36 MCMM 35

Apa yang sebenarnya terjadi? tanya batin Gladys

⭐⭐⭐⭐

Happy Reading ❤

"Duduk dulu Dys. Sebentar gue siapin dulu tehnya. Santai aja, gue nggak akan menguji elo kok," ledek Mila sambil terkekeh.

Gladys mengikuti perintah Mila. Ia duduk di sofa yang ada disitu. Dilihatnya ada foto terpajang di atas meja kerja Mila.

"Hmm.. bu.. eh mbak Mila beneran teman SMA mas Banyu?"

"Santai aja Dys. Kamu bisa panggil aku Mila atau mbak Mila. Nggak usah pakai bu. Aku berasa tua jadinya."

"Itu yang di foto siapa mbak?"

"Oh itu. Dia suamiku, Dika."

"Oh suami mbak Mila." Entah kenapa Gladys merasa lega saat mengetahui secara langsung hal tersebut.

"Kenapa Dys? Kamu curiga aku ada hubungan dengan Banyu ya. Tenang saja, kami hanya berteman tidak lebih. Sebenarnya kami hampir menjadi saudara."

"Maksud mbak Mila gimana?"

"Sini duduk dulu dan minum tehnya, biar perasaan kamu lebih tenang. Kurasa kamu agak shock karena Banyu pulang tanpa memberitahumu."

"Hmm.. mungkin ada yang urgent mbak, makanya dia langsung pulang." Mila manggut-manggut mendengar ucapan Gladys.

"Dys, Banyu sudah cerita semuanya ke aku. Bahwa kamu adiknya Gibran. Dulu kita satu sekolah walau aku dan Gibran nggak pernah sekelas. Kami berteman baik. Aku, Banyu, Erick, Gibran, Senja, Putra dan Haikal. Tapi aku berpisah dengan mereka karena aku harus kuliah di Inggris. Aku bertemu lagi dengan Banyu saat pernikahan Senja."

"Senja? Siapa dia?" tanya Gladys penasaran.

"Banyu nggak cerita sama kamu tentang Senja?" Gladys menggeleng. Hatinya dipenuhi rasa penasaran.

"Senja itu sepupuku. Dia juga mantan kekasih Banyu. Mereka berpacaran sejak SMA dan harus putus kira-kira dua tahun yang lalu." jelas Mila. "Perpisahan mereka sepertinya cukup membekas di hati Banyu. Karena sejak itu Banyu tak pernah memiliki hubungan dengan wanita manapun hingga akhirnya kamu datang sebagai calon istrinya."

"Mbak, boleh aku tau kenapa mereka putus? Padahal mereka sudah lama berpacaran."

"Senja menikah dengan pria lain yang merupakan saingan Banyu saat SMA." Sedikit-sedikit Gladys mulai memahami kenapa Banyu bersikap seperti itu.

"Apakah Senja dekat dengan keluarga mas Banyu?" Mila mengangguk ragu. "Boleh aku tahu kenapa Senja lebih memilih pria yang sekarang menjadi suaminya?"

"Karena dijodohkan dan alasan lainnya adalah orang tua Senja tak menginginkan menantu seorang tukang sayur."

Gladys terdiam mendengar hal tersebut. Kenyataan yang entah mengapa membuatnya marah. Ia tak terima Banyu diperlakukan seperti itu. Hal yang membuatnya heran sendiri. Kenapa dia harus marah? Dulu pun ia memandang rendah saat mengira Banyu seorang tukang kue. Bahkan saat mengetahui Banyu hanya seorang tukang sayur, ia marah dan merasa dibohongi.

"Dys, boleh aku memberimu saran?" tanya Mila hati-hati.

"Kalau mbak Mila menyuruhku menyerah maka jawabannya adalah TIDAK. Aku takkan menyerah dan mundur," jawab Gladys keras kepala.

"It's okay kalau kamu nggak mau menyerah. Tapi perjuanganmu nggak akan mudah. Latar belakang keluargamu jauh di atas Banyu, bahkan jauh di atas Senja. Kemungkinan besar akan banyak pihak yang menentang hubungan ini. Banyu belum pulih sepenuhnya dari trauma hubungannya. Bahkan bisa dikatakan hal itulah yang membuatnya membangun dinding di sekeliling hatinya. Ditambah lagi sebagai anak pertama ia menempatkan dirinya sebagai pengganti ayahnya."

