22 Pertemuan pertama

Ghibran keluar dari rumahnya. Melakukan olahraga pagi dengan berkeliling komplek perumahan. Beberapa ibu-ibu yang kenal dengannya menyapanya begitu ramah, bahkan beberapa anak kecil yang tengah bermain sepeda dihalaman rumah juga menyapa Ghibran saat lewat. Orang-orang komplek perumahan yang ia diami bersama dengan kedua orang tua nya ini sangat ramah. Membuat Ghibran merasa tidak perlu khawatir jika ia tengah melakukan tugasnya yang berarti jarang pulang ke rumah.

Seminggu sekali, ibu-ibu komplek akan mengadakan masak bersama. Itu sudah dilakukan sejak komplek rumah ini mulai dihuni. Zaman sekarang, kebanyakkan orang-orang terkadang tidak tahu dengan tetangganya sendiri. Mungkin karena sibuk bekerja, karena dia memang anti sosial. Dengan diadakannya acara tersebut agar mempererat hubungan antar tetangga dan warga komplek.

" Ka Ghibran!."

Ghibran menghentikan kegiatan lari paginya. Berhenti di salah satu rumah yang penuh akan tanaman dihalaman rumahnya. Pemuda berseragam putih abu-abu keluar dari rumahnya, menghampiri Ghibran.

" Ada apa, Mar? ." seru Ghibran.

Ammar segera menyerahkan tiket pertunjukkan yang ia beli kemarin kepada Ghibran. Ghibran menerika tiket pertunjukkan tersebut. " Kemarinkan kak Ghibran minta aku untuk membelikan tiket ini." jawab Ammar.

Ghibran merutuki kebodohannya saat ini. Terlalu memikirkan tugas hingga lupa dengan permintaan nya kepada remaja dihadapannya.

" Pertunjukkannya, pagi ini?." kaget Ghibran.

Ammar memamerkan cengiran lima jarinya. "Maaf ka Ghibran. Aku lupa memberitahu jika pertunjukkan nya di mulai pagi jam sembilan." seru Ammar tanpa dosa.

Ghibran segera berlari menuju rumahnya hingga ia lupa untuk berpamitan dan mengucapkan terima kasih kepada Ammar yang telah menatap kepergiannya.

" Dasar ka Ghibran, selalu saja seperti itu." gumam Ammar lalu kembali masuk kerumah untuk bersiap-siap berangkat ke sekolah.

***

Zea sudah mempersiapkan diri selama sebulan untuk penampilannya hari ini. Ia akan berusaha memberikan penampilan terbaik untuk para penonton yang sudah hadir dalam acara ini. Bersama dengan pianis lainnya, Zea mendapatkan urutan terakhir. Satu persatu mereka memainkan permainan piano dengan baik. Semua orang yang hadir begitu kagum akan permainan mereka. Kini giliran Zea yang akan tampil.

Zea berdiri di depan piano. Menghela napas saat rasa gugup melanda dirinya. Dia duduk, mulai memainkan permainannya dengan membawa Robert Shumann, Soneta Piano No.2 G Minor dan Love's sorrow-kreisler rachmaninov.

Semua penonton terpesona akan permainan Zea. Begitu juga dengan Ghibran yang duduk dikursi penonton, melihat penampilan Zea dihadapannya. Alunan suara piano menenangkan pikirannya.

Eri, pelatih Zea menonton penampilan Zea dari layar yang ada di ruang tunggu. Senyuman tulus menghiasi wajah yang mulai berkeriput karena faktor usia. Rasa puas muncul dihatinya saat mendengar suara lantunan piano yang begitu sempurna dimainkan oleh Zea.

Permainan Zea berakhir. Semua orang berdiri memberi tepuk tangan kepada Zea atas penampilannya. Senyuman kebahagian muncul diwajah Zea, ia melambaikan tangannya sebagai ucapan terima kasih kepada para penonton yang sudah menonton penampilan nya bersama dengan para pianis lainnya.

***

Mengisap rokok merupakan kebiasaan buruk Zea Adrian, pria berdarah Inggris-indonesia. Ibunya lahir di pulau kalimantan selatan, Banjarbaru. Sedangkan ayahnya lahir diinggris, kota York, kota kecil di utara Inggris.

