut mendengar ucapan Gladys. Bagaimana ia bisa menebak jalan pikiranku, batin Banyu. Apakah dia seorang cenayang?

"Pasti kamu pikir aku seorang cenayang karena bisa membaca pikiranmu. Mas, aku tak bisa menyalahkanmu apabila itu terjadi. Aku akan kembalikan kepadamu untuk memilih. Bila kamu lebih memilih dia, maka aku takkan mencoba memaksamu untuk tinggal."

"Apakah kamu akan menikah dengan Lukas bila hal itu terjadi?" tanya Banyu.

"Mungkin," jawab Gladys singkat. Ada rasa tak rela di hati Banyu saat mendengar jawaban Gladys. "Sebelum itu terjadi mari kita jalani ini bersama. Kalau Allah memang menentukan dirimu yang menjadi jodohku, maka suatu saat kita pasti akan bersama."

"Aku malu sama kamu Dys."

"Malu kenapa?"

"Pemikiranmu akhir-akhir ini begitu dewasa. Aku menjadi ragu, benarkah yang di sampingku ini Gladys yang sering ribut denganku? Jangan-jangan kamu bukan anak Praditho Hadinoto." Gladys terkekeh mendengar ucapan Banyu.

"Ada-ada saja kamu mas. Aku belajar banyak dari adik-adikmu. Kebersamaanku bersama mereka mengajarkanku banyak hal. Di antaranya adalah selalu bersyukur dan mencoba menerima segala keputusan Allah walau mungkin apa yang Allah takdirkan bertentangan dengan keinginanku."

"Dys, lihat semburat jingga di ufuk sana. Sebentar lagi matahari akan terbit." Banyu menunjuk ke arah timur. "Matahari tak pernah melalaikan tugasnya untuk terbit di pagi hari dan memberikan sinarnya kepada manusia. Semua itu atas perintah Allah. Kuharap akupun bisa seperti itu untukmu. Kuharap aku bisa mencintaimu dan selalu mendampingimu karena Allah."

"Aamiin yaa robbal 'aalamiin. Jangan berjanji bila kamu tak yakin bisa memenuhinya, mas. Matahari menjalankan tugasnya tanpa berusaha merubah apa yang menjadi ketentuan Allah. Apakah kita sebagai manusia bisa begitu? Aku nggak yakin mas. Kita hanyalah makhluk ciptaanNya yang selalu protes dan ingin merubah segala hal sesuai keinginan. Kita tak lebih dari manusia egois yang sering melupakan atau bahkan ingkar terhadap janji kita baik kepada manusia maupun kepada sang Pencipta." ucap Gladys.

"Apa maksudmu, Princess?"

"Apakah kamu yakin bisa melupakan Senja?" Banyu terdiam. "Aku tahu hal itu nggak akan mudah, mas. Dia pernah mengisi tempat yang istimewa di hatimu. Sementara aku hanyalah pendatang baru di hidupmu. Aku yakin nggak akan mudah menggeser dia dari hatimu. Bahkan bukan hal mustahil aku akan gagal melakukan itu. Itu sebabnya aku tak ingin kamu menjanjikan hal-hal indah untukku. Aku ingin kita mencoba saling mencintai dan menerima. Seperti yang aku pernah bilang, hidup ini adalah proyek percobaan. Bisa berhasil ataupun gagal. Seandainya gagal, aku tak ingin terlalu sakit hati dan ingin melanjutkan hidupku. Tapi bila kamu berjanji tapi tak bisa memenuhinya rasa sakit hati itu akan lebih parah."

"Aku semakin kagum sama kamu, Princess. Kupikir kamu tak lebih dari seorang putri manja yang kekanak-kanakan. Tapi ternyata pemikiranmu begitu dewasa." puji Banyu sambil menarik Gladys ke dalam pelukannya hingga kini mereka berdiri berhadapan.

"Salah satu hikmah yang dapat kuambil, bertemu denganmu mengubah hidupku. Seandainya kita tak berjodoh, aku tetap bersyukur bisa mengenalmu dan keluargamu. Allah menghadirkan kalian ke dalam hidupku untuk menjadikanku manusia yang lebih baik."

"Bukan lagi Gladys yang manja dan suka ngomel?" bisik Banyu sambil menatap dalam mata Gladys. "Bukan lagi Gladys yang memandang rendah tukang sayur?"

"Jangan mengingatkanku akan hal itu. Maaf dulu aku sangat menyebalkan." Gladys menunduk menghindari tatapan Banyu. Tatapan Banyu masih saja membuat jantungnya berdebar.

"Kamu tahu, terkadang aku kangen sama kamu yang menyebalkan. Walau melelahkan namun menggemaskan." Banyu memegang dagu Gladys sehingga wajah Gladys terangkat dan balas menatapnya. "Boleh aku menciummu?"

"Apakah masih membutuhkan ijin dariku bila kamu sudah dua kali melakukan itu?" Gladys balik bertanya dengan wajah memerah karena malu.

"Aku takkan melakukannya bila kamu tak mengijinkanku." Gladys menunduk malu, dan mengangguk. Banyu menunduk dan mulai mencium lembut bibir Gladys. Bibir yang sudah membiusnya laksana candu yang memabukkan. Rasanya berbeda dengan saat ia mencium Senja. Ah, kenapa tiba-tiba nama Senja muncul di pikiranku? tanya Banyu dalam hati.