Gladys teringat cerita Gibran mengenai keluarga Banyu. "Berarti selama ini Banyu benar-benar tidak minta bantuan ayahnya? Untuk kuliah dia benar-benar berusaha sendiri? Kupikir ayahnya masih mengirim sedikit uang melalui ibunya. Karena aku nggak yakin hasil dari berjualan sayur bisa membiayai uang kuliah dan pendidikan adik-adiknya."

"Jangankan meminta bantuan dari sang ayah, mendengar namanya pun Banyu tak mau. Bahkan ia melarang ibu dan adik-adiknya bertemu dengannya. Seolah ia memutus benang yang menghubungkan mereka." Itu sebabnya dia berjuang untuk adik-adiknya, batin Gladys.

"Aku hanya ingin tahu kalau kamu mau melanjutkan semua ini, siapkah kamu menghadapinya? Contohnya saja hari ini. Dia mulai menghindarimu. Aku dapat melihat dari matamu bahwa kamu sedih diperlakukan seperti ini oleh Banyu."

"Aku nggak tahu mbak," jawab Gladys pelan. "Aku hanya ingin terus berjuang hingga aku benar-benar lelah dan tak sanggup lagi melanjutkannya."

"Aku nggak tau harus komentar apa, Dys. Sebagai teman, aku hanya bisa mendoakan supaya usahamu memperjuangkan cinta Banyu berhasil. Karena setahuku, Banyu tidak mudah jatuh cinta."

"Terima kasih mbak untuk teh dan nasihatnya. Aku permisi pulang dulu. Aku harus kembali ke butik."

⭐⭐⭐⭐

"Lho mbak Gladys sudah balik?" tanya Tatiana saat melihat Gladys memasuki butik dengan wajah ditekuk. "Mbak Gladys baik-baik saja?"

"Mbak Tia, gimana persiapan fashion week? Apa model-model yang akan memakai baju kita sudah dihubungi semua? Oh ya, jangan lupa hubungi si Broto dan kru-nya untuk pemotretan minggu depan. Saya nggak mau peluncuran produk baru kita tertunda gara-gara katalog belum siap." Bukannya menjawab pertanyaan Tatiana, Gladys malah langsung membahas soal pekerjaan. Tatiana langsung mengetahui bahwa isi hati boss nya sedang kurang baik. "Oh iya mbak, nanti kalau Endah datang suruh dia siapkan makan siang buat saya."

"Lho, mbak Gladys jam segini belum makan siang? Ini sudah hampir jam 3 lho mbak. Bukannya tadi mbak Gladys bilang kalau mau merayakan sesuatu dengan temannya?"

"Batal. Oh ya, tolong hubungi pak Dudung dan minta dia menjemput saya setelah maghrib."

"Baik mbak. Tapi mobil mbak Gladys gimana?"

"Suruh si Pur antar ke rumah. Oh ya, tolong hubungi showroom. Bilang saya mau ganti mobil."

"Ganti mobil? Bukannya mobil itu baru ganti dua bulan lalu? Kenapa diganti mbak? Eman-eman tho uangnya." Tatiana langsung menutup mulutnya saat dilihatnya pandangan tajam Gladys. "Mbak, tadi pak Ditho bilang kalau besok malam ada acara makan malam bersama keluarga mas Lukas di resto Vicente. Mbak Gladys harus ikut."

"Oke, makasih." Tatiana langsung undur diri setelah menyampaikan berita tersebut.

Gladys >> Mas Banyu dimana?

Banyu >> Baru sampai rumah.

Gladys >> Kok tadi langsung pulang?

Banyu >> Capek.

Gladys >> Ooh. Kok nggak menghubungi aku? Tadi aku nunggu di kantin sama Andre.

Banyu >> Nggak mau ganggu kamu.

Gladys >> Itu bunga dan bonekanya gimana?

Banyu >> Kasih orang lain saja. Aku nggak suka bunga dan boneka. Kayak anak kecil aja.

