1 Dipindah ke desa Nenek

"Amaira."

Saat aku masuk kedalam rumah tiba-tiba suara Papa menghentikan langkahku.

"Dari mana saja kamu?" Tanya Papa mengintimidasiku seolah aku ini seorang pencuri.

"Sejak kapan Papa peduli? Biasanya aku pulang tengah malam juga gak ada yang peduli." Jawabku nyalang.

"Jaga sikap kamu saat berbicara dengan orang yang lebih tua." Bentak Papa. Aku hanya diam tanpa peduli omongan Papa.

Males rasanya berdebat yang nggak penting.

"Apa yang kamu lakukan sampai kamu dikeluarkan dari sekolah?" Tanya Papa dengan rahang mengeras menahan amarah.

Mama berusaha menenangkan Papa dengan mengelus pelan pundak Papa.

"Dikeluarin dari sekolah? Bagus dong, Pa." Ucapku dengan tersenyum.

"Bagus kamu bilang?" Seketika Papa berdiri hendak menamparku tapi dicegah oleh Mama.

"Tenang, Pa. Tenang, jangan emosi." Ucap Mama menenangkan.

"Papa mau apa? Mau nampar? Ayo tampar, Pa. Tampar. Nih, kudekatkan pipiku agar Papa bisa leluasa menamparku. Aku muak dengan hidup ini. Aku sudah muak dengan Mama maupun Papa. Mama dan Papa hanya memikirkan uang dan pekerjaan. Seolah hanya itu yang penting dihidup Mama dan Papa." Kunaikkan nada bicaraku beberapa oktaf. Agar mereka tahu, yang seharusnya marah itu aku bukan mereka.

"Papa dan Mama melakukan ini semua demi kamu. Demi masa depan kamu, Amaira." Nada bicara Papa tak kalah tinggi.

"Apa, Pa? Demi Amaira? Papa nggak salah?" kusunggingkan senyum sinis saat mendengar ucapan Papa.

"Sudah, Pa. Sudah." Mama menengahi perdebatan antara aku dan Papa. "Amaira, lebih baik kamu ke kamar." Perintah Mama.

"Amaira, bersiap-siaplah. Mulai besok Papa akan mengantarmu ke Desa, ke rumah Nenekmu"

Perkataan Papa membuatku syok..

"Apa, Pa? Papa nggak salah ngomong?" Tanyaku memastikan.

"Enggak. Papa sudah mendaftarkan namamu kesalah satu sekolah SMA disana." Ucap Papa menegaskan.

"Apa Amaira disana sendiri, Pa?"

"enggak. Kamu nanti sama temanmu Dini yang pecicilan itu. Sama sepertimu. Papanya Dini juga sudah mendaftarkan Dini kesana. Karena Papanya disini selalu sibuk." Ucap Papa dengan nada bicara yang merendah.

'yesss.. jauh dari Mama dan Papa akan membuatku semakin bebas' batinku.

Raut wajah Papa dan Mama menampakkan kesedihan. Mungkin sedih karena mau berpisah dengan anak satu-satunya.

Tapi bodoh amatlah. Orang mereka nggak pernah peduli denganku.

Setelah berbicara dengan Papa, segera kulangkahkan kakiku menuju kamar. Mandi sebentar, setelah mandi beres-beres barang yang akan kubawa besok ke Desa Nenek. Lebih cepat lebih baik.

Setelah beres-beres kuambil ponselku diatas nakas. Kucari nomor Dini dan memanggil.

Tuut... tuutt..

"Hallo, Ra.. kenapa?" Terdengar suara Dini diseberang sana.

"Ehh, Din, udah tau belum lo kalo mau dipindah kesalah satu sekolah di Desa?" Tanyaku pada Dini.

"Iya, Ra. Gue udah tau kog." Jawab Dini dengan lesu.

"Lah, lo kayak sedih gitu kenapa Din?" Tanyaku penasaran.

"Bokap gue tega banget ngungsiin gue ke Jawa sendirian. Nanti gue disana sama siapa, Ra?" Terdengar Dini sedang menangis.

"Heehh congek, Lo tu dipindah ke Desa sama gue. Lagian nanti kita tinggal di rumah Nenek gue."

"Serius lo, Ra?"

"Serius lah. Cepetan beres-beres. Besok kita bisa bebas jauh dari Orangtua." Ucapku antusias.

Sama sepertiku. Dini juga merasa senang luar biasa. Kita sama-sama kurang perhatian dari Orangtua. Bedanya Dini hanya punya seorang Papa. Jadi wajar kalo nggak ada yang peduli. Papanya sibuk kerja sedangkan Mamanya menikah lagi.

Setelah telefon Dini Aku segera tidur. Agar besok bangun dalam keadaan segar.