Kulit putih bersih dengan bibir merah merona menjadi nilai tambahan untuk Zea. Tapi, mata indahnya dikelilingi oleh lingkaran hitam. Ia kolaps. Kelelahan akibat jadwal panggungnya yang padat. Untuk menghilangkan lingkaran hitam tersebut, ia terpaksa mempertebal riasan wajahnya agar tidak ketahuan saat tampil diatas panggung.

Sudah dua batang rokok yang ia nikmati dan sekarang ini menjadi yang ketiga. "Aku tak menyangka, bisa bertemu dengan mu disini yang tengah menikmati rokok." cetus Ghibran yang niat awalnya ingin melihat pemandangan kota diatas gedung justru malah bertemu dengan Zea yang tengah merokok.

Zea menoleh kebelakang. Terganggu akan kehadiran Ghibran. "Jika kau tidak suka maka pergilah.."kata Zea yang kembali mengisap rokok."...lagi pula kita tidak saling kenal."lanjutnya begitu cuek dengan Ghibran.

Ghibran merebut rokok yang dihisap oleh Zea. Membuangnya kebawah dan menginjak rokok tersebut. Zea begitu kesal melihat perbuatan Ghibran barusan. Ia belum puas menikmati rokoknya saat ini. "Apa aku pernah berurusan dengan mu?."

" Merokok tidak baik untuk kesehatan mu." Ghibran mengabaikan pertanyaan Zea. Dengan santainya dia pergi meninggalkan Zea. Zea yang melihat tingkah menyebalkan dari Ghibran hanya bisa melongo seperti orang idiot. "Sungguh?." Zea begitu marah dengan Ghibran, "Hey... kau harus bertanggung jawab atas tindakkan mu barusan!" teriak Zea. Mengejar Ghibran yang sudah turun kelantai lima.

Genggaman yang begitu erat dapat dirasakan Ghibran saat ingin menyentuh tombol lift. Ia menoleh, menatap si pelaku yang berani mencengkram pergelangan tangan nya. Ghibran menatap nya, menunggu Zea tengah mengatur napasnya yang terputus-putus. Terlihat jelas jika Zea tidak pernah melakukan olahraga.

"Kau, benar-benar menyebalkan."

"Hanya itu?" heran Ghibran. Berlari mengejar dirinya hanya untuk mengatakan jika dirinya menyebalkan?. "...Lepaskan tanganku, aku harus pergi!." kata Ghibran dengan tegasnya menyuruh Zea untuk melepaskan genggamannya.

Zea malah memeluk tangan kiri Ghibran. Mereka berdua menjadi pusat perhatian. Apalagi tingkah Zea yang begitu langka, benar-benar aneh untuk diabadikan. Ghibran tak suka dengan suasana seperti ini. Segera ia menyeret Zea dengan mudahnya masuk kedalam lift, sebelum pintu lift tertutup rapat.

"Apa mau mu?." tanya Ghibran heran.

"Aku lapar..." rengek Zea. Ghibran menjadi kesal mendengar rengekkan manja yang dikeluarkan pria disampingnya. "...kau tinggal cari restoran, warung, atau kafe di sekitar sini. Kenapa kau justru meminta ku?."

"Aku tidak bawa uang."

Ghibran yakin jika perkataan Zea barusan benar-benar sebuah kebohongan. Mustahil sosok seperti Zea tidak membawa uang.

"Jadi intinya kau ingin aku mentraktirmu?." kata Ghibran yang dapat menebak pikiran Zea, dia berdiri dengan cepat. Melepaskan pelukannya dengan wajah penuh ceria. Tidak ada lagi wajah kelelahan.

"Cafe Sweet, terkenal akan olahan Pastry nya." kata Zea.

Mereka kini berjalan menuju tempat parkir. Ghibran menyuruh Zea untuk tidak banyak bicara dan segera membukakan pintu untuk Zea.

Zea masuk ke dalam disusul oleh Ghibran.

Sesuai dengan keinginan Zea. Akhirnya mereka sampai di depan Cafe Sweet. Segera mereka berdua keluar setelah memparkirkan mobil BMW milik Ghibran. Suara lonceng berbunyi saat Ghibran membuka pintu Cafe. Cafe begitu ramai pengunjung. Salah satu pemuda yang bekerja di Cafe menunjukkan dua bangku kosong dekat jendela yang dapat digunakan oleh Ghibran dan Zea.