Gladys >> Tapi mas, itu kan ucapan selamat dariku karena kamu selesai sidang.

Banyu >> Nggak usah pakai hadiah. Boros.

Gladys >> Tapi aku juga belum mengucapkan langsung karena kamu keburu pulang.

Banyu >> Hmm... nggak mengucapkan juga nggak papa. Bukan hal penting kok lulus sidang.

Gladys >> Ya penting dong mas. Semua usaha dan perjuangan mas sudah membuahkan hasil.

Lama tak ada balasan dari Banyu. Gladys menghela nafas kesal. Sejak hari pernikahan Ghiffari dan Khansa, Banyu berubah dan menjauh darinya. Entah apa yang dikatakan oleh abang-abangnya kepada Banyu. Yang pasti Banyu terasa jauh dan tak terjangkau. Banyu jarang merespon wa atau telpon darinya. Gladys mengetahui jadwal sidang Banyu karena ia bertanya pada Aidan. Tadi ia bermaksud memberi kejutan pada Banyu, namun sepertinya malah ia yang dikejutkan oleh Banyu.

"Dys, woy bengong aja lo!" Tiba-tiba bahu Gladys ditepuk dengan keras.

"Eh kuya, apaan sih lo pake acara ngagetin segala!" omel Gladys kepada Khansa yang baru saja datang.

"Makanya jangan melamun mulu. Orang kasih salam didiemin aja." balas Khansa. "Gue pulang bareng elo ya ke rumah mami papi."

"Elo nggak pulang ke apartemen?"

"Gue mau nginap di rumah mami papi aja. Bang Ghif ada proyek di Bali. Berangkat malam ini bareng kru-nya. Gue dengar, si Banyu juga masuk dalam tim yang berangkat ke Bali."

"Ooh....."

"Dia nggak bilang sama elo?" tanya Khansa heran.

"Mungkin lupa, Sa. Maklum kemarin-kemarin dia sibuk belajar buat sidang skripsi. Hari ini dia sidang. Tadi gue ke kampusnya."

"Senang dong calon suami sudah selesai kuliah. Tinggal cari kerja yang sesuai gelar deh. Eh, tapi kenapa tuh muka lo tekuk begitu? Kayak kertas lecek tau gak?!" Gladys hanya mengangkat bahu tak peduli. Khansa memperhatikan dengan seksama wajah sahabatnya.

"Dys, hubungan kalian baik-baik saja kan?"

"Hubungan apa Sa?" Gladys balik bertanya.

"Ya hubungan elo dan Banyulah. Dia kan calon suami lo. Kapan lo mau bilang ke papi mami mengenai hubungan kalian?" tanya Khansa. "Waktu yang mami berikan sudah hampir habis kan?"

"Sudah lewat Sa. Besok malam ada acara diner bareng keluarganya Lukas."

"Lukas teman sekolah bang Ghif? Yang sekarang jadi dokter?" Gladys mengangguk lemah. "Gue masih ragu menyampaikan pada mami papi mengenai Banyu. Apalagi setelah hari pernikahan kalian, dia berubah. Rasanya gue nggak bisa menggapainya."

"Kalian nggak bertengkar lagi kan? Gue kan sudah bilang sama elo untuk merubah sikap manja lo itu. Nggak usah bersikap seperti tuan putri."

"Gue nggak bertengkar sama dia. Gue juga sudah mulai merubah sikap gue. Dan gue rasa nggak ada masalah dalam sikap gue akhir-akhir ini." Gladys membela diri. "Bahkan gue sudah mencoba belajar mengurus diri gue tanpa bantuan Endah"

"Atau ada sesuatu yang diomongin oleh bang Ghif pada saat itu? Karena tadi lo bilang, dia berubah setelah acara pernikahan gue." Gladys terdiam dan berpikir keras mempertimbangkan semua kemungkinan.

"Mungkin juga. Apakah bang Ghif pernah cerita sesuatu saat kalian berdua?"

"Hmm.. kalau lagi berdua mana ada kesempatan ngobrol," Khansa terkikik dengan muka merah padam.

