1 Bagai Belati Menghujam Jantung

Part 1

Bulir air jatuh disudut mataku. Jantung menghentak keras dadaku. Ketika aku menutup sekujur tubuhku dengan selimut, namun sama sekali tak membantuku untuk menghangatkan tubuh ini. Disaat seperti ini fikirku kembali menerawang entah kemana tujuan berkelabu... Yang ada hanya kekhawatiran untuk dikemudian hari.

***

Teng.. teeeng... Teeeeeng...

Jam didindingku yang lusuh berbunyi, menunjukan pukul dua belas malam. Kak Ardi, lelaki yang menikahiku selama tujuh tahun itu belum juga pulang, entah kemana. Rasanya, jika dia mempunyai ponsel takkan sesulit ini memikirkannya.

Disaat itu Fiyo putra tunggalku yang berusia lima tahun sudah tertidur lelap mengelabui mimpi dengan memeluk bantal kesayangannya. Kupeluk membelakanginya dengan balutan tubuhku yang selalu menghangatkannya. Meski berumur lima tahun akan tetapi tubuhnya tak mencerminkan usianya. Yaa, tubuhnya kurus saat itu.Makannya selalu banyak, mungkin karna ia slalu menyaksikan perih yang didera ibunya selama ini. Kini tidak terasa ia baru menduduki pendidikan diTaman Kanak-Kanak.

Kucoba memejamkan mata agar malam cepat berlalu, namun seperti biasa aku tak dapat dengan mudah untuk tertidur jika Kak Ardi belum ada disampingku.

Resah? ya, hanya kata itu yang menyelimuti hati setiap kali ini terjadi. Ulah apa lagi yang dia buat kali ini? Apa lagi yang dia lakukannya kali ini, sampai dia tidak bisa menutup malam bersama kami anak dan istrinya? Bertubi-tubi pertanyaan merasuki fikiran.

***

Sudah hampir tujuh tahun, aku tinggal dirumah mertuaku. Bersama kedua mertua dan satu adik ipar perempuan. Aku merawat kedua mertuaku, serta merawat rumahnya karna mertua jarang sekali dirumah.

Mereka selalu pulang larut malam berjualan beraneka macam buah-buahan dipasar, untuk mencari sesuap nasi demi kami seisi rumah ini. Mengapa seisi rumah? Ya, karna aku dan anakku ikut menjadi tanggungan kedua mertuaku sejak tahun ketiga dinikahi oleh Kak Ardi. Termasuk adik iparku, yang dua tahun usai lulus Sma belum juga kunjung mendapatkan pekerjaan.

"Buk, Kak Ardi kok semalaman gak pulang ya buk? Pasti ada yang hilang ya buk? Apa lagi buk yang hilang kali ini?". Tanyaku sambil menyodorkan air minum untuk Fiyo diselimuti dengan resah, yang dari semalam mengganggu tidurku.

"Susah Ririn ibumu ini mencari uang, mencari hutang kesana kemari untuk mencari modal jualan kali ini, coba lihat apa yang kali ini suamimu perbuat, motor dia gadaikan lagi, sudah enam dijualnya entah dimana, kali ini entah dijualnya atau digadainya lagi". Jawab ibu mertuaku, sambil menyuapi sarapan untuk putra tunggalku yang sangat ia sayangi.

Sembari menghembuskan nafas panjang aku berkata,"Astaghfirullah, entahlah buk... Apa yang ada didalam fikirannya, nih anaknya udah sekolah, tak ada niatkah dia mencari nafkah untuk menyekolahkan anaknya?"

Sebenarnya walau hanya dengan ijazah Smp, aku ingin sekali turut mencari nafkah untuk menutupi masalah perekonomian keluarga kecil ini. Tetapi tuntutan mertua yang selalu memberatkanku dalam langkah ini, menyarankan untukku selalu fokus saja menjadi ibu rumah tangga seutuhnya, karna meninggalkan Fiyo satu-satunya putra kami yang mulai belajar di bangku pendidikan TK bukanlah jalan yang tepat.

Meskipun banyak yang berkomentar, buang saja suamimu, tinggalkan saja dia karena sejak empat tahun pernikahan atau tepatnya sejak mengenal barang haram tersebut Kak Ardi sangat malas untuk menafkahi keluarga kecil kami. Tiada lain, kerjaannya hanya menjual atau menggadaikan seluruh isi barang didalam rumah mertuaku ini, untuk modal dia bersenang-senang diluar sana. Sungguh menyusahkan kedua orang tuanya.

"Yasudah! Kalo dia pulang, gak usah kasih dia makan, biarin aja dia kelaparan, rasakan itu! Makan saja uang hasil dari menjual atau gadaian motor itu, ibu tak ikhlas dibuatnya susah!"

