20 Perjalanan waktu mu sampai disini

Ledakkan yang mengejutkan. Resga baru sadar jika Kirana dan Dokter yang menangani luka Kirana tidak ada bersama mereka. Abbiyya yang masih setengah sadar berusaha berdiri. Melangkahkan kakinya walau itu menjadi sia-sia. "Kirana!." teriak Abbiyya begitu putus asa.

"Kita harus pergi dari sini." kata Resga yang melihat pergerakkan dari kejauhan. Ia menggendong Abbiyya, memasukkannya kedalam mobil patroli. Disusul oleh Maulidin yang membawa Chandra.

Dor! tembakkan mengenai kaca spion mobil. Resga segera menjalankan mobilnya, menjauh dari Ardian yang masih menembaki mereka.

Abbiyya menangis. Memanggil nama Kirana berulang kali, berharap jika Kirana masih hidup. Maulidin menatap Abbiyya yang duduk dikursi belakang. Mencengkram bahu Abbiyya sekuat tenaga. Berusaha menyadarkan Abbiyya saat ini. "Relakan saja, Abbiyya!. Jika kau terus-terusan menangis,Kirana juga akan ikut menangis disana!.".

Abbiyya menggeleng kepalanya pelan. "Bagaimana bisa Kirana meninggalkanku seperti ini?!." Teriak Abbiyya.

Resga tahu perasaan Abbiyya. Jika itu terjadi kepada dirinya pun, ia akan melakukan hal yang sama seperti Abbiyya. Kehilangan orang yang begitu berharga memanglah sangatlah menyakitkan.

Saat Maulidin kembali lagi menoleh kebelakang. Ia melihat sebuah mobil jeep melaju dengan cepat kearah mereka. Resga langsung menghindarinya, namun sayangnya mobil yang mereka tumpangi menjadi tidak stabil hingga menabrak batas jalan.

Sekilas mereka dapat melihat Ardian yang ada dalam mobil jeep tersebut keluar. Memastikan jika mereka sudah tewas. Merasa jika mereka sudah tewas, Ardian kembali berjalan memasuki mobil jeepnya. Meninggalkan mobil tersebut.

Maulidin tersadar dari tidur singkatnya. Membuka kedua matanya dan memfokuskan pandangannya yang masih buram. Maulidin tak menyangka jika Ardian akan menghantam mobil yang mereka tumpangi hingga menghantam pembatas jalan.

Dia segera melepaskan pengaman. Luka lebam yang didapatnya terlihat jelas. "Tuan Abbiyya." Panggil Chandra yang terlebih dahulu sadarkan diri. Menepuk-nepuk bahu Abbiyya.

Terlihat jelas jika Abbiyya kini tengah kesulitan bernapas.Maulidin segera melakukan pertolongan dengan menempatkan tangan Abbiyya di bawah dagu dan mengangkat dagu ke depan untuk membuka jalan napas. Tangannya kini berada di dahi Abbiyya. Mendorongnya kebelakang.

Chandra sibuk menghubungi petugas medis sedangkan Maulidin memastikan jika Abbiyya benar-benar bernapas. Manik hitam nya turun. melihat naik turunnya dada. "Bantu aku memiringkan tubuh Abbiyya. Dia harus tetap bernapas!." Abbiyya yang tidak sadar diri, kini tubuhnya dimiringkan lurus oleh Maulidin, Resga dan Chandra.

"Mereka akan segera datang." seru Chandra yang kini menahan rasa sakit dikepalanya. Sesekali ia menyeka darah yang keluar dari pelipisnya. Obat bius bekas operasi tidak bekerja.

Benar saja. Tak lama mereka dapat mendengar suara bunyi sirene dari kejauhan. Resga segera keluar dari dalam mobil dan melambaikan kedua tangannya kearah ambulans.

Petugas medis segera membawa mereka berempat menuju rumah sakit terdekat.

***

Ruang UGD begitu sibuk saat ini menangani berpuluh-puluh pasien yang terus berdatangan. Kebanyakkan dari mereka adalah korban ledakkan bom yang baru saja terjadi. Ledakkan yang mengejutkan dan tidak dapat diprediksi.

Aulia, dokter yang akan menangani pasien bernama Abbiyya. Mereka segera memasukkan Abbiyya menuju ruang operasi. Resga, Chandra dan Maulidin menunggu proses operasi Abbiyya diluar. Tak di perdulikannya luka yang ada ditubuh mereka.

Maulidin merogok saku celananya. Menelpon seseorang. "Dewa, cepat ke UGD Mawar. Abbiyya tengah menjalankan operasi.".

"...Baiklah, aku segera kesana." Jawab Dewa. Maulidin mematikan panggilannya. Setidaknya, ia sudah memberitahu keadaan Abbiyya kepada Dewa.

Setelah menghubungi Dewa, Maulidin kembali menghubungi seseorang. "kakek." Maulidin menghubungi kakek Abbiyya."Cucu kakek sekarang berada di ruang operasi. UGD Mawar." "...ka-" Maulidin mengerut alisnya, melihat panggilan diakhiri oleh Pak Arul. Sepertinya beliau akan segera kesini secepatnya.

Alat komunikasi milik Resga rupanya masih menyala. Ia segera menekan tombol dekat telinganya, mendengar suara panggilan masuk. " Dimana kau sekarang?." Tanya Ardi melalui alat komunikasi.

" UGD mawar, ruang tunggu operasi." Jawab Resga.

Suara langkah kaki terdengar jelas dari arah belakang. Resga menoleh dan menemukan Ardi berserta rekan-rekan nya yang ternyata sedari tadi sudah ada di UGD membantu para dokter mengevakuasi korban.