"Aah.. dasar pasangan pengantin baru mesum lo!" Khansa tergelak melihat Gladys ngomel-ngomel. "Makanya buruan kawin biar tau kenapa gue jadi omes."

"Najong dah!."

"Elo nggak nanya sama Banyu apa yang diomongin pada malam itu?"

"Gimana gue mau nanya kalau dia lebih sering menghindar daripada me-reply pesan yang gue kirim."

"Gimana kalau elo datang aja ke rumahnya?"

"Gue nggak enak sama keluarganya . Adik-adiknya dan ibunya sih nggak ada masalah. Mereka sangat welcome. Ibunya terlalu baik dan sering menyuruh Banyu untuk mengantar gue pulang. Gue malah jadi merepotkan Banyu."

"Memang elo sudah pernah ke rumahnya?"

"Beberapa kali. Terakhir ke sana dua hari sebelum elo married."

"Dys, elo beneran suka sama dia?" selidik Khansa.

"Gue nggak tau Sa. Mungkin gue suka sama dia atau mungkin gue sudah jatuh cinta sama dia."

"Serius? Wow, good news banget nih kalau beneran elo jatuh cinta sama dia. Selama ini elo kan nggak pernah serius dengan cowok-cowok yang mendekati elo."

"Entahlah Sa. Yang gue rasakan saat ini jauh berbeda dengan apa yang gue radakan saat pertama gue bertemu dia. Gue nggak suka kalau dia dekat-dekat sama cewek lain. Hati gue sakit saat ada orang yang merendahkan dia."

"Oh my God, elo beneran jatuh cinta sama dia, Dys. Masa hanya gara-gara ciuman singkat itu elo jatuh cinta?"

"Ciuman itu yang membuat gue mendekati dia. Tujuan awal gue supaya nggak dikejar-kejar mami urusan jodoh. Tapi lama kelamaan, rasa itu semakin berkembang. Gue kagum dengan sikap dia yang berani mengambil tanggung jawab sebagai kepala keluarga. Menggantikan sosok ayah bagi kedua adiknya dan membantu ibunya membiayai keluarga. Bukan hanya karena dia semata, aku juga kagum dengan adik-adiknya. Di usia mereka yang masih muda, pemikiran mereka sudah dewasa. Mereka lebih pandai bersyukur dibandingkan gue."

"Dys, gue yakin sudah banyak orang yang mengingatkan lo tentang hal ini. Gaya hidup kalian terlalu jauh berbeda. Seandainya mami papi menyetujui hubungan kalian, apa elo sanggup dan mau merubah gaya hidup lo?" tanya Khansa hati-hati.

"Gue sadar tentang hal itu. Tapi gue rasa itu bisa dipelajari. Iya kan?"

"Tapi itu nggak akan mudah buat elo yang terbiasa nyaman. Dan gue yakin pria seperti Banyu nggak akan mau nebeng sama mertua. Apalagi menikmati fasilitas yang disediakan mertua."

"Iya Sa, dia juga pernah ngomong soal itu. Tapi buat gue, ya realistis sajalah. Di saat kita nggak mampu, sementara ada fasilitas yang disediakan oleh papi, ya masa kita nggak pakai fasilitas tersebut."

"Gladys sayang, wake up! He's not a regular man." Gladys terdiam sejenak memikirkan hal tersebut. Apa yang Khansa sampaikan ada benarnya. Ah, tapi kami kan bisa saling menyesuaikan, walau mungkin tak mudah.

"Lalu gue harus gimana Sa? Besok malam gue harus ikut makan malam bareng keluarga Lukas. Gue yakin mami papi pasti mau menjodohkan gue dengan dia."

"Lukas kan ganteng Dys. Dokter, tajir pula. Elo sama dia aja. Kalau nggak salah dulu dia pernah naksir elo. Bang Ghif pernah cerita sama gue. Kalau elo pilih dia, gue yakin semua orang pasti akan setuju. Cocok banget dari bibit bebet dan bobotnya."

"Nggak tau ah. Pusing gue. Nanti kita mampir ke cafe yuk. Gue pengen ngopi. Elo ajakin anak-anak deh."

"Siap bos."

⭐⭐⭐⭐

avataravatar
Next chapter