"Iya buk". Kataku singkat, menuruti apa yang beliau katakan. Meski beliau marah bagaimanapun juga, tapi menurutku itu cuma hanya sebatas kata-kata yang tidak mampu menimbulkan efek jera kepada suamiku. Bagaimana tidak? inipun sudah motor yang ke enam yang digadai suamiku. Digadainya lalu ditebus, digadainya lagi lalu ditebus oleh mertuaku, terus... begitupun seterusnya, hingga mertuaku tidak sanggup lagi menebusnya dan semua motor-motor itupun lenyap.

"Nih Rin, tolong kamu lanjutin suap si Fiyo Rin, ini sudah jam delapan pagi, sudah lumayan siang nih jam ibu kepasar, menunggu Ardi sepertinya takut sekali dia menunjukkan batang hidungnya dirumah ini setelah dia melakukan ulahnya. Ya sudahlah... ibu mau nyusul ayah & adikmu dipasar, kasihan mereka karena pagi ini mangga masuk banyak sekali dari Agen". Memang saat ini bulan Oktober, dimana lagi musim sekali buah Mangga. Mengingatkanku, dimana bulan itu kami menikah, tepatnya pada tanggal dua puluh delapan Oktober. Ya, sebentar lagi Anniversary pernikahan kami ke delapan tahun.

"Iya buk, hati-hati ya buk dijalan" Jawabku sambil menyambut anakku dari tangan ibu.

Melanjutkan suapan terakhir nasi dimulut anakku yang sedang bermain lego didepanku, sambil sesekali kulemparkan lamunanku yang jauh memikirkan Kak Ardi yang tak kunjung pulang saat itu. Kucoba tepis kali ini dia dari fikiranku, karna pagi ini masih banyak aktifitas penting dirumah ini yang harus aku lakukan.

***

Kini menunjukan pukul 12.02 WIB . Setelah sholat, aku menemani anakku tidur dikamar sembari duduk mengotak-atik handphone.

Kreeeeeeek...!

Bunyi daun pintu depan rumah yang berusaha dibuka perlahan, disaat itu juga aku keluar kamar dan melihat raut muka Kak Ardi yang sedari malam kutunggu dengan dahinya yang mengernyit, penuh tatapan tajam menyusuri segala sudut isi rumah. Tentunya ia pulang tanpa mengendarai motor ibu, benar apa yang ibu bilang padaku, ini pasti terjadi. Lalu setelah ia mengetahui keberadaanku, ia bertanya, "Dek Rin, Ada orangkah dirumah ini?" Tanyanya, sembari berbisik kepadaku.

"Gak ada kak. Ibuk, ayah dan adik semuanya ada dipasar, banyak mangga dari agen tadi pagi masuk di kios mungkin mereka terlalu sibuk untuk pulang, mungkin juga mereka makan siang dipasar?" Jawabku, sambil kembali kekamar.

Dengan santai kak Ardi melangkahkan kaki kedapur, untuk mengambil makan pastinya. Iyalah, siapa yang mau nampung dia didalam pelariannya? pasti uangnya sudah habis maka dari itu dia pasti pulang, untuk sekedar makan dirumah.

"Dek Rin, ibuk nanya aku gak kekamu? dia bilang apa kekamu?" usai makan, ia bertanya padaku tanpa merasa berdosa, sambil membuka gorden, lalu masuk kekamar.

"Sudahlah kak Ardi.. jalani saja hidup dengan normal, tinggalkan dunia gelap seperti yang kau jalani sekarang ini, lihatlah kedua orang tuamu susah untuk mencari modal usaha, hutang kesana kemari. Takkah kau hiraukan mereka? Terlebih lagi anakmu sudah mau SD tahun depan, tak adakah niat untukmu menyekolahkannya?", jawabku kepadanya, terlalu terbakar emosi jiwaku kali ini.

Plaaaaak...!!! Plaaaaak!!!

Tangan Kak Ardi mendarat dikedua pipiku yang lusuh. Tak terasa bulir air mengalir dari setiap sudut mataku, jantung tak henti menghentakkan dada, tak kalah tubuhkupun ikut bergetar. Rasa hati ingin berhenti menjalani, jiwa terasa terlukai, kecewa yang tiada henti... Ya, selama hampir delapan tahun pernikahan ini, kak Ardi kerap kali KDRT kepadaku, tak pernah perduli walau didepan anaknya, tak pernah aku bertindak tegas selama ini, karena fikirku selama dia masih setia pasti dia masih menyayangi kami. Tak perduli apa kata mereka diluar sana.

"Ibuuuuu... jangan nangis, sudah buk.. ayo kita keluar saja...", kata Fiyo, seketika ia sesegukan menangis setelah melihat apa yang dilakukan ayahnya kepadaku.

Mata pria berawakan besar tinggi itu langsung menatap tajam putraku, yang terlihat sangat takut dibuatnya.

***

BERSAMBUNG...

avataravatar
Next chapter