Setelah beberapa saat berciuman dengan latar belakang matahari terbit serta pemandangan perbukitan yang indah, akhirnya mereka berdua melepaskan tautan bibir mereka.

"Terima kasih," bisik Gladys. Kedua tangannya masih mencengkeram erat jaket Banyu.

"Untuk apa?"

"Karena mau mencoba menjalani ini bersamaku," jawab Gladys.

"Aku juga terima kasih."

"Untuk apa?" Gladys balik bertanya.

"Karena mau memberi kesempatan padaku untuk mencobanya lagi."

"Hanya itu?" goda Gladys.

"Terima kasih juga untuk ini," Banyu sekali lagi mengecup singkat bibir mungil Gladys.

"Hmm...," Gladys menyandarkan kepala di dada Banyu dan menatap matahari yang semakin terang di sebelah timur sana. "Mas, balik dari Bali menikah yuk."

"Hah?! Apa?! Kamu nggak mengigau kan, Princess?" tanya Banyu kaget. "Apakah kamu sedemikian cintanya sama aku sehingga buru-buru mengajak menikah?"

"Entahlah bagaimana perasaanku saat ini. Hanya saja aku memiliki perasaan akan ada sesuatu nanti yang mungkin akan memisahkan kita." Banyu terdiam sambil terus memeluk Gladys dengan erat. Berbagai pikiran berkecamuk di kepalanya.

"Memangnya kamu sudah siap menikah denganku? Kamu sudah siap hidup susah bersamaku. Aku bukan Lukas yang seorang dokter spesialis. Aku hanya seorang sarjana yang menjadi tukang sayur. Aku takkan bisa memberimu kehidupan yang layak."

"Hmm... entahlah apa aku siap, mas. Semua terjadi begitu cepat. Aku hanya merasa aku harus segera menikah denganmu."

"Princess, kita baru memulai hubungan ini. Banyak yang masih harus kuproses. Salah satunya perasaanku dan kamu tahu tentang itu. Belum lagi aku masih harus mencari pekerjaan yang lebih stabil dari saat ini bila aku ingin menikah denganmu. Setidaknya aku ingin mengembangkan usaha jualan sayurku. Aku sedang berusaha membesarkan bisnis ini. Setidaknya aku bisa menghadapi keluargamu bukan hanya sekedar sebagai tukang sayur keliling, tapi paling tidak sebagai tukang sayur yang lebih berkelas."

"Tukang sayur berkelas itu yang bagaimana sih?" tanya Gladys sambil tertawa. Banyu terpana saat melihat deretan gigi putih Gladys yang terkena cahaya mentari pagi. Cantik sekali, bisik hatinya.

"Jangan pernah tertawa seperti ini di depan pria lain." Banyu kembali mencium lembut bibir Gladys. Kali ini Gladys mengalungkan tangannya di leher Banyu dan membalas ciuman Banyu.

"Kenapa?" tanya Gladys sedikit terengah setelah mereka melepaskan tautan bibir mereka.

"Aku tak ingin pria lain jatuh cinta padamu." ucap Banyu posesif.

"Apakah itu artinya kamu sudah mulai jatuh cinta kepadaku?" Gladys balik bertanya. "Kamu cemburu?"

"Mungkin. Yang pasti aku tak rela melihatmu memamerkan tawamu di hadapan pria lain." jawab Banyu.

"Bagaimana mungkin kamu cemburu saat kamu masih belum bisa menjelaskan pada dirimu sendiri bagaimana perasaanmu yang sesungguhnya kepadaku. Nggak mungkin secepat itu kamu jatuh cinta padaku sementara selama ini kamu selalu bilang tak memiliki perasaan apapun kepadaku."

"Tak ada yang tahu kapan cinta datang, Princess."

"Demikian juga tak ada yang tahu kapan cinta itu pergi," balas Gladys. "Bahkan tak jarang banyak orang kesulitan menerjemahkan perasaannya sendiri. Cinta atau hanya sekedar ketertarikan biasa."

"Seperti yang kamu bilang, semua ini butuh proses." ucap Banyu.

"Tapi hasil akhir tetap tergantung niat orang-orang yang menjalani proses itu, mas. Ingin hasil yang baik atau ingin kegagalan. Atau mungkin hanya ingin terus berproses tanpa hasil akhir." Banyu terdiam mendengar ucapan Gladys. Ucapan yang terasa seolah menyindirnya.

"Untuk saat ini aku tak ingin membahas bagaimana hasil akhir proses itu mas. Aku hanya ingin menikmati kebersamaan ini yang aku sendiri tak yakin kita bisa merasakannya lagi atau tidak bila kita sudah kembali ke rutinitas kita. Bila memang kebersamaan ini semu, biarlah. Setidaknya aku pernah merasakannya bersamamu."

Maafkan aku Princess, batin Banyu. Ia tak berkata-kata. Hanya memeluk erat tubuh Gladys. Entah apa yang ada dalam pikiran keduanya saat ini.

⭐⭐⭐⭐

Next chapter