webnovel

King Cobra (2)

Malam ini sangatlah dingin, membuat Hafi harus mempererat jaket yang ia kenakan saat ini. Angin malam menerpa wajah nya tanpa henti, nampaknya malam ini akan turun hujan.

Hafi berjalan memasuki toko buku langganannya, suara bunyi bel terdengar saat Hafi masuk ke toko. Ucapan selamat datang terdengar jelas di indra pendengar nya. Hafi hanya membalas sambutan itu dengan senyuman ramahnya.

Tangannya terhenti meraih buku diatas saat melihat tangan seseorang yang juga ingin meraih buku tersebut. Manik hitam melirik sekilas kearah gadis disampingnya itu lalu perlahan menjauh. tapi, gadis itu justru mencegah Hafi untuk pergi. ia menggenggam tangan Hafi begitu eratnya, ekpresi wajah ketakutan ia perlihatkan kepada Hafi.

Gadis itu, seakan ingin meminta pertolongan kepada Hafi. " Ambilah buku itu, aku bisa mencari yang lain " Kata Hafi, ia lebih memilih untuk pura-pura tak peka.

Saat ia menjauh, sosok pria tampan namun memiliki ekpresi menyeramkan menghampiri gadis itu. Hafi berhenti, menoleh menatap interaksi mereka berdua dari kejauhan. Bohong jika ia tak khawatir, rasa bersalah timbul saat ini. Menyesal karena tak mau mendengarkan perkataan gadis itu.

***

Anggap saja jika saat ini dirinya benar-benar gila. Mengikuti mobil hitam dihadapannya menuju hutan yang entah dimana lokasinya saat ini. Hafi sama sekali belum pernah memasuki hutan ini. Ia turun saat mereka berdua memasuki hutan tersebut, melangkah dengan pelan berharap jika tidak ada serangga maupun ular yang terinjak oleh kakinya.

Manik hitam nya menatap bangunan dihadapannya, seperti mansion yang ada ditengah hutan. gadis itu masuk kedalam bersama pria itu. Hafi menoleh kanan-kiri, memastikan jika disekitarnya tidak ada orang. Meraih batu dekat kakinya dan membidiknya kearah CCTV gerbang muka.

Trak! (CCTV pecah)

Segera Hafi meloncat masuk kedalam. Menutup wajahnya dengan tudung jaket dan memasuki mansion tersebut secara diam-diam.

Luas dan megah, berbeda dengan penampilan diluar yang begitu suram dan tak terawat. Hafi bahkan memuji desain dalam mansion tersebut berulang kali.

" Aish, kita harus menangkap tentara sialan itu. " Umpatan kesal dilontarkan oleh salah satu pria yang ada dilorong mansion.

Hafi semakin mempertajam indra pendengaran nya.

" Ya, kau benar. kalau sampai mereka lolos bisa-bisa rencana kita hancur berantakan "

" Seharusnya mereka sudah mati bersama dengan ledakkan kapal milik boss!"

" Memang layak mereka disebut pasukkan elit, keahlian mereka begitu luar biasa. "

" Tapi menurutku mereka tidak akan bisa mengkalahkan tuan Ardi. Dia pembunuh profesional kita, pemimpin pasukkan khusus Cobra dan akan menjadi penerus organisasi ini."

Hafi terkejut mendengar perkataan dua orang pria tersebut. Ia bersandar kedinding sambil mengawasi sekitarnya. Mencari ruang agar ia bisa bersembunyi untuk saat ini. " Ardi.. Ardi.. Ardi... -" Hafi menghentikan gumamnya itu, " Bukankah dia teman ka Dewa dan ka Abbiyya? " kata Hafi.

***

Kirana menatap pria yang tengah duduk di atas sofa berwarna merah gelap yang tengah menikmati secangkir kopi hitam. Mata sayu namun begitu tajam bagaikan elang itu menatap kearah Kirana yang berdiri di hadapannya. Kirana nampak ketakutan, terlihat jelas saat ini kedua kakinya bergetar ketakutan.

Dalam hati, ia selalu berdoa meminta pertolongan. Menahan rasa ingin buang air kecil karena saking takutnya.

" Navy Kirana, nama yang bagus. Aku tidak menyangka jika Abbiyya akan bersungguh-sungguh merawat mu."

" Ka-kau me-ngenal papa?. "

" tentu, dia kenalan ku—" "—sekaligus boneka kesayanganku."

Ardiaz bangkit dari posisi duduknya, melangkahkan kaki panjangnya menuju Kirana. Jari-jari nya menyentuh surai hitam Kirana, merasakan betapa lembutnya surai tersebut.

Senyuman tipis terukir di wajah tampan nya. "Kau sudah besar, anakku." kata Ardiaz.

Seketika wajah kirana memucat. Ingatan mengenai kecelakaan ibu kandungnya berputar kembali di pikirannya. Memori yang dulunya ia hapus kini kembali lagi keingatannya. Pria di hadapannya ini merupakan pemimpin mafia terkejam, pemegang pasar gelap, situs dark web, perdagangan anak dan budak sex, serta menjual hewan-hewan langka secara ilegal. Namanya, " Perkenalkan namaku Ardiaz Ayah kandungmu, Navy Kirana." ucap dengan seringaian iblisnya.

" Ke-kenapa, kau mu-ncul di-hadapan ku? Ke-napa? Kenapa ka-u membiarkan ibuku kehabisan da-rah?. " tanya kirana terbata-bata. Pandangannya mulai memudar akibat airmata yang menghalangi fokus penglihatan nya.