*** pagi hari

"Amaira, sayang. Kamu sudah bangun belum?" Terdengar suara Mama dari balik pintu kamar. Segera kubuka pintu sambil membawa koper besar keluar.

"Sudah, Ma. Ini, Amaira sudah siap."

"Kamu mau pergi kerumah Nenek dengan pakaian seperti itu, Sayang?" Tanya Mama sambil mengerutkan keningnya.

"Emang ada yang salah, Ma?" Tanyaku balik

"Hmmm. Sini Mama pilihkan baju yang akan kamu pakai dan kamu bawa kerumah Nenek." Mama masuk kedalam kamarku sambil menggandeng lenganku.

Kulihat Mama sedang memasukkan beberapa baju lengan panjang. Aku memang punya sedikit baju lengan panjang. Itu semua Mama yang beli tapi tak pernah sekali pun aku pakai.

"Nih, ganti baju kamu dengan baju ini." Mama menyerahkan satu set gamis padaku.

"Enggak ah, Ma. Nanti disana pasti panas." Kataku menolak permintaan Mama.

"Kalau kamu nggak pakai gamis ini, Mama yakin nanti disana kamu pasti dapat semprotan dari Nenek." Aku berfikir sebentar, setelah itu menerima baju pilihan Mama. Karena aku tau gimana sifat Nenek. Nenek nggak pernah suka kalau aku memakai baju kurang bahan. Kata Nenek orang jahat itu bukan karena rencana, tapi karena ada kesempatan.

Aku ganti baju didalam kamar mandi. Selesai ganti aku segera keluar.

"Kamu cantik banget, Sayang." Ucap Mama dengan raut wajah kagum.

Emang bener ya aku cantik memakai gamis ini? Kulihat diri didepan cermin, aku seperti tak percaya dengan apa yang aku lihat. Diri ini begitu berbeda. Menurutku jauh lebih cantik.

"Ayo Ma kita keluar." Segera kulangkahkan kakiku keluar kamar sambil menyeret sebuah koper.

"Sepertinya kamu semangat banget, Sayang?" Tanya Mama.

"Harus dong, Ma. Kan pasti disana Amaira punya banyak teman, jadi nggak kesepian lagi." Alibiku pada Mama.

Mama nggak tau aja apa yang aku rencanakan sama Dini.

Kuseret koperku menuju ruang tengah. Dan kutinggalkan kemeja makan untuk sarapan.

"Papa sebenarnya nggak tega jika harus jauh darimu, Amaira. Tapi semoga ini yang terbaik buat kamu." Ucap Papa dengan wajah bersedih.

"Papa tenang aja. Amaira pasti baik-baik saja kog. Lagian Amaira seneng, karena nanti punya banyak teman disana."

"Kamu jaga diri baik-baik ya disana. Jangan bandel, jangan nakal. Papa sudah minta sama Nenek untuk selalu menjagamu. Agar kamu nggak kesepian lagi."

"Iya, Pa."

Selesai sarapan aku sama Papa berangkat menuju rumah Dini untuk menjemput Dini. Papanya nggak bisa nganterin karena ada meeting mendadak.

Kasihan banget sih kamu Din.

Setelah sampai rumah Dini, Aku kaget dengan Dini yang sudah memakai pakaian syar'i. Tumben dia memakai pakaian lengan panjang.

"Din, tumben lo memakai pakaian syar'i?" Tanyaku pada Dini.

"Iyalah. Papa yang maksa." Jawab Dini sambil masuk kedalam mobil.

Mobil melaju perlahan dan segera berangkat ke Jawa. Papa memindahkanku ke Jawa karena SMA tempat sekolahku yang baru sangat dekat dengan tempat tinggal Nenek. Paling perjalanan hanya 15 menit dengan mengendarai sepeda motor.

Kata Papa, disana Nenek sudah menyiapkan sepeda motor untukku.

Butuh beberapa jam untuk sampai ke Jawa. Kupejamkan mataku untuk tidur sejenak. Sebenarnya masih ngantuk. Tapi karena saking senangnya aku tadi bangun sebelum subuh.

"Amaira, kita sudah sampai."

Kukucek mataku perlahan. Aku segera turun dan melihat sekitar. Terlihat bangunan rumah Nenek yang sangat besar dan terlihat asri. Karena disekeliling dipenuhi pohon buah-buahan dan juga ladang.

"Ayo." Ucap Papa sambil merangkul pundakku.

Sok akrab banget sih Papa. Biasanya juga nggak pernah sedekat ini.

Kuikuti langkah kaki Papa perlahan hingga sampai dibangunan besar milik Nenek.

"Permisi..... Ibu" Ucap Papa saat berada didepan pintu rumah Nenek.

avataravatar
Next chapter