Zea begitu senang, terlihat dari ekpresi wajahnya. Begitu antusias saat mulai memilih menu makanan. "Brownies, chocolate cake, carrot cake, banana cake, red velvet, lava cake, cheese cake, dan pastry." Zea kembali membuka buku menu minuman."Ice Blend." Zea sudah menentukan pilihannya.

Pemuda itu mencatat pesanan Zea dengan tangan yang begitu terampil.Cepat.

"Espresso dan pastry!." Ghibran juga sudah menentukan pilihannya.

Pemuda itu segera menyerahkan pesanan Zea dan Ghibran untuk segera disiapkan. Ghibran memastikan jika pemuda itu sudah tidak berada disekitar mereka. Segera Ghibran menyentil kening Zea begitu keras hingga Zea mengaduh kesakitan. "Kenapa kau begitu kasar kepadaku, tuan aneh.." cetus Zea sambil mengusap keningnya yang kini agak memerah.

"Kalau kau benar-benar lapar. kita bisa makan di warung pinggir jalan. Pesanan mu itu benar-benar banyak sekali."

"Anggap saja ini hukuman mu."

Tak lama pesanan mereka datang. Dewa pemilik cafe menaruh pesanan Ghibran dan Zea keatas meja. "Pesanan kalian brownies, chocolate cake, carrot cake, banana cake, red velvet, lava cake, cheese cake, dan dua pastry."

"...serta espresso dan ice blend."

"...silahkan dinikmati!." Dewa melayani pelanggannya begitu ramah.

Zea menatap Dewa. " Ka Dewa?. Aku tidak menyangka jika kau ada disini." Zea begitu terkejut dengan kehadiran Dewa.

Dewa tersenyum kearah Zea. "Sepertinya pertunjukkan mu sukses besar."

"Ya, pertunjukkan ku sukses besar. Ngomong-ngomong bagaimana dengan Hafi?."tanya Zea.

"...dia sudah berangkat."

"Begitukah?" Zea nampak kecewa. Dia sebenarnya ingin berbicara banyak dengan Hafi, apalagi saat ia berkunjung kerumah keluarga Prayoga tadi pagi, Hafi begitu banyak menceritakan kehidupan nya. Pertemuan singkat membuat mereka berdua menjadi teman akrab walau beda usia.

"Aku harus membantu yang lainnya..." Dewa menepuk bahu Zea pelan."Nikmatilah..." lanjutnya lalu pergi meninggalkan Zea berduaan dengan Ghibran.

Ghibran selalu memperhatikan Zea, mulai dari memesan makanan hingga berintraksi dengan Dewa sambil menikmati espresso nya.

Zea mulai memakan cheese cake. Bergumam saat kue tersebut masuk kedalam mulutnya. Zea tidak menyesal telah memilih cafe sweet. Kue yang dihidangkan benar-benar enak.

"Pelan-pelan saja. Kue nya takkan lari."kata Ghibran saat melihat gaya makan Zea yang begitu tergesa-gesa.

Zea menjawab perkataan Ghibran dengan anggukan kepala. Mulutnya penuh dengan cheese cake. Dalam pandangan Ghibran, Zea benar-benar mirip seperti hamster.

Ghibran membayar dikasir, sedangkan Zea menunggu diluar cafe. Siang yang begitu panas kini berganti dengan awan mendung dan angin dingin berhembus dengan kencang. Ghibran keluar sari cafe setelah membayar, menyuruh Zea untuk masuk kemobil sebelum turun hujan.

Mobil BMW yang ditumpangi oleh Zea kini memasuki area komplek perumahan elit. Ghibran memutuskan untuk mengantar Zea karena menurutnya akan sangat merepotkan jika kembali kegedung pertunjukkan.

Zea keluar menggunakan payung milik Ghibran. Hujan dengan deras membasahi sekitar. "Terima kasih banyak..." Kata Zea lalu berlari masuk kedalan rumah. Meninggalkan Ghibran yang melongo melihat tingkah Zea.

" Dia pergi begitu saja?"

" Bahkan dia tidak tahu nama ku." gumam Ghibran. Ia mengemudi mobilnya, meninggalkan komplek perumahan.

avataravatar
Next chapter