"Kau tidak perlu tahu, lebih baik kita menemui Abbiyya. Dia sudah menunggumu cukup lama" Kata Ardiaz, menghembuskan asap rokok. " Aku tidak ingin dia merasa khawatir " lanjutnya dengan senyuman menawan nya itu.

***

Abbiyya melirik kearah Elina yang tengah berdiri di depan pintu. Ia begitu gelisah, takut jika Kirana disakiti oleh Ardiaz dan juga orang-orang yang setia dengan Ardiaz. Tak henti-hentinya ia memainkan jari-jari nya, sesekali mengigitnya sekedar menghilangkan rasa takut.

Jglek!

" Kirana " Kata Abbiyya.

Berlari dengan tergesa-gesa menuju Kirana dan memeluknya dengan erat, seakan tak ingin merelakan kepergian Kirana saat ini juga. Kirana membalas pelukkan Abbiyya, menangis hingga membasahi kemeja yang dikenakan oleh Abbiyya.

Ardiaz berdecak kesal melihat intraksi mereka berdua. Meraih surai hitam milik Kirana dan menariknya menjauhi Abbiyya. Suara kesakitan dari Kirana menyakiti hati Abbiyya. Bahkan ia kembali menangis saat mendengar jeritan Kirana yang begitu jelas.

" Beraninya kau memeluk Abbiyya " Geram Ardiaz. Manik hitam nya berkilat penuh amarah membuat Kirana begetar ketakutan.

" Dia papa ku " Teriak Kirana dengan airmata yang terus mengalir deras.

Ardiaz menghela nafas, ia melepaskan cengkramannya dan membiarkan Kirana kembali memeluk Abbiyya.

***

Sepanjang perjalanan menuju Mansion keluarga Ardiaz. Abbiyya hanya bisa diam membisu, apalagi saat ini dirinya tengah dikawal oleh beberapa pria berjas hitam rapi yang masing-masing nya memiliki pistol.

Kirana masih memeluk tubuh Abbiyya. Bahkan Kirana pun juga sama dengan dirinya. Merasa ketakutan saat ini. Takut akan kehilangan nyawa.

Gerbang berukir naga terbuka dengan lebar, Abbiyya sangat yakin jika Gerbang tersebut terbuat dari lapisan Emas. Bahkan di sepanjang jalan terdapat pepohonan yang dirawat begitu baiknya. Di ujung, mereka bisa melihat mansion yang berdiri kokoh dekat air Terjun alami.

" Keluar! " perintahnya dengan nada dingin.

Abbiyya keluar sambil menggendong Kirana. Mengikuti Ardiaz memasuki Mansion yang dijaga ketat oleh pengikutnya. Di dalam Mansion, beberapa pelayan menyambut kehadiran mereka bertiga. Berbaris sambil memberi hormat kepada mereka atau lebih tepatnya boss mereka.

" Ini kamar Kirana. Kau akan merawat Kirana hingga sembuh " kata Arduaz dihadapan nya itu tanpa memandang Abbiyya. " Jangan pernah coba lari dari ku.." lanjut Ardiaz. Setelah itu meninggalkan Abbiyya juga Kirana.

Abbiyya menghela nafas lega. Setidaknya nyawanya saat ini masih terselamatkan. Pergerakkan dari Kirana menyadarkan Abbiyya, ia lekas-lekas menidurkan Kirana di atas kasur yang tersedia. Membersihkan luka di sekujur tubuh Kirana dengan pelan.

" Ada yang bisa saya bantu, tuan? "

Menoleh kebelakang, satu pelayan pria ternyata mengikuti dirinya. Sepertinya Ardiaz si pria menyeramkan itu memberi perintah kepada pelayan dihadapannya ini.

Abbiyya menganggukan kepalanya, menyuruh ppelayan itu untuk mengambilkan perban serta obat merah. Pelayan itu membungkukkan badannya, meminta izin kepada Abbiyya untuk pergi mengambilkan perban dan juga obat merah.

Abbiyya kembali melanjutkan pekerjaannya membersihkan luka Kirana. Ia akan berhenti saat Kirana meringis kesakitan.

" Apa masih sakit? " tanya Abbiyya dengan tatapan sendu. Tak bisa membayangkan gadis seusia Kirana mendapatkan siksaan yang begitu menyakitkan dari ayah kandung nya sendiri.

Kirana masih memejamkan kedua matanya. Namun ia masih bisa mendengar suara Abbiyya. Tersenyum adalah responnya dalam menanggapi perkataan Abbiyya barusan.

Kedua tangan Abbiyya menggenggam tangan kanan Kirana yang begetar. Nampaknya Kirana mengalami Trauma, apalagi mendapatkan pukulan dadakan dari seseorang.

" Andai saja aku bisa melindungi mu layaknya seorang ayah " gumam Abbiyya. Ia kembali menangis di hadapan Kirana. Kirana hanya diam, tak bisa berbuat apa-apa. Sekujur tubuhnya begitu sakit, apalagi mendapatkan pukulan  benda tumpul.

Abbiyya dan Kirana tidak menyadari jika Ardiaz masih berada di sekitar mereka. Mengawasi mereka berdua diluar, menyandarkan tubuh kekarnya di dinding dekat pintu kamar. Telinganya merekam setiap perkataan Abbiyya saat itu. Ia tersenyum, senyuman tulus terukir diwajah pria itu. Nampaknya, Ardiaz merasa lega.

Next chapter