" Siapa yang ada dalam ruang operasi?, Dimana Kirana?." Tanya Rendy penasaran.

Resga menghela napas. " Dokter Abbiyya yang ada didalam ruang operasi..."

" Abbiyya?." seru Ardi kaget mendengar perkataan Resga barusan.

Resga menganggukan kepalanya. "Kirana—" tiba-tiba saja Resga menangis dihadapan mereka. "—Maafkan aku. Aku tidak bisa menyelamatkan nya dari ledakkan bom.".

Emma, Dewa, Hafi,dan Pak Arul datang tepat waktu. Mereka berempat menghampiri mereka. Meminta penjelasan mengenai Abbiyya saat ini. Resga, Maulidin dan Chandra menjelaskan jika mobil yang mereka tumpangi mengalami kecelakaan sehingga Abbiyya berada didalam ruang operasi. Resga, Maulidin dan Chandra hanya mendapatkan luka ringan, namun Abbiyya lah yang mendapatkan luka serius.

Pak Arul terduduk diatas lantai. Memanggil cucunya. Dia begitu shock mendengar kabar barusan, ditambah dia baru saja mengetahui jika Kirana tewas dalam ledakkan Rumah Sakit Zaleh bersama dokter yang menangani Kirana. Emma memeluk Pak Arul, berusaha menenangkan Pak Arul.

Para dokter dan perawat yang berusaha menyelamatkan Abbiyya kini bertempur habis-habisan. Meskipun kecil kemungkinan bisa menyelamatkan nyawanya, tapi mereka tetap berusaha melakukan yang terbaik.

Ruang Operasi terbuka, Aulia melepas jubah operasi yang dikenakannya dan membuangnya ke tempat sampah. Emma menghampiri Aulia terlebih dahulu. Raut wajah Aulia begitu mencurigakan. "Kami gagal menyelamatkannya." lirih Latifah. Terduduk diatas lantai sambil menangis.

Emma ikut menangis. Berita barusan mengejutkan nya. Dia belum siap kehilangan orang yang paling berharga. Kenangannya bersama Abbiyya kini berputar kembali dipikirannya.

Maulidin berusaha menahan airmatanya yang ingin keluar. "Kenapa? kau meninggalkan kami seperti ini?." Teriak Maulidin. Chandra berusaha menenangkan Maulidin yang kini berusaha untuk mengendalikan emosinya. Ia benar-benar marah. Kehilangan Abbiyya seperti kehilangan salah satu anggota keluarganya sendiri.

Dewa berada dalam pelukkan Hafi. Menyembunyikan wajah nya yang begitu kacau. Sama seperti Maulidin, Kehilangan Abbiyya sama seperti kehilangan salah satu keluarganya sendiri.

Abbiyya menatap mereka semua yang menangisi kepergian nya. Semilar angin entah mengapa dapat dirasakan oleh Abbiyya dalam ruang itu. "Sudah waktunya.. " Seseorang berjubah hitam mengulurkan tangannya. Tersenyum ramah kearah Abbiyya yang kebingungan.

"..Kita harus pergi!."

Abbiyya menerima uluran tangan tersebut. Mereka berdua berjalan menuju sebuah cahaya terang yang tengah menunggu kehadirannya.

***

Senyuman malu-malu dari seseorang dapat dilihat oleh Abbiyya kecil. Sosok sang Ayah yang tengah menggendong bayi ditemani dengan sang ibu. Mereka begitu bahagia, terlihat jelas di wajah mereka masing-masing.

Cahaya keemasan mengelilingi tubuh mereka bertiga dan itu membuat Abbiyya merasa kagum.

" Eh! Abbiyya." seru Kirana dengan senyuman cantiknya. Merentangkan kedua tangannya berharap jika Abbiyya berlari memeluk dirinya.

Kaki mungil Abbiyya berlari menuju Kirana. Kedua tangan mungilnya memeluk tubuh Kirana yang memiliki aroma mawar. Abbiyya merindukan pelukkan hangat sang ibu hingga membuatnya menangis.

" Loh, kenapa Abbiyya menangis? " Tanya Mahesa yang khawatir dengan anak pertama nya. Abbiyya menggeleng kan kepalanya, cepat-cepat ia menghapus air matanya yang mengalir keluar. "Abbiyya cuma merindukan kalian berdua " kata Abbiyya dengan cengiran lebar.

Mereka berdua terkekeh geli, Mahesa menyerahkan bayi yang ia gendong kepada Kirana. Kedua tangan kekarnya mengangkat tubuh mungil Abbiyya keatas sambil memutar-mutar tubuh mereka. Abbiyya tentu tertawa bahagia di perlakukan seperti itu. Mengingatkan nya akan masa kecilnya, disaat sang ayah pulang dari tugasnya.

Kalau bisa, Abbiyya ingin tetap bersama kedua orang tua nya.

***

Tangan tan kecoklatan itu bergerak pelan, kedua matanya mulai terbuka. Rupanya, Nathan baru saja siuman. Namun ada yang aneh, ia menangis saat ini. Rasanya, mimpi yang dilihat barusan nampak sangat nyata.

" Gunthur " seru Intan saat melihat Nathan yang kini menangis sambil menutup kedua matanya menggunakan tangan kekarnya.

Intan nampaknya sudah tahu, jika Nathan mengetahui  kematian Abbiyya melalui mimpi.

Fadjar dan Andika yang juga ikut menunggu Nathan bersama Intan memeluk Nathan. Memberi kekuatan kepada Nathan yang kini menangis. "Abbiyya... " Panggil Nathan begitu putus asa.

Tanggal 23 September, pukul 20:00 malam. Navy Abbiyya dinyatakan meninggal dunia.

avataravatar
